KOTOMONO.CO – Salah satu kisah paling epik dalam sejarah dakwah islam barangkali dimiliki Salman al-Farisi. Sahabat yang terkenal karena peran pentingnya dalam perang Khandaq ini mendapat banyak pujian khusus dari baginda Nabi Muhammad SAW.
Dikisahkan dalam sebuah kesempatan ketika Nabi berkumpul bersama para sahabat―waktu surat al-Jumuah diturunkan, saat Nabi membacakan ayat, “dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka”―seseorang bertanya, “Ya Rasulullah! Siapakah yang orang disebutkan dan belum bergabung dengan kita?”
Pertanyaan itu terdengar hingga tiga kali namun Nabi saw. belum menjawabnya, sampai beliau mendapati Salman berada di antara mereka. Nabi lalu meletakkan tangannya pada Salman dan bersabda, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, meskipun jika iman dekat Ats-Tsurayya, laki-laki dari mereka (yakni Salman) tentu akan mendapatkannya.”
Hadis yang diriwayatkan at-Tirmidzi di atas menunjukkan betapa Nabi SAW sangat mengapresiasi tingginya kualitas keimanan Salman al-Farisi. Keimanan seperti itu hanya bisa dimiliki oleh seorang yang benar-benar gigih dilandasi oleh cinta yang mendalam. Pertanyaannya, bagaimanakah Salman al-Farisi bisa mencapai titik keimanan yang begitu berkualitas hingga Rasulullah saw. pun memujinya? Tak lain dan tak bukan karena kegigihan dan kesabaran Salman yang teramat mengagumkan.
Perjalanan panjang Salman al-Farisi dimulai dari kampung kelahirannya di Jayyan, desa di dekat Isfahan, Persia. Salman lahir dengan nama Ruzbeh. Ayahnya menjabat Dihqan atau kepala desa. Sang ayah memiliki banyak properti dan ladang yang menjadikannya orang terkaya di Jayyan.
Keluarga Salman penganut Majusi, dan menjadi penjaga api adalah tugas sehari-harinya. Tugas itu tak memungkinkan Salman untuk bepergian. Sampai usia remaja, tugas itu terus dilakoninya. Sang ayah juga terlihat begitu menyayangi dan melindungi putranya. Maka praktis, Salman tak mengenal siapapun selain keluarganya. Ia juga hanya belajar ajaran Majusi.
Sampai tiba satu hari yang menjadi titik balik kehidupan Salman remaja. Hari itu sang ayah terlampau sibuk dengan hal lain hingga tak memungkinkan baginya pergi berkebun. Ia pun menyuruh Salman menggantikannya. Salman lalu pergi tanpa berpikir bahwa hari itu akan menjadi hari yang membuatnya berterima kasih pada sang ayah. Ia pergi ke kebun melewati sebuah gereja Kristen. Salman seketika terpaku di tempat. Ia mendengar suara-suara yang sangat asing. Nyanyian-nyanyian yang baginya terdengar begitu magis, hingga membuatnya terlupa akan tugas dari ayahnya.
Salman masuk ke dalam gereja dan semakin terpesona dengan laku ibadat yang baru pertama dilihatnya itu. Agama ini lebih baik dari menjaga api yang selama ini kulakukan! gumam Salman. Ia berada dalam gereja sampai matahari tenggelam dan membatalkan perjalanannya ke kebun. Usai mendapat informasi tentang asal agama itu, Salman pun pulang. Sang ayah keheranan mendapati putranya baru tiba setelah gelap.
“Aku baru saja melewati gereja Kristen, Ayah. Aku sangat terkesan dengan ibadat mereka. Jauh lebih baik dari agama kita,” ujar Salman.
“Tidak ada yang lebih baik dari menyembah api, Anakku,” tegas sang ayah. Ia terkejut sekaligus mulai terbakar kemarahan.
“Tidak, Ayah. Kristen jauh lebih baik dari Majusi,” balas Salman dengan yakin.
“Kalau begitu, kau tak boleh pergi kemana pun dan tetaplah di kamarmu!” perintah sang ayah. Ia mencekal lengan Salman, mendorong Salman masuk kamar dan segera menguncinya dari luar. Ia sungguh takut jika anaknya memutuskan untuk berganti keyakinan.
BACA JUGA: Pendidikan dan Strategi Mendorong Perempuan Berkemajuan
Namun Salman tak kehilangan akal. Darah mudanya amat menggebu hingga mengalahkan rasa takutnya. Ia berhasil kabur setelah mendapat informasi dari orang Nasrani yang dihubunginya. Salman akan menumpang karavan dari rombongan kafilah yang menuju Syam. Ia akan mulai belajar agama Nasrani di tempat asal agama tersebut. Setelah tiba di Syam, ia mulai berguru dan mengabdi pada seorang pendeta di sebuah gereja.

Akan tetapi, guru pertama Salman ternyata membuatnya kecewa. Sang pendeta ketahuan melakukan korupsi dana umat. Salman pun memutuskan pindah mencari guru lain. Salman memilih Mosul di dekat sungai Tigris untuk menjadi persinggahan selanjutnya. Ia mukim di sana hingga sang guru wafat. Setelah itu ia berpindah ke Nashibain selama beberapa tahun dan pindah lagi ke Ammuriyah, sebuah wilayah dekat Turki.
Ia menemukan guru yang sangat saleh dan bijaksana. Salman dididik agar menjadi orang yang tak hanya pandai mencari ilmu tapi juga mahir bekerja. Sebab menurut sang guru, bekerja merupakan bentuk bakti tertinggi kepada Tuhan. Di Ammuriyah inilah terakhir kalinya Salman belajar agama Nasrani. Menjelang wafatnya, sang guru berpesan agar Salman menemui nabi yang membawa ajaran Ibrahim.
“Nabi ini keluar dari negeri arab, pergi berhijrah ke sebuah lembah yang di kanan kirinya berbatu hitam, makan hadiah, tetapi enggan makan sedekah, lalu di antara kedua pundaknya terdapat cap kenabian,” kata sang guru, “Temukan dan ikuti dia!”
BACA JUGA: Islam Itu Tidak Harus Arab, Tapi juga Tidak Mengabaikan Arab
Demi menunaikan wasiat gurunya, Salman berhijrah ke jazirah Arab menumpang rombongan kafilah. Akan tetapi jalan yang ia lalui tak selalu mulus. Sang pemimpin kafilah malah menjual Salman kepada seorang saudagar Yahudi. Salman lalu dioper lagi kepada kerabat orang Yahudi tadi dan mengikutinya hingga ke Yatsrib. Ia bertugas mengurus kebun dan mengumpulkan buah-buahan.
Saat menjadi hamba sahaya majikan keduanya inilah terbuka tabir yang menuntun Salman akan keberadaan sang nabi. Suatu hari keponakan sang majikan berkunjung. Ia bercerita mengenai seorang lelaki arab yang mengaku nabi sedang singgah di Quba. Salman yang tengah naik pohon untuk memetik buah seketika tergugah seluruh inderanya.
Itulah saat yang telah Salman nantikan. Saat ia untuk pertama kali mendengar seseorang menyebut orang yang sangat lama memenuhi benaknya. Saat di mana ia bisa merasa begitu dekat dan tak berjarak dengan orang yang dicarinya. Otaknya pun berpikir keras menemukan cara untuk bisa berjumpa. Tak berapa lama, dengan berbekal buah-buahan yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil bekerja, Salman bertolak ke Quba tanpa sepengetahuan tuannya.
Ia memberikan oleh-oleh itu sebagai sedekah dengan sikap sopan dan rendah hati. Lalu ia saksikan sendiri salah satu tanda yang diisyaratkan oleh sang guru, bahwa Nabi tidak memakan sedekah. Di lain hari saat rombongan Nabi telah tiba di Madinah, Salman kembali menemui Nabi dan memberikan buah tangannya sebagai hadiah. Dengan senang hati, Nabi turut memakannya. Genaplah dua tanda yang ia cari.
BACA JUGA: Berwirausaha dengan Konsep Keislaman
Sementara tanda yang terakhir yaitu cap kenabian, Salman melihatnya saat berada di Baqi’, yaitu ketika wafat salah seorang sahabat, Kultsum ibn Hadam. Salman mencuri-curi pandang untuk memastikan keberadaan cap itu. Nabi yang mengetahui Salman tengah memperhatikannya segera menurunkan sedikit jubahnya, hingga tampak jelas tanda kenabian di antara pundak beliau.
Seketika Salman tersungkur dan menangis. Ia menyaksikan sendiri kebenaran cerita gurunya. Bahwa benar lelaki di hadapannya inilah yang telah lama dicarinya, orang yang akan menuntunnya kepada kebenaran sejati yaitu jalan Islam.
Kisah Salman adalah contoh pelajaran dengan hikmah yang begitu jelas. Seseorang dengan latar belakang keluarga penganut Zoroaster bisa menjadi salah seorang sahabat kepercayaan Nabi SAW, adalah bentuk nyata kemurahan Allah. Orang yang telah diberi petunjuk tidak akan tersesat dan akan sampai pada kebenaran walaupun jalan yang dilalui tidak mudah. Salman dianugerahi kepekaan yang lahir dari hati yang suci dan belum terpapar sifat-sifat tak terpuji.
Jiwa mudanya yang gigih membantunya untuk tak menyerah saat mendapati hal-hal tak mengenakkan. Ia rela meninggalkan keluarga, harta dan negaranya demi menemukan kepuasan batin akan adanya keimanan. Ia maju terus mencari cahaya terakhir yang akan melengkapi puzzle perjalanan tauhidnya. Dan ketika ia bertemu dengan terminal akhir dari perjalanan spiritualnya, ia baktikan seluruh hidupnya melayani agama dan menjadi pengikut Nabi SAW yang setia.
Kini, saatnya kita juga berjuang mengubah diri dari seorang Ruzbeh menjadi Salman, memulai rihlah spiritual kita sendiri. Ramadhan adalah pintu keluar dari kejumudan iman kita. Ramadan yang mulia datang menjadi teman rihlah kita untuk meningkatkan, dan atau memperbaiki kualitas keimanan kita.
BACA JUGA: Nggak Kalah Dari Drakor, 7 Serial Arab Ini Juga Memukau!
Mari kita juga berjuang seperti itu, bahkan jika kita merasa terlalu jauh dari hidayah-Nya, merasa kita bukan bagian dari orang-orang terpilih yang pantas mendapat karunia mahal itu. Tetaplah berjalan, keluar dari rumah keraguan kita. Sebab Allah juga akan menilai usaha kita, bagaimana agar kita juga masuk dalam barisan orang-orang terpilih itu.
Dia sebenarnya selalu menunggu kita untuk kembali. Hanya saja kebanyakan dari kita belum punya kepekaan seperti sahabat Salman al-Farisi, dan terlalu sibuk dengan hal-hal fana yang seperti tak ada habisnya. Satu hal yang pasti, Allah tidak akan mengkhianati usaha hamba-Nya yang memang punya niat untuk berjuang memperbaiki diri.
komentarnya gan