KOTOMONO.CO – Sapu kiranya kerap kita temui dimanapun kita berada. Disamping manfaatnya untuk membersihkan, ternyata ada makna lain yang terkandung dalam sapu, khususnya sapu lidi.
Di Jawa, sapu lidi terpilahkan menjadi tiga; Pertama, sapu lidi yang lemas-lunglai (disebut sapu lidi). Biasanya, lidi ini tidak dipotong ujungnya. Hal ini disebabkan karena fungsinya untuk menyapu ubin atau lantai. Kemudian yang kedua, sapu lidi yang kaku (disebut sapu gerang). Sapu ini biasanya dipotong bagian ujungnya-yang lemas. Jikalau tidak dipotong, biasanya dikarenakan sudah lama digunakan. Sapu ini digunakan untuk menyapu tanah. Terakhir yang ketiga, sapu lidi kecil (disebut dengan tebah/seblak/kelud). Fungsi sapu ini (selanjutnya disebut tebah) adalah untuk menyapu tempat tidur.
Bagi masyarakat Jawa, sapu menjadi bagian yang penting secara kultural. Peristiwa pertama misalnya adanya nganten ketika akan melakukan panen. Di Klaten, sebelum panen dilakukan, biasanya akan dilakukan ritus wiwit. Kemudian dalam ritus ini, petani akan mengambil padi beberapa ikat yang lalu dibawa pulang. Ikatan padi ini selanjutnya akan diletakan di kamar (dahulunya biasanya di lumbung padi ataupun genthong-tempat menaruh padi). Secara subyektif, peristiwa ini menyuratkan sebuah penjemputan Dewi Sri untuk dibawa pulang.
Nganten ini berisikan ikatan padi, kinangan (tembakau, gambir, suroh, dan injet), kaca, dan juga sapu tebah. Peristiwa ke dua misalnya adanya norma “melemparkan” sapu gerang di Klaten bagian barat (karena saya belum melakukan pengamatan di Klaten bagian timur). Ketika seorang anak memberikan sapu ke orang tua, sapu tersebut tidak boleh diberikan dari tangan ke tangan. Melainkan, diberikan dengan menaruhkannya di depan orang tua ataupun melemparkannya. Hal yang paling jelas ialah, sapu tidak diperkenankan diberikan melalui tangan ke tangan, pamali katanya.
BACA JUGA: Perempuan dan Keseimbangan dalam Gamelan
Peristiwa ke tiga ialah adanya kepercayaan menyembuhkan anak/bayi ketika badannya tengah panas berhari-hari (apalagi ketika rumah si anak/bayi berada oada tempat yang dianggap angker/wingit). Orang tua zaman dulu akan berkeliling rumah searah jarum jam sebanyak tujuh kali. Terdapat uborampe (peralatan) yang dibawa, seperti lirang sambi dan juga sapu gerang. Lirang sambi ini akan ditaburkan selama berkeliling. Sedangkan sapu gerang digunakan tatkala berada di sudut-sudut rumah. Di sudut rumah, orang tua akan menyapu sebanyak tiga kali (setiap putaran).
Secara emperik, aktivitas ini pernah saya temui. Juga, hasilnya ialah mampu menyembuhkan penyakit yang diderita si anak/bayi. Dari paparan peristiwa ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sapu lidi kiranya tidak hanya mewujud menjadi alat kebersihan, namun terdapat makna kultural yang diyakini oleh masyarakat Jawa.
Falsafah Sapu Lidi
Sebelum menginjak lebih jauh, nilai filosofis dari sapu lidi kiranya patut untuk diaktualkan. Pasalnya, nilai ini relevan terhadap peristiwa mutakhir. Barangkali, kita sudah akrab dengan peribahasa “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!”. Peribahasa ini menjadi sebuah “jargon” menuju sebuah kebersamaan dan persatuan. Di Jawa, hal serupa juga dihadirkan melalui sapu lidi.

Bermula dari lidi. Sebuah lidi kiranya akan mudah untuk dipatahkan. Berbeda dengan seikat lidi, ia tidak akan mudah untuk dipatahkan. Sebuah lidi menyimbolkan satu orang, sedangkan seikat lidi menyimbolkan banyak orang. Ketika satu orang, kiranya ia akan lebih mudah untuk ditaklukan. Berbeda dengan banyak orang, ia akan lebih sulit untuk ditaklukan. Dalam pandangan lain, menghimpun banyak kekuatan akan lebih mudah untuk mencapai sebuah tujuan. Sedangkan, untuk mengikat banyaknya orang dan banyaknya kekuatan ini diperlukan sebuah kebersamaan. Hal inilah yang merepresentasikan sapu lidi.
Sapu Lidi Sebagai Penolak Bala
Saya terlahir dari kultur Jawa yang kiranya masih tergolong kental. Hingga kini, saya masih menyaksikan adanya dua buah lidi yang diletakan secara menyilang di atas pintu utama rumah. Tidak lupa, pada bagian ujung ditancapkan bawang merah, bawang putih, dan juga cabai merah. Secara berkala, lidi tersebut akan diperbaharui. Biasanya ketika malam satu suro ataupun ketika ritus nyadran.
BACA JUGA: Makna dan Tuntunan Perilaku Hidup di Balik Pintu Gebyok
Sedangkan, fungsi dari lidi tersebut ialah untuk sarana tolak bala: menolak berbagai hal-hal negatif agar tidak masuk ke rumah. Kiranya, masyarakat Jawa memnggunakan berbagai sarana dan simbol dalam tolak bala, misalnya air berisi kembang di sebuah cawan yang diletakan di depan rumah. Ataupun dengan menanam bambu kuning di depan rumah. Lidi menjadi salah satu wujud sarana tersebut.
Pola serupa juga terjadi ketika ada bayi yang tengah lahir. Biasanya di atas tempat tidur (terkadang juga di samping tempat tidur) akan disaksikan sebuah lidi yang ditancapi dengan bawang merah, bawang putih, cabai, dan berbagai rempah lainnya. Lidi dengan tancapan rempah-rempah tersebut disebut dengan “tombak sewu”. Tombak Sewu juga berfungsi sebagai sarana tolak bala. Hal ini ditujukan untuk menangkal hal-hal negatif agar tidak mengganggu bayi. Tidak lupa, tombak sewu ini juga akan ada sapu tebah di sampingnya. Dalam Sapu tebah ini menyimbolkan leluhur: agar leluhur juga turut menjaga bayi (Khairunnisa, 2011).
Sapu Lidi Sebagai Tolak Hujan
Dalam perjalanannya, petani kerap kali menggunakan ilmu pranoto mongso dalam menentukan waktu tanamnya. Namun, agaknya ilmu pranoto mongso menjadi mleset akibat perubahan iklim. Hal ini membuat waktu panen dan hujan seringkali berbarengan. Dalam masyarakat Jawa, terdapat seorang pawang hujan juga terdapat berbagai ritus untuk menolak hujan, salah satunya melalui sapu lidi.
Selain sebagai tolak bala, juga terdapat fungsi lain dari sapu lidi yakni tolak hujan. Dalam ranah agraris, ketika panen padi tiba; tentu aktivitas mengeringkan padi selalu dilakukan. Terkadang, waktu panen padi ini bertepatan dengan musim penghujan. Sehingga, proses pengeringan ini menjadi terhambat. Bagi beberapa orang yang hasil panennya banyak (biasanya juragan), ia akan menyewa seorang pawang hujan untuk menyiasati musim hujan tatkala mengeringkan padi.
BACA JUGA: Kelonthong Sapi: Muasal, Mitologi, dan Strata Sosial
Namun, bagi para petani yang hasil panennya tidak banyak; tentu tidak menyewa pawang hujan. Metode yang digunakan untuk menolak hujan dengan cara tradisional, yakni dengan membalik (menghadapkan ke langit) sapu gerang. Di bagian tengah-tengah (dipilih lidi yang paling kuat dan panjang; atau menambahkan lidi ke ikatan sapu), akan ada tombak sewu.
Meskipun kian surut, namun ritus ini masih saya temui di beberapa tempat. Secara subyektif, saya mengalami aktivitas tolak hujan ini; entah sebagai pelaku ataupun sebagai pengamat. Secara garis besar, upaya menolak hujan ini seringkali berhasil. Meskipun, tidak bertahan secara lama (kebanyakan dua hingga tiga jam kemudian mendung ataupun hujan). Namun, dari amatan tersebut; terdapat sebuah solusi atas perubahan iklim yang terjadi. Meskipun, musim tidak bisa diprediksi-pranoto mongso meleset; namun proses pengeringan tetap dapat dilakukan.
Sapu Lidi dan Cerita Rakyat
Di kalangan masyarakat Jawa, sebuah mitos ataupun cerita selalu lekat dengan kehidupan mereka. Bisa bersangkutan dengan sebuah benda, tempat, menjadi sarana atapun hal lainnya. Namun, mitos ataupun sebuah cerita begitu karib ditemui. Dalam hal ini, sapu lidi juga mengandung sebuah cerita di dalamnya. Agaknya, mitos ini bertautan dengan fungsi sapu lidi yang kiwari diyakini. Selain bersimbol leluhur, sapu lidi dalam pandangan lain juga menjadi simbol senjata (Wahyana, 2010).
Simbol sebagai senjata ini kiranya juga berdasarkan cerita panji yang berkembang di Jawa, yakni Panji Ande-ande Lumut. Di dalam cerita panji ini, tersuratkan ihwal lidi yang digunakan sebagai senjata.
“Kleting Kuning punya pusaka berupa lidi (sada lanang), air sungai dicambuk lidi menjadi kering. Kleting Kuning dapat melintasi sungai yang tidak berair itu.” (Hanggar Prasetya dan Wayan Dana, 2014:34)
BACA JUGA: Omah Lawang Sanga, Bangunan Khas Pekalongan dari Abad ke-19
Dalam cerita yang lain, cerita Panji “Sayembara Sada Lanang” yang sering dilakonkan dalam kesenian topeng Malangan misalnya. “Barang siapa yang dapat mencabut lidi ajaib atau sada lanang yang ditancapkan di tengah alun-alun, maka dia berhak untuk mempersunting Dewi Ragil Kuning. Tak seorang. Pun berhasil mencabut sada lanang tersebut, sampai muncul Raden Gunungsari”.
Berdasar pola kehidupan yang saya jalani dalam kultur Jawa. Tidak berlebihan kiranya ketika saya mengatakan bahwa penggunaan lidi untuk tolak bala agaknya terpengaruh oleh cerita-cerita tersebut.
Pasalnya, secara kultural; cerita-cerita menjadi sebuah faktor penting dalam mendidik, membentuk kepercayaan, membentuk norma, dan sebagainya. Bagi masyarakat Jawa, sapu lidi tidak bisa dipandang secara fungsi tekstualnya saja. Melainkan juga dipandang secara kontekstual. Tidak hanya mengandung falsafah yang dalam, sapu lidi menjadi sebuah simbol kultural.
komentarnya gan