KOTOMONO.CO – Oleh karena disebut Kota Santri, setidaknya Pekalongan memilki banyak tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai keislaman tradisional pesisir Jawa. Boleh jadi, kebiasaan-kebiasaan atau tradisi itulah yang menjadi indikator bagi Pekalongan agar layak disebut sebagai kota Santri. Salah satu tradisi itu adalah libur di hari Jumat.
Memang, sebagian besar warga Pekalongan memaknai hari Jumat sebagai sayyid al-ayyam atau penghulu hari-hari. Pandangan ini tentu tidak lepas dari pemahaman keislaman sebagian besar warga Pekalongan. Namun apakah hanya konsep itu yang mendasari penetapan hari Jumat sebagai hari libur kerja?
Fakta menyebutkan, ada beberapa anggapan di masyarakat mengenai pemilihan hari Jumat sebagai hari libur. Pertama, anggapan bahwa hari Jumat sebagai “hari pendek”. Lho kenapa disebut demikian? Karena di hari itu berlaku kewajiban untuk menunaikan salat Jumat untuk kaum laki-laki yang notabene mayoritas sebagai pencari nafkah.
Jadi, pemilihan Jumat sebagai hari libur dapat dimafhumi, bahwa daripada menggunakan “hari yang pendek” untuk bekerja, akan lebih baik jika hari itu diliburkan saja. Mengapa? Ya, barangkali saja khawatir kalau-kalau hasil kerja tidak maksimal. Selain itu, dengan meliburkan para pekerja di hari Jumat akan membuat ibadah Jumat menjadi lebih leluasa. Betulkah demikian?
BACA JUGA: Peneroka Musik Kasidah Modern Ternyata Orang Pekalongan
Alih-alih demikian, lebih jauh tradisi libur hari Jumat di Pekalongan justru telah terserap bukan hanya pada lembaga non-formal seperti industri batik rumahan. Pada lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis agama, seperti sekolah dan madrasah yang notabene menggunakan kurikulum nasional sebagai acuan pendidikan juga menerapkan hal serupa.
Pihak-pihak yang Melestarikan Libur di Hari Jumat
Sebagaimana telah sedikit disinggung, bahwasanya ada beberapa pihak yang sangat berperan melestarikan libur di hari Jumat. Saya memandang, pihak tersebut adalah para pengrajin batik, terutama seluruh bagian produksi, serta pihak-pihak dalam dunia pendidikan baik formal maupun nonformal.
Industri batik di Pekalongan sendiri terdiri atas industri rumahan yang tersebar di seluruh kota maupun Kabupaten Pekalongan. Seperti di daerah Buaran, Pesindon, Wiradesa, sebagian Wonokerto, Tirto, Kedungwuni, Wonopringgo dan daerah-daerah lain sebagai penyangga. Biasanya industri batik terdiri atas puluhan karyawan dan dikelola dengan sederhana. Prinsip kekeluargaan erat dalam hubungan pemberi kerja dan pekerja. Jauh sekali dari konsep dan terminologi masyarakat kelas dalam teori-teori marxisme.
BACA JUGA: Jadi Tahu Bedanya Hand Lettering dan Tipografi Lewat Belajar Bersama di Museum Batik
Biasanya pada hari Kamis, pekerja batik akan mendapatkan upah atas hasil keringat mereka selama satu pekan. Kegiatan penerimaan upah itu disebut “pocokan”. Sementara, pada malam Jumat apalagi Jumat kliwon atau yang dikenal sebagai kliwonan, masyarakat Pekalongan akan ramai mengunjungi pusat keramaian dan pasar-pasar tiban (pasar dadakan yang diadakan di tempat dan waktu tertentu saja). Anak-anak muda yang juga berprofesi sebagai wong batikan ikut larut. Mereka berbaur dengan orang-orang yang libur di hari Jumat.
Selain para pekerja industri batik, pihak-pihak yang juga libur di hari Jumat adalah siswa, santri, serta guru-guru sekolah dan madrasah swasta Islam di Pekalongan. Libur di hari Jumat pada lingkungan pendidikan ini justru menjadi branding tersendiri kepada orang tua siswa.
Bahwa sekolah-sekolah yang libur di hari Ahad adalah bukan sekolah Islami atau paling tidak kurang Islami. Branding ini pada akhirnya juga dilakukan oleh beberapa SMP dan MTs di lingkungan Muhammadiyah di Pekajangan Kedungwuni, yang juga mengubah liburnya dari hari Ahad menjadi hari Jumat untuk menjawab “tantangan kultural” di daerah tersebut.
Motif dan Makna di Balik Libur di Hari Jumat
Industri batik, yang di dalamnya berisi pemberi kerja dan pekerja, serta pihak-pihak pendukung seperti halnya penjual bahan baku batik, memandang libur di hari jumat sebagai efisiensi jam kerja operasional. Tentu saja bagi wong batikan, terutama pada bagian kuli keceh dan nglorod, libur Jumat merupakan efisiensi karena mereka sulit membayangkan bagaimana bekerja di Hari Jumat.
BACA JUGA: WPAP yang Mendunia Ciptaan Wong Kalongan Itu Diajarkan di Museum Batik Pekalongan
Sementara waktu zuhur harus salat Jumat, dengan mandi dan menggunakan pakaian bersih, lalu dilanjut lagi dengan nglorod dan nguli keceh kembali. Sungguh, hal itu bikin pekerjaan jadi tidak efisien.
Hal ini juga berlaku pada pemberi kerja. Biasanya, pada hari Jumat kegiatan akan dihentikan pada jam 11.00 dan dimulai lagi pada jam 13.30. Rentang waktu selama dua setengah jam itu digunakan untuk memberi kesempatan pekerja beristirahat, mandi, dan salat Jumat. Itu, kembali lagi, tidak efektif dan efesien ketika diterapkan.

Berbeda halnya pada dunia pendidikan. Mereka lebih idealis memaknai hal ini. Hari Jumat adalah penghulu hari-hari. Sudah semestinya hari Jumat dipakai semua siswa dan guru untuk berzikir dan menjadi momentum untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Meskipun, tak dapat dipungkiri, ada beberapa madrasah yang menggunakan alasan jam kerja dan struktur jadwal pelajaran sebagai alasan efisiensi meliburkan sekolah di hari Jumat dan memenuhi Sabtu-Ahad sebagai hari efektif belajar.
Pada akhirnya, kita mafhum libur hari Jumat di Pekalongan adalah tradisi yang dilestarikan oleh dunia industri batik dan dunia pendidikan. Industri batik lebih memandang libur Jumat sebagai efisiensi jam kerja sementara dunia pendidikan lebih memaknai libur Jumat sebagai penghormatan terhadap konsep sayyid al-ayyam yang menempatkan hari Jumat lebih sebagai waktu untuk beribadah dan berzikir kepada Allah.