KOTOMONO.CO – Kata orang, baik-buruknya seseorang itu bisa dilihat dari karakternya. Tapi, gimana cara kita bisa tahu karakter seseorang? Soalnya, yang paling kerap kita lihat dari seseorang ya penampilannya. Lalu, apakah ada relasinya antara penampilan dengan karakter seseorang?
Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, agaknya perlu kita pahami dulu apa itu karakter. Sederhananya, karakter adalah akhlak, tingkah laku, etika, dan juga sifat. Dalam ungkapan yang lain, karakter juga berkenaan dengan kemampuan yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai salah satu ciri dalam dirinya.
Meski begitu, tidak lantas karakter itu bersifat mutlak. Karakter bisa dibentuk, dikelola sesuai dengan yang diinginkan. Makanya, ia tidak bersifat permanen, yang dengannya kita harus menerima begitu saja.
Sebagai contoh, saya tipikal orang yang temperamen. Nah, karakter saya yang buruk itu bisa saja dikelola agar saya tidak menjadi orang yang gampang marah. Siapa yang mengelola? Tentu saja yang paling mungkin adalah diri saya sendiri. Kalaupun ada peran orang-orang di sekitar saya, mereka sebenarnya berfungsi sebagai fasilitator. Mereka sekadar membantu saya menemukan cara terbaik bagi saya untuk mengelola atau mengubah karakter saya.
BACA JUGA: Hidup Tanpa Luka Itu Nonsense!
Lalu, apa fungsi karakter? Konon, karakter itu pondasi sekaligus tiang yang akan menyangga keberlangsungan hidup kita di tengah-tengah masyarakat. Dengan karakter yang ada pada kita, masyarakat—dengan perangkat norma dan nilai yang ada—bisa memberikan penilaian atas diri kita. Masyarakat juga punya hak untuk menerima atau menolak keberadaan kita di tengah-tengah mereka.
Selain itu, karakter juga berperan bagi upaya setiap individu untuk mencapai pemahaman esensial dari keberadaannya sebagai hamba Tuhan. Bahkan, Tuhan telah memerintahkan, agar kita selalu berbuat baik. Lewat perbuatan baik ini pula diharapkan setiap individu akan memiliki karakter yang baik pula.
Peran Keluarga
Seperti telah disinggung sebelumnya, pengelolaan karakter bisa dilakukan oleh siapa saja. Termasuk orang-orang terdekat. Tak salah jika keluarga memiliki peran besar dalam pembentukan/pembangunan karakter seseorang.
Peran keluarga bisa dimulai dari hal-hal kecil sampai yang paling kompleks. Misalnya, mulai dari pengenalan cara menyebut anggota keluarga dengan panggilan yang tepat. Sebutan “Mas” untuk memanggil kakak laki-laki dan “Mbak” untuk kakak perempuan yang diikuti namanya, dan seterusnya. Pembiasaan ini perlu dilakukan agar anak lebih muda terbiasa menghormati yang lebih tua. Begitu pula sebaliknya, yang lebih tua terbiasa berbagi kasih sayang dengan yang lebih muda.
BACA JUGA: Cara Mengembangkan Bisnis yang Optimal dan Menguntungkan
Selain itu, bisa juga dilakukan dengan penggunaan ungkapan yang sederhana. Misal, menyampaikan kata “maaf” apabila melakukan kesalahan atau hendak menyela pembicaraan; mengucapkan “tolong” ketika hendak meminta bantuan; atau mengatakan “terima kasih” saat ia menerima sesuatu atau bantuan.
Kebiasaan ini memang sangat sederhana. Akan tetapi, Selain bertujuan membiasakan agar bersikap menghormati dan menghargai, pembiasaan ini sebenarnya juga bagian dari melatih kepekaan. Jika hal-hal sederhana ini tak dibiasakan, maka akan ada dampak besar yang bisa sangat memengaruhi lingkungan sekitar kita.
Peran Pergaulan
Ya, lingkungan dengan segala bentuk pergaulan yang ada memiliki andil besar bagi pembangunan karakter seseorang. Pepatah bilang, berkawan penjual minyak wangi, kita akan ikut wangi. Berkawan pandai besi, kita bisa terkena percikan api. Maka, jangan heran jika kita mendapati anak-anak begitu fasih mengucapkan kata-kata kasar, karena dipengaruhi oleh pergaulan mereka.
Mungkin saja, maksud kata-kata kasar itu dalam obrolan di antara mereka awalnya sekadar lelucon. Akan tetapi, ketika kata-kata itu menjadi santapan sehari-hari, bisa saja itu akan menjadi kebiasaan yang buruk. Kata-kata kasar itu akan diucapkan di setiap kesempatan tanpa memandang siapa yang diajak bicara dan pada saat apa ia mengucapkannya.
Apapun dalihnya, kebiasaan buruk semacam itu memperlihatkan pula rendahnya kepekaan rasa/sensabilitas seseorang. Asal tahu saja, kepekaan rasa yang rendah pada hakikatnya akan berpengaruh pula pada harga diri seseorang. Contoh, kebiasaan mengenakan pakaian yang serba seksi dengan memperlihatkan bagian-bagian vital. Semestinya, jika si pemakai baju seksi itu peka terhadap lingkungan sekitar, ia akan sadar pula bahwa busana yang ia kenakan itu membuat banyak orang memandang rendah dirinya.
Peran Media
Namun sayang, acap kali kesadaran semacam itu kerap terganggu oleh apa yang ditangkap kedua mata kita. Terutama pada tayangan-tayangan yang muncul di media-media kita saat ini. Tayangan sinetron misalnya. Mungkin, maksud yang ingin disampaikan sinetron dalam adegan-adegan itu baik, yaitu agar penonton tidak menirunya. Akan tetapi, pesan itu kerap tak tersampaikan dengan baik di mata penonton. Malah, gaya atau kebiasaan buruk yang ditampilkan justru ditiru.
BACA JUGA: Tiga Kata yang Sering Digunakan Sebagai Dalih untuk Bersikap Kurang Baik
Diperparah lagi dengan tampilan yang kerap muncul di media sosial. Tak jarang tampilan itu yang kerap ditiru. Apalagi kalau sampai mendapatkan label “viral”. Ingat gaes, nggak selamanya yang “viral” itu baik dan layak ditiru. Mesti selektif jugalah untuk meniru sesuatu yang “viral” itu.
Pentingnya Pembentukan Karakter
Nah, dari berbagai persoalan tadi, kita akhirnya belajar. Betapa karakter itu punya peran penting bagi kehidupan. Terlebih dalam menjalani hidup di tengah-tengah masyarakat. Seseorang yang berkarakter baik adalah yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Tak salah jika dalam pendidikan kita memasukkan pembentukan karakter sebagai salah satu isu yang terus digelorakan. Sebab, yang dibutuhkan oleh masa depan adalah pribadi yang berkepribadian atau berkarakter, generasi yang tumbuh berkembang dengan karakter yang senapas dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama. Sebagaimana diungkap Martin Luther King, “Intelligence plus character that is the goal of true education”, maka dapat dikatakan pendidikan karakter merupakan tumpuan harapan bagi terselamatkanya bangsa dan negeri ini dari jurang kehancuran yang lebih dalam.
Problem Kekinian
Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat saat ini adalah kemampuan berkomunikasi Gen Z yang “maaf” cenderung mengabaikan tata krama. Terutama, komunikasi lewat media sosial. Memang, tidak bisa dipungkiri, Gen Z tumbuh dalam atmosfer yang serba digital. Selain itu, mereka dibesarkan pula lewat luapan informasi yang nyaris tanpa filter.
Di saat bersamaan, krisis multidimensi tengah melanda di seluruh dunia. Situasi ini berakibat pula pada tekanan psikologis yang dihadapi Gen Z. Terlebih, ketika informasi yang terpampang pun menjadi suguhan yang “memrihatinkan”. Dan, dalam keadaan semacam itu, rupanya telah memicu siapa saja—termasuk Gen Z—agar sesegera mungkin memberi repons dan reaksi atas segala yang terpampang di media.
BACA JUGA: Jika Kita Bisa Memilih, Pengennya Jadi Anak Pertama, Tengah, atau yang Bontot?
Tak heran, dalam luapan informasi yang demikian masif juga memacu orang untuk meluapkan ekspresinya yang cenderung emosif. Keadaan itu juga memacu orang beradu cepat dalam merespons dan mereaksi segala hal yang ditampilkan media—utamanya media sosial. Sayangnya, media sosial tak cukup mampu menyediakan filter yang ketat. Apalagi dengan dalih “kebebasan berekspresi” yang berlebihan, membuat mereka merasa bebas melakukan apa saja di media sosial.
Sikap bebas yang diambil Gen Z pada hakikatnya memperlihatkan rendahnya tingkat kepekaan mereka terhadap ambiguitas lingkungan. Sedang rendahnya kepekaan sangat mungkin diakibatkan oleh tekanan yang didera. Penelitian American Psychological Association yang dikutip dalam Media Literasi bagi Digital Natives: Perspektif Generasi Z di Jakarta (2018) menegaskan, bahwa kemampuan mengelola stress dan mencapai gaya hidup sehat semakin menurun di setiap generasi.
Jika situasi ini berlanjut, maka Gen Z akan menjadi generasi yang paling stres sepanjang sejarah. Kondisi ini juga berkaitan dengan karakter Gen Z yang tidak memiliki batasan dengan individu lain, sehingga memungkinkan mereka menjadi pribadi yang labil karena menerima terpaan informasi dan kondisi yang cepat berubah dan serba acak. Untuk itu, peran tiap-tiap keluarga kini menjadi sangat penting. Sebab, lembaga pendidikan yang paling vital di dalam membangun dan menumbuhkan karakter baik adalah keluarga.