KOTOMONO.CO – Sudah menjadi rahasia umum kalau makanan khas Pekalongan yang paling utama dan tiada duanya yaitu megono. Makanan ini termasuk dalam lauk yang cocok dijadikan pendamping saat sarapan, makan siang, hingga makan malam. Kecintaan masyarakat Pekalongan kepada megono memang demikian. Tidak perlu heran kalau menu megono selalu kamu jumpai di warung pada setiap jam makan.
Sebenarnya, megono tidak hanya akrab di wilayah Pekalongan saja. Daerah sekitarnya juga turut mendambakan makanan khas satu ini. Di daerah saya, misalnya, Batang pinggiran. Saya sampai heran dan bertanya-tanya sendiri, bagaimana bisa seseorang sarapan dengan lauk yang sama setiap hari?
Pertanyaan tersebut tidak muncul begitu saja. Ini dipicu atas pengamatan saya kepada orang-orang sekitar yang membeli lauk yang sama di warung yang sama setiap harinya. Tidak lain dan bukan lagi, megonolah primadonanya. Pagi ini megono dan oseng tempe, besok megono campur mie, lusa megono solo karir. Pokoknya tidak boleh ketinggalan.
Wajib hadirnya megono ini juga tercermin dalam menu berkat hajatan daerah kami. Saat khitan, mantenan, mitoni atau tingkeban, megono selalu tampil di kotak lauk yang lebih luas. Ini menunjukkan bahwa megono lebih diutamakan dibanding lauk lainnya.
BACA JUGA: 26 Kuliner Pekalongan Yang Recommended, Harus Kamu Coba!
Megono dibuat dari cajakan (cacahan atau cincangan) buah nangka muda (cecek) yang sudah dikupas kulitnya kemudian dikukus bersama dengan bumbunya. Bumbu megono terdiri dari bawang merah, bawang putih, ketumbar, kemiri, terasi, kencur, cabai merah, serai, daun salam, daun jeruk. Semua bumbu tersebut ditumbuk dengan halus, kemudian dukukus bersama cacahan cecek tadi, sedikit gula jawa, dan parutan kelapa.
Pengukusan membutuhkan waktu 45 menit sampai 1 jam. Sekiranya cecek sudah matang, urap bumbu, kelapa parut, dan cecek-nya sampai rasanya pas. Penambahan jumlah garam dan penyedap rasa opsional. Yang pasti, sesuaikan dengan seleramu.
Tapi perlu kamu ketahui bahwa sebenarnya, megono Pekalongan tidak cuma megono cecek lho. Ada dua varian lainnya yang juga turut meramaikan dunia permegonoan di Pekalongan.
Megono Bung
Bung, atau rebung adalah tunas bambu muda. Orang Pekalongan dan sekitarnya biasanya menyebutnya dengan bung saja. Menu megono bung ini biasanya hadir di warung saat cecek sulit didapatkan. Entah karena masih jarang berbuah, atau musim hujan sehingga cecek cepat jadi nangka. Untuk itu, masyarakat menyiasatinya dengan menggantinya memakai bung.
FYI, hanya tunas bambu yang masih sangat muda saja yang bisa dimakan. Kalau sudah jadi bambu mah biasanya justru dijadikan atap rumah atau kerajinan kayu lain.
BACA JUGA: Garang Asem H. Masduki, Kuliner Pekalongan Yang Melegenda
Bumbu megono bung tidak jauh berbeda dari megono cecek. Hanya cara memasaknya saja yang berbeda. Bung yang sudah dipanen, dibersihkan terlebih dahulu kulitnya. Kemudian potong hingga berbentuk lembaran kemudian jadikan persegi panjang. Kalau kamu beli di pasar, biasanya banyak dijumpai bentuk lembaran saja.
Nah, bung yang sudah dipotong tadi kemudian direbus dalam air yang mendidih. Tiriskan, kalau perlu diperas sampai kandungan airnya benar-benar sedikit. Selanjutnya proses memasak megono bung sama dengan megono cecek. Kukus parutan kelapa, irisan bung yang sudah matang, dan bumbu. Tunggu hingga matang, urap, dan cek rasanya.
Jika megono cecek kecoklatan, warna megono bung jauh lebih pucat. Tapi rasanya tidak kalah gurih dari megono cecek. Yang penting bung-nya tidak kasar dan keras saja sih.
Megono Kacang
Varian megono Pekalongan lainnya yaitu megono kacang. Kacang yang dipakai untuk megono berupa kancang panjang. Terbayang kan ya?
Dengan bumbu yang sama dengan varian megono lainnya, megono kacang punya rasa yang sedikit berbeda. Tidak ada rasa gurih yang mendominasi kuat, lebih ke rasa sedikit gurih sedikit manis khas kacang.
Kacang panjang cuci terlebih dahulu kemudian iris kecil-kecil. Siapkan bumbu halus dan parutan kelapa, kemudian kukus semuanya jadi satu. Sama persis dengan cara memasak megono cecek. Namun, ada tips rahasia. Ini saya dapatkan dari orang yang sudah berpengalaman.
Jadi, jika dikukus seperti biasanya megono kacang akan lebih basah dan sari-sari bumbunya turut luruh ke bawah sarangan. Kalau bumbunya berkurang, rasanya juga akan terpengaruh bukan? Untuk menyiasati hal tersebut, megono kacang bisa dimasak di wajan, bukan dikukus di panci lagi. Tapi jangan beri air terlalu banyak ya atau bakal jadi bubur megono. Hehe.
Yang spesial dari megono kacang adalah ia dijadikan menu pengganti megono cecek saat slametan kematian. Di daerah kami, ada kepercayaan kuat dari orang tua bahwa saat sebuah keluarga sedang berduka, di rumah itu dilarang untuk nyajak cecek. Alhasil, menu megono cecek yang biasanya wajib hadir di berkat, kali ini alpa dan digantikan megono kacang.
Entah bagaimana di daerah lain, yang pasti kepercayaan ini masih dijalankan dan diyakini orang tua di daerah saya hingga sekarang. Tapi, kalau beli cajakan cecek di pasar atau pesan nasi kotak di luar, masih boleh pakai menu megono tidak ya? Wkwk.
komentarnya gan