Pekalongan – Minggu (9/8/2020) pagi cintapekalongan.com, tanpa menarik serupiah pun dari kantong peserta, berhasil ngadain Sinau dan Ajar Jurnalistik di Puskomas Kota Pekalongan, seberang Rumah Sakit Anugerah. Pesertanya lumayan banyak, melebihi kuota yang ditetapkan panitia sejumlah 20 orang. Dengan memanfaatkan rumah dinas yang sejak lama nggak dipakai, acara ini digelar mulai pukul 10 hingga sekitar jam 1 siang.
Sejam sebelum dimulai, saya sempat WhatsApp-an sama Mas Angga, founder situs informasi dan media online Pekalongan yang berdiri sejak 2015 itu. Di jadwal yang beredar sekitar seminggu lewat, tertulis bahwa agenda sinau dimulai jam 9 pagi. Entah karena takut telat, atau terbiasa ditegur atasan karena terlambat masuk kerja, saya sudah duduk di depan ruangan sekitar jam setengah sembilan, sendirian.
“Nunggu siapa, Mas,” kata Ibu-ibu yang bermukim di situ.
“Saya mau ketemu mas Angga, Bu. Orangnya sudah datang belum, ya? Soalnya acara mau dimulai.”
Ibu itu menatap saya kosong, agak melongo seraya mengerutkan dahi, sambil mengayun-ayunkan bayinya yang sedang tidur nyenyak di gendongannya.
Meski sempat hening selama beberapa detik, saya menangkap rasa lelah pada wajahnya. Rambutnya juga masih awut-awutan. Dasternya lusuh, mungkin baju itulah kesukaannya di kala santai. Dan seorang pemuda yang datang entah dari mana tiba-tiba mengganggu kedamaian paginya yang indah.
“Maaf, Bu, saya permisi dulu. Maturnuwun,” demikian saya mengakhiri kecanggungan kami berdua. Karena hape hampir lowbat, saya coba memastikan apakah Puskomas pindah ke area kompleks Museum Batik. Suatu keputusan yang absurd.
***
Saya menangkap beberapa hal penting dari kursus singkat ini. Pertama, cintapekalongan.com, melalui penuturan pimpinan redaksinya, Ribut Achwandi, tengah berbenah, salah satunya dengan mengedepankan penggunaan gaya penceritaan dan sudut pandang baru.
Kang Ribut, sapaan yang familiar buat pemateri tunggal acara ini, merasa resah dan mungkin juga tak puas dengan berita-berita atau artikel wisata yang tersebar di media online. Katanya, isi informasi artikel dan berita wisata seringnya gitu-gitu aja. Biasanya, yang selalu ada di dalamnya antara lain jalur akses, harga tiket masuk, rumah makan terdekat, spot-spot foto yang instragamable, hotel atau losmen, tempat ibadah, legenda atau mitos tentang objek wisata itu, dan semacamnya.
Saya pun sependapat, pak. Bener. Tetapi, hanya karena ingin cari hal beda atau sudut pandang baru lantas info-info dasar itu dihilangkan begitu saja, saya pikir bukan begitu juga. Di samping informasi itu, mestinya juga ditampilkan tempat makan mana saja yang ramah anak, pada hari apa saja objek wisata itu sepi, ramai, bahkan tumpah ruah mbludak nggak ketulungan, bagaimana terbentuknya objek wisata alam itu dilihat dari segi ilmiah dan sains-nya, dan macam-macam.
Saya pun tergelitik untuk mengajukan hal yang beda. Berbekal pengetahuan yang amat terbatas, saya membayangkan, bagaimana bila penceritaan objek wisata bertolak dari sudut pandang salah satu pengunjung yang barang tentu punya kisah unik selama liburan di sana. Gaya ini seperti feature, jenis berita yang biasanya digunakan untuk mengkisahkan korban perang atau bencana alam dari perspektif manusia, bukan peristiwanya.
Misalnya nih, bagaimana pengunjung itu, dan mungkin juga bersama keluarganya, nyasar akibat mengikuti rute google maps, atau kekecewaan mereka saat mendapati panorama tempat wisata itu jauh beda dengan foto yang ia lihat di media sosial.
Kisah semacam itu menarik karena memberikan ruang bagi pembaca menikmati posisi itu. Elemen subjektif ini berpotensi memperkaya suasana artikel yang seringkali sekadar mempertontonkakn keindahan yang abstrak.
Kedua, yang juga paling menarik buat saya, yakni formulanya tentang Jurnalisme Cinta. Di telinga saya, istilah ini kedengaran unik. Jurnalisme yang terkesan gagah, pantang menyerah menerjang terik matahari sewaktu mencari berita dan narasumber, berpikir objektif serta setia pada data dan informasi, seenaknya saja disandingkan dengan kata “cinta” yang sumber hidupnya berasal dari perasaan. Terkesan manja dan lemah.
Paling tidak, begitulah yang saya bayangin. Namun rupanya beda lho gaes. Cinta itu dahsyat. Karena cintalah kita rela berkorban banyak hal untuk pasangan. Tersebab cintalah seorang ayahrela banting tulang membahagiakan keluarganya.
Bukankah kalau sudah cinta akan suatu hal, rasa memiliki itu bakalan tumbuh dengan sendirinya? Bahkan, sering kita dengar kiasan yang lumayan populer di kalangan remaja atau penikmat cinta, “kalau sudah cinta, kotoran ayam pun bagai cokelat.” Nah.
Dari situlah Kang Ribut memulai uraian singkatnya tentang Jurnalisme Cinta. Berangkat dari kutipan karya Kahlil Gibran, budayawan Kota Pekalongan ini mulai menelusuri dasar-dasar cinta.
Sedikitnya orang perlu kenal dan tahu akan suatu objek supaya tumbuh cinta. Pengenalan dan pengetahuan akan Pekalongan, umpamanya, dapat diejawantahkan dalam bentuk penggalian informasi tentang keadaan geografis serta komparasinya dengan daerah lain, sosiologinya, stratifikasi kelas masyarakatnya, pengaruh ketokohan orang berpangaruh, dan sebagainya. Proses ngepoin kayak gini ini bisa menyisakan rasa penasaran, heran, dan kagum sekaligus pada benak kita. Apalagi banyak sisi lain yang akhirnya kita ketahui. Ini mirip pemuda yang tahu betul apa kesukaan gadis yang disukainya.
Melalui pengenalan dan pengetahuan, kita seperti terbujuk untuk ngulik objek itu lebih dalam, dengan cara pe-de-ka-te, dengan cara masuk ke masa lalunya, atau mungkin menyatu dengannya. Kalau sudah cinta, barangkali orang tak akan cuma bilang, “aku cinta dia karena cantik.” Begitu juga orang nggak cuman ngejawab megono dan batik tiap kali ditanya soal keunikan Pekalongan.
Dengan mencintai, kita bisa membaca Pekalongan, dan memberitakan pada khalayak bahwa banyak segi indah yang dipunyai kota ini.
Dari situ saya penasaran, bagaimana cinta bisa ada, dan apa saja sih sumbernya. Pada titik ini saya seolah ditunjukkan hasil analisis atas kemungkinan sebab-sebab cinta, yang dideretkan Kang Ribut dalam beberapa poin. Satu yang paling berkesan buat saya adalah keserasian.
Di mata saya, keserasian itu sumber laku kritis dan cukup radikal. Karena itu kesan cintanya berasa heroik. Keserasian semacam ini ingin menutup jurang lebar antara yang ideal dengan yang nyata. Antara sungai Kota Pekalongan yang gelap warna dan masa depannya, contohnya, dengan imajinasi kita mengenai air Kali yang bersih. Antara keindahan kehidupan pantai sebagaimana dibayangkan khalayak, dengan luapan rob yang makin merangsek ke utara. Antara pelajaran Sejarah Pekalongan di kurikulum sekolah, dengan nihilnya sejarah lokal di ruang pembelajaran. Dan antara-antara yang lainnya.
Begitulah. Dasar tindakan itu membuktikan adanya cinta yang telah tumbuh di dalam hati sesesorang. Mengesankan, bukan?
Selanjutnya, apakah jurnalisme unik ini bakal digunakan secara konsisten oleh cintapekalongan.com dalam perjalanannya? Masa iya saya tahu masa depan sih. Baiknya kita pantau saja.
Komentarnya gan