KOTOMONO.CO – Kiwari, rumah tradisional Jawa seperti Limasan maupun Joglo makin marak ditemukan. Hanya, nasibnya tak jauh beda dengan Gejog Lesung. Dulu, Gejog Lesung difungsikan sebagai alat penumbuk padi, kini sekadar jadi sajian musik dalam pertunjukan.
Pengalihfungsian juga terjadi pada rumah Limasan maupun Joglo. Sekarang, kebanyakan dua bangunan ini difungsikan untuk restoran, penginapan, atau sekadar pemanis di objek-objek wisata.
Pengalihfungsian itu boleh jadi karena ada alasan-alasan tertentu. Misal, untuk mengenalkan kepada generasi masa kini dan masa depan tentang kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Jawa. Dengan begitu, mereka yang terlahir di masa kini tidak merasa asing dengan bangunan Limasan maupun Joglo. Apalagi, sekarang banyak betul bangunan-bangunan dengan gaya yang beragam.
Bagi sebagian orang, bentuk bangunan Limasan maupun Joglo bisa menjadi sarana mengenang masa lalu atau untuk menemukan ketenangan. Terutama, generasi oldies.
BACA JUGA: Kelonthong Sapi: Muasal, Mitologi, dan Strata Sosial
Padahal, dulu rumah Joglo sangat lekat dengan pagelaran. Pun, rumah limasan yang sejatinya tempat tinggal, kini juga bertransformasi dengan kebaharuan fungsinya. Sekali lagi, peristiwa ini mungkin tidak secara holistik, namun kiranya juga terjadi di sekitar kita.
Dalam perjalanan historisnya, rumah tradisional Jawa mengandung makna filosofis yang terlampau dalam. Setiap sudutnya menjadi simbol kehidupan orang Jawa. Salah satunya, pintu gebyok.
Pintu gebyok dalam arsitektur rumah tradisional Jawa tidak serta-merta sebagai lubang keluar-masuk rumah semata. Akan tetapi, terdapat kandungan nilai yang tersemat di baliknya.
Secara subyektif, temuan ihwal pintu gebyok kiwari seringkali terbatas pada fungsi artistiknya saja. Pintu gebyok seringkali dijumpai sekadar aksesoris sebuah bangunan atau ditempatkan sebagai latar belakang panggung pementasan. Barangkali, karena nilai estetik dari ornamen yang ada itulah yang menjadikan pintu gebyok sebagai backdrop pertunjukan. Tentu tidak ada salahnya jika digunakan demikian, tetapi patut kita cerapi nilai yang terkandung dalam pintu gebyok ini.
Rahim sang Ibu
Orang Jawa sejak dulu sangat karib dengan metafora untuk mendeskripsikan sesuatu. Tata cara hidup simbolis dan sistem komunikasi masyarakat Jawa yang penuh kembang, lambang, dan sinamuning samudana (Ronald, 1997). Hal tersebut tentu dapat dilihat dalam berbagai dalam berbagai lini kehidupannya. Salah satu wujudnya ialah pintu gebyok itu sendiri.
BACA JUGA: Tradisi dan Kebudayaan Ulambana Masyarakat Tionghoa
Dalam pintu gebyok seringkali ditemui berbagai ornamen yang terpahat dengan ciamik. Barangkali, atas keciamikan serta kerumitan ukirannya, kita tak lagi mencermati kandungan ukirannya. Kebanyakan, akan ditemui pola melengkung dengan dengan ukiran bermacam-macam jenis. Kemudian, akan terdapat “benjolan” kecil di tengah pintu tersebut. Secara holistik, gebyok pintu tersebut menyimbolkan vagina atau orang jawa menyebut bawuk.
Sedangkan, setiap orang yang memasuki rumah melalui pintu gebyok tersebut dilambangkan sebagai unsur laki-lakinya. Setiap orang yang memasuki rumah, berarti orang itu memasuki rahim sang ibu. Harapnya, setiap kali memasuki rumah ia kembali bersih laiknya bayi yang berada di dalam rahim sang ibu. Dengan begitu, kebersihan akan senantiasa didapat setiap kali pulang. Pantas saja, seringkali ibu disebut sebagai rumah. Kiranya, filosofi ini bertautan dengan ungkapan tersebut.
Perilaku
Selain bentuknya yang berpola melengkung dan terdapat “benjolan” di tengahnya, pintu rumah tradisional Jawa umumnya juga berbentuk pendek. Maksudnya, setiap kali orang hendak masuk, dipastikan orang tersebut harus merunduk agar dapat masuk. Meskipun bentuknya lurus (tidak seperti pintu gebyok yang terpapar sebelumnya), namun nilai merunduk ini kebanyakan akan termuat juga.

Dibuatnya pintu tersebut pendek tentu bukan karena kekurangan bahan, melainkan terdapat kandungan nilai yang disematkan di dalamnya: menghormati tuan rumah. Dengan adanya “paksaan” untuk merunduk, tentu penghormatan terhadap tuan rumah menjadi terlahir. Meskipun, terkesan memaksa; namun norma tersebut sebenarnya sudah menjadi kultur masyarakat Jawa.
BACA JUGA: Omah Lawang Sanga, Bangunan Khas Pekalongan dari Abad ke-19
Setiap kali masyarakat Jawa (kebanyakan di desa-desa) lewat di depan orang lain, sudah barang tentu akan mengungkapkan “nuwun sewu”. Kemudian, perilaku yang mengikuti ungkapan tersebut ialah merundukkan badannya. Peristiwa ini menunjukkan kehormatannya terhadap orang yang dilewatinya, sekaligus memohon maaf karena mengganggu kemerdekaannya. Peristiwa ini kiranya bertautan dengan peristiwa merunduk pada pintu gebyok.
Meskipun pintu gebyok yang pendek “memaksa” tamu untuk menghormati pemilik rumah, namun pintu gebyok juga membiasakan untuk menghormati orang lain meskipun tidak sedang bertamu. Nilai inilah yang kian hari kian usang. Barangkali, nilai tersebut patut untuk dijadikan pembelajaran supaya saling menghormati satu sama lain kian terjalin. Amin!
Komentarnya gan