KOTOMONO.CO – Bukan menjadi setengah dewa, tetapi menjadi manusia setengah robot. Barangkali itu adalah pilihan yang tepat. Perasaan sebagai manusia justru akan mendatangkan kesulitan-kesulitan. Orang-orang yang berempati tinggi mungkin saja adalah orang-orang pilihan. Orang-orang berhati mulia. Tetapi, di balik kemuliaan itu, mereka juga mengalami kesendirian. Meratap dalam sepi. Merenungi hidupnya yang getir.
Tetanggaku, seorang guru honorer. Gajinya pas-pasan. Cukup untuk makan. Untuk keperluan lain, terpaksa ngutang. Apalagi di hari-hari tertentu, ketika undangan kondangan menumpuk di atas meja. Tumpukan kertas undangan itu membuat utangnya juga menumpuk.
Memang, ia rajin berangkat ngantor. Setiap hari tak pernah telat. Setiap hari ia mengisi kelas. Melayani anak-anak yang oleh orang tua mereka dipercayakan padanya. Mengajari apa saja yang mereka butuhkan. Semua itu ia lakukan dengan ikhlas, katanya.
Tidak hanya itu, di sore hari, ia juga tak keberatan pulang telat. Hanya untuk memberi jam tambahan kepada anak-anak didiknya. Bayaran? Nihil. Tak ada upah untuk keterlambatannya pulang ke rumah, meskipun yang di rumah mungkin saja berharap ada sesuatu yang dibawanya pulang. Yang ia bawa pulang hanya aroma keringatnya yang apek.
“Saya kok nggak tega. Bapak-ibu mereka juga tidak semuanya hidup berkecukupan. Kasihan kalau harus dibebani lagi,” katanya saat kutanyakan kenapa tak meminta upah.
Di pos ronda kampung, ia biasa memberikan pelajaran kepada anak-anak kampung. Tiap sore. Anak-anak selalu senang mengikuti pelajaran tambahan yang diberikannya. Tetapi, apakah ia juga senang? Entahlah. Yang nampak olehku hanya senyuman yang sulit aku mengerti apa maknanya.
Sejujurnya, aku mengenali betul orang tua anak-anak yang ia ajar itu. Tidak semua mereka susah. Tidak semuanya hidup dalam ketakberdayaan. “Itu, si Sarkiyem, sawahnya berpetak-petak. Digarap orang desa sebelah. Tukimin, pengepul rongsokan yang terkenal di kecamatan ini. Mobilnya baru. Si Lastri, janda kaya di desa, punya bank tongol. Siapa saja minta duit ke dia. Kamu juga sering kan hutang ke Lastri?” selorohku.
Ia hanya tersenyum. Seolah-olah tidak memasalahkan apa yang baru saja kukatakan. Tetapi, aku tahu, ada sesuatu yang ia simpan rapat-rapat. Ada yang tidak ingin ia katakan.
“Apa iya, kamu mau begini terus? Lalu, sampai kapan kamu mau begini?” gugatku padanya.
“Bagi saya, anak-anak itu yang lebih penting. Soal lain, saya tak sempat memikirkannya, Pak Lik,” sergahnya.
“Kau ini. Persoalannya, bukan soal kamu dapat upah atau tidak, tetapi bagaimana kau akan benar-benar membuat anak-anak ini teryakinkan kalau yang kau ajarkan itu benar-benar berguna untuk mereka kelak. Itu!” kataku setengah geregetan. Aku tak tahan melihatnya begitu. “Cobalah pikirkan itu. Apakah yang kau berikan pada anak-anak itu akan benar-benar membantu mereka, sementara kau sendiri tak sanggup menolong dirimu sendiri dari keterpurukan.”
***
Begitulah. Pembicaraanku dengannya, pada suatu sore di pos ronda yang ia sulap jadi tempat belajar anak-anak. Guru honorer yang anggun itu memang tekun. Telaten meladeni anak-anak. Bisa dikatakan, ia nyaris tak punya waktu untuk dirinya sendiri.
Selepas pulang dari sekolah, ia sebentar istirahat di rumah, barang satu atau dua jam. Lalu, ia segera menuju pos ronda itu. Ia tak mau membuat anak-anak menunggunya. Maka, lebih baik ia yang menunggu kedatangan mereka.
Satu per satu anak-anak didiknya datang. Ia menyambutnya dengan senyum, walau sesungguhnya ada lelah dan penat bergelayut.
Kalau ada muridnya sakit, ia tak segan menengoknya. Dan untuk urusan ini, ia selalu memaksa diri agar bisa membawa buah tangan untuk muridnya. Lagi-lagi, buah tangan itu dibelinya dengan ngutang. Tetapi, niatnya tak patah. Ia semangati muridnya yang sakit itu supaya lekas-lekas sembuh dan segera kembali bergabung dengan teman-temannya.
“Tari… Tari,” nama guru itu kugumamkan. Aku kagum padanya. Tetapi, kekagumanku juga membuatku semakin hari semakin berbuah kedongkolan. Ingin rasanya memarahi. Tetapi, apa kuasaku? Orang seperti dia, mengapa mesti hidup dalam ketakberdayaan?
“Nggak enak, Pak Lik. Ewuh,” kata-kata itu terus membayangiku. Bagiku, rasa ewuh itu ada tempatnya. Tidak semuanya harus diewuhi. Apalagi dalam soal yang prinsip. Dan yang dilakukan Tari adalah sesuatu yang prinsip. Mendayakan hidup orang lain, meskipun ia sendiri tak berdaya. Payah!
Apakah kebaikan mesti ditunjukkan dengan ketakberdayaan? Tidak. Itu hal bodoh. Itu sama artinya membunuh diri sendiri secara perlahan.
***
Kini, ia duduk di hadapanku. Di teras rumah. Saat ia hendak mengembalikan uang yang dipinjamnya tempo hari.
Kukatakan padanya, “Aku tahu, kamu tidak ingin hidup seperti yang kau alami saat ini, Tari. Tetapi, cobalah untuk menanggalkan rasa ewuhmu itu. Rasa ewuhmu mestinya bukan caramu menikmati penderitaan.”
Tari menunduk. Diam tak berkata apa-apa. Ia membenamkan diri dalam pikirannya yang tak karuan.
“Sekarang, aku tanya. Apakah tak ada keinginanmu untuk membahagiakan orang tuamu, Tari? Membuat mereka lega karena melihatmu hidup tanpa beban yang teramat berat?” tanyaku.
Ia mengangguk.
“Terus, bagaimana caranya?”
Ia kembali diam. Seperti ada sesuatu yang tiba-tiba menghentak dan mengejutkannya. Ia tak tahu apa yang mesti dikatakannya.
“Aku yakin, kau sudah menemukan caranya. Hanya saja kau tak punya cukup keberanian untuk melakukannya. Ya kan?”
Pelan ia mulai membuka mulutnya. Pelan pula ia mengucap kata, “Iya, Pak Lik. Saya….”
“Baiklah. Aku tahu. Maka, sekarang percayakan pada Pak Likmu ini. Urusan sekolah pos ronda itu. Bagaimana?”
“Tapi, Pak Lik,”
“Sudah. Tidak ada tapi-tapian lagi. Percayalah, Pak Lik tidak akan membuat kehormatanmu sebagai guru di kampung ini terancam jatuh. Besok, saya akan kumpulkan orang tua anak-anak yang kau ajar itu di sini.”
***
Ya, benar. Tari memang berhati mutiara. Tetapi, apalah gunanya kebaikan itu jika karena kebaikannya itu justru membuatnya tersiksa. Apakah orang akan peduli dengan jerit hatinya yang perih? Siapa yang sanggup mendengarkan jerit hati itu?
Orang lebih peduli pada dirinya sendiri. Bahagia untuk dirinya sendiri. Untuk orang lain, sekadarnya saja. Setidaknya untuk menjaga hubungan baik yang kadang juga tak jarang retak. Atau sekurang-kurangnya, agar tampak sebagai manusia pada umumnya.
Perasaan ewuh yang kadang kala disalahartikan justru akan semakin membuat orang lain tak peduli. Apalagi jika kepedulian itu berubah menjadi rasa kasihan. Bagiku, rasa kasihan hanyalah bentuk lain dari menista orang lain. Karena menganggap orang lain lemah, sementara diri sendiri dianggap sebagai orang yang beruntung.
Hari yang kujanjikan tiba. Orang tua anak-anak didik Tari ngumpul di rumah. Jamuan istimewa tentunya kusuguhkan pada mereka. Ya, mereka itu tamu. Jadi, perlu dijamu dengan hidangan yang membuat mereka senang. Setidaknya, ketika mereka kuminta untuk bersepakat, kecil kemungkinan untuk menolak.
Ya, watak manusia lebih cenderung tamak. Mereka suka pada hal-hal yang membuat mereka senang. Tetapi, tak tahan jika harus menahan perihnya derita. Tetapi, ketika kesenangan itu tengah mereka rasakan, cerita duka seseorang kadang bisa menjadi senjata untuk melelehkan kebekuan hati mereka.
Sembari menikmati hidangan buah-buahan, makanan yang lengkap dengan sayur dan daging, aku mulai bercerita tentang Tari. Mereka mendengarkan dengan saksama. Mereka diam menyimak. Kulihat rona wajah mereka mulai berubah. Satu per satu mereka mulai lunak. Satu per satu mulai buka suara dengan nada yang lembut dan penuh perhatian.
“Sebenarnya, kami tidak keberatan, Pak Lik. Wong kami itu sudah bersepakat untuk mengganti keringat Bu Tari. Cuma kami tidak enak juga kalau itu menyingung perasaan beliau,” kata Lastri pemilik bank tongol itu.
“Oh, kalau begitu, artinya tidak ada masalah to jika Ibu dan Bapak ditariki iuran?” tanyaku.
Serentak mereka menjawab, “Tidak. Kami tidak keberatan!”
Tuntaslah sudah. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan yang sedikit melonggarkan tenggorokan. Besar kemungkinan hidup Tari akan lebih baik di kemudian hari.
***
Sekarang, aku kembali menata hidupku lagi.
Seperti kukatakan, menjadi robot mungkin saja lebih baik ketimbang manusia. Robot hanya dibekali program. Mereka ikuti program itu. Tetapi manusia, dengan segala yang ada di dirinya, ia bisa saja melakukan hal-hal di luar kebiasaan. Bahkan, sangat mungkin ia melanggar aturan. Membunuh misalnya.
Oh iya, untuk membunuh, seseorang kadang tak perlu dengan senjata. Hanya dengan kata-kata, seseorang bisa saja membuat orang lain terbunuh. Hanya dengan kata-kata, ia bisa menyiksa seseorang hingga nyawanya lenyap.
Aku hanya seorang kuli bongkok di pasar. Umurku sudah jelang kepala empat. Tapi aku belum punya keinginan untuk membangun dunia kecil yang bernama keluarga. Sekalipun, sebenarnya aku memiliki bilik kosong di hatiku untuk sebuah nama. Tetapi, aku takut menuntunnya untuk memasuki bilik hatiku yang gelap itu. Aku takut, jika itu justru akan membuatnya semakin menderita.
Ya, di kegelapan, manusia sama-sama tidak akan tahu siapa yang sedang dihadapinya. Ketakutan kadang membuat seseorang salah langkah. Bahkan, bisa sangat mungkin ia akan membunuh orang lain demi mempertahankan hidupnya. Hanya karena curiga dan kecemasan yang berlebihan.
Pernah suatu hari aku memikirkan untuk menjadi badut. Waktu itu, tanpa sengaja kulihat sekelompok badut menari-nari di perempatan pasar. Orang-orang mengerubutinya. Mereka terhibur. Gelak tawa memecah suasana. Ah, rasanya begitu menyenangkan menjadi badut. Bisa membuat orang-orang terhibur, sekalipun mereka tidak tahu apa yang sedang dirasakannya.
Seketika, seorang pak tua mendekat ke arahku. Ia membawa rombongan badut itu. Lalu pak tua itu berkata, “Tuhan sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Jika saudara sekalian baik kepada kami, Tuhan pasti membalasnya. Mohon sumbangan seikhlasnya, niscaya hajat dan harapan saudara sekalian tertunaikan.”
Ah, uang logam lima ratusan terpaksa kurogoh lagi dari saku celana. Berkuranglah bayaranku pagi ini. Hilang. Kutinggalkan saja kerumunan itu.
Ternyata, tak ada bedanya. Mereka tak benar-benar menghibur. Senyum yang mereka bagikan butuh imbalan. Bajilak. Kupikir, mungkin sebaiknya perasaan manusia dihilangkan. Tapi, tatapan pak tua itu mengusikku. Aku gelisah. Kularikan saja gelisahku itu pada pos ronda tempat Tari mengajar. Barangkali di sana kutemukan jawaban.
***
Seminggu berlalu. Kegelisahanku masih saja bergayutan dalam benak. Bayang-bayang wajah pak tua itu masih saja memenuhi pikiran. Lalu, wajah Tari muncul. Bergantian wajah dua orang itu bermunculan. Aku tak tahu, mengapa tiba-tiba aku begini. Mungkinkah ini pesan? Ataukah sebuah isyarat?
Badut tua. Tari. Badut tua. Tari. Badut tua. Tari. Begitu terus. Aku tak mengerti, apa artinya semua ini.