Kotomono.co – Tanggal 23 Oktober kemarin, Mas Gibran resmi diusung sebagai Cawapres-nya Pak Prabowo. Ini adalah berita hot yang ditunggu-tunggu khalayak. Tentu saja akan selalu ada ormas (obrolan masyarakat) yang pro dan yang kontra. Eh ada yang netral juga sih, kayak saya contohnya.
Mereka yang kontra sejak awal telah menggaungkan isu politik dinasti. Kubu ini menganggap bahwa dengan diusungnya Gibran yang notabene anak Presiden Jokowi sebagai cawapres bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia. Mereka beranggapan bahwa harus ada jeda waktu antara masa jabatan orang tua dengan anaknya, biar nggak kayak kerajaan. Kalau katanya orang jawa, ngono ya ngono ning aja ngono.
Ditambah lagi proses pencalonan Gibran ini ditempuh dengan shortcut, mengambil jalan pintas. Jalan pintas tersebut berupa akal-akalan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memberi batasan usia si calon. Aturan tersebut diakali melalui gugatan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi. Hal inilah yang disayangkan oleh kubu yang kontra.
Sedangkan kubu yang pro juga sudah menyiapkan banyak argumen. Lha iya, wong politik kok, apa sih yang ndak bisa dicarikan alasan? Pendukung Gibran mengusung alasan utama bahwa siapapun orangnya yang sudah pernah menjabat sebagai kepala daerah melalui Pilkada boleh mencalonkan diri sebagai Capres atau Cawapres.
BACA JUGA: Strategi Politik Dibalik Gelar Tituler Untuk Deddy Corbuzier
Pihak yang pro ini beranggapan ya kebetulan saja kali ini Griban yang sedang ketiban sampur. Padahal para mantan yang lain juga sama ngebetnya untuk memberikan tongkat estafet kepada si anak. Lihat saja bagaimana si emak kae setengah mati mendongkrak citra sang putri. Atau si blue daddy yang sampai melakukan perjudian besar terhadap karir militer si anak. Semua dilakukan demi memberikan tongkat estafet kekuasaan kepada sang anak.
Intinya ya sama saja, semua mantan ingin kekuasaannya bisa langgeng dalam genggaman garis keluarga. Bedanya, ada yang berhasil dan ada yang gagal.
Membuka Ulang Kisah Barata dan Dewi Kekayi dalam Wiracarita Ramayana
Saya yang netral melihat perdebatan pro kontra via medsos tersebut cuma bisa bilang bodo amat dah ah. Kalian yang mau berebut kue pemilu ya silahkan rebutan sana. Biar saya lanjut kerja sambil sesekali nyeruput kopi dan menghirup asap tembakau.
Eh tapi, sambil ngopi dan sebat gitu tiba-tiba saya njur kelingan sebuah lakon wayang. Saya ingat sebuah episode perebutan kekuasaan dalam wiracarita Ramayana. Bukan, bukan tentang rebutan Dewi Shinta. Ramayana menyimpan begitu banyak hikmah, lebih dari sekedar urusan asmara Dasamuka.
BACA JUGA: Perempuan di Mata Rahwana
Episode yang saya maksud adalah momen ketika Dewi Kekayi memaksa Raja Ayodya, Prabu Dasarata agar mengangkat Barata, anaknya yang baru berusia 13 tahun (masih piyik dalam politik) sebagai penerus tampuk kekuasaan. Padahal saat itu yang berstatus sebagai putra mahkota adalah Ramawijaya, si putra sulung Dasarata dari Dewi Kosalya.
Singkat cerita Kekayi memanfaatkan hutang budi politik Prabu Dasarata kepadanya. FYI, di masa lalu Kekayi pernah menyelamatkan nyawa Dasarata di medan perang. Hal ini membuat Dasarata berjanji akan memenuhi 3 permohonan Kekayi kelak di kemudian hari. Dan sang permaisuri memanfaatkan itu dengan sangat baik, meminta tahta untuk Barata. Bukan itu saja, Kekayi juga menuntut 13 tahun pengasingan bagi Rama, for no reason.
Plot Twist yang Disajikan oleh Barata
Cerita di atas memang agak klise dan membosankan dari sudut pandang perebutan kekuasaan. Di mana-mana yang namanya politik ya gitu-gitu aja, penuh intrik. Yang menarik justru plot twist yang disuguhkan oleh Barata, si raja yang dipaksakan oleh ibunya itu.
Konon Barata tidak setuju dengan niatan ibunya untuk menjadikan dirinya sebagai raja Ayodya. Dan selama 13 tahun memerintah (sebab Rama sedang dalam pengasingan di hutan), dia selalu meletakkan sandal Rama di singgasananya. Hal itu menjadi perlambang bahwa dia memerintah kerajaan hanya sebagai pelaksana tugas (Plt) dari Rama saja.
Maka sekembalinya Rama dari pengasingan selama 13 tahun di hutan, Barata dengan sukarela mengembalikan tampuk kekuasaan kepada sang putra mahkota yang sebenarnya. Sebuah tindakan yang tidak diduga oleh Kekayi sebagai orang tuanya. Episode ini diceritakan dengan syahdu oleh Rama Sindhunata dalam buku Anak Bajang Menggiring Angin halaman 125, yang saya kutipkan salah satu paragrafnya berikut:
“Ibu, sadarlah ibu, bahwa kasih sayangmu terhadap diriku sebenarnya adalah kasih sayangmu terhadap dirimu sendiri. Kau tidak pernah memukul aku, tapi kau telah menghancurkan hidupku dengan kasih sayangmu yang beku. Kau tidak pernah memarahi aku, tapi telah membakar aku dengan keserakahanmu. Ibu, kasihanilah aku dengan cinta yang memang aku butuhkan, bukan dengan cinta yang kau inginkan. Apa arti kasih sayangmu kepadaku, jika itu kau laksanakan dengan mengusir kakakku Rama yang tercinta?”
Intinya, bukan Barata yang menginginkan kekuasaan melainkan Kekayi yang kemaruk tahta kerajaan. Bukan si anak yang sengaja nggege mangsa, tapi si ibu yang kebelet mengejawantahkan keinginannya sendiri melalui tangan sang putra.
Pertanyaannya, mungkinkah epos lama tersebut terulang kembali di sini? Mungkinkah anak-anak elit politik di republik ini mengalami hal yang sama, hanya menjadi kepanjangan tangan kekuasaan orang tuanya?
Saya jadi membayangkan, andai si Mas kae meniru langkah yang ditempuh Barata, rasanya kok kejauhan ya, hahaha.
Tulis Komentar Anda