• Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Term of Service
  • FAQ
Kotomono.co
  • Login
  • Register
  • ARTIKEL POPULER
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • K-Popers
  • PLESIRAN
  • PUSTAKA
  • NYASTRA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • RELEASE
    • OTOMONO
    • FIGUR
    • OH JEBULE
    • KEARIFAN LOKAL
    • NGABUBURIT
    • UMKM
No Result
View All Result
  • ARTIKEL POPULER
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • K-Popers
  • PLESIRAN
  • PUSTAKA
  • NYASTRA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • RELEASE
    • OTOMONO
    • FIGUR
    • OH JEBULE
    • KEARIFAN LOKAL
    • NGABUBURIT
    • UMKM
No Result
View All Result
Kotomono.co
No Result
View All Result
  • ARTIKEL POPULER
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • K-Popers
  • PLESIRAN
  • PUSTAKA
  • NYASTRA
  • LAINNYA
Filosofi Sapu Lidi

via my-best

Sapu Lidi: Dari Falsafah, Penolak Bala, Penolak Hujan, Hingga Cerita Rakyatnya

Supriyadi by Supriyadi
Maret 31, 2022
in LOCAL WISDOM
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

KOTOMONO.CO – Sapu kiranya kerap kita temui dimanapun kita berada. Disamping manfaatnya untuk membersihkan, ternyata ada makna lain yang terkandung dalam sapu, khususnya sapu lidi.

Di Jawa, sapu lidi terpilahkan menjadi tiga;  Pertama, sapu lidi yang lemas-lunglai (disebut sapu lidi). Biasanya, lidi ini tidak dipotong ujungnya. Hal ini disebabkan karena fungsinya untuk menyapu ubin atau lantai. Kemudian yang kedua, sapu lidi yang kaku (disebut sapu gerang). Sapu ini biasanya dipotong bagian ujungnya-yang lemas. Jikalau tidak dipotong, biasanya dikarenakan sudah lama digunakan. Sapu ini digunakan untuk menyapu tanah. Terakhir yang ketiga, sapu lidi kecil (disebut dengan tebah/seblak/kelud). Fungsi sapu ini (selanjutnya disebut tebah) adalah untuk menyapu tempat tidur.

Bagi masyarakat Jawa, sapu menjadi bagian yang penting secara kultural. Peristiwa pertama misalnya adanya nganten ketika akan melakukan panen. Di Klaten, sebelum panen dilakukan, biasanya akan dilakukan ritus wiwit. Kemudian dalam ritus ini, petani akan mengambil padi beberapa ikat yang lalu dibawa pulang. Ikatan padi ini selanjutnya akan diletakan di kamar (dahulunya biasanya di lumbung padi ataupun genthong-tempat menaruh padi). Secara subyektif, peristiwa ini menyuratkan sebuah penjemputan Dewi Sri untuk dibawa pulang.

Nganten ini berisikan ikatan padi, kinangan (tembakau, gambir, suroh, dan injet), kaca, dan juga sapu tebah. Peristiwa ke dua misalnya adanya norma “melemparkan” sapu gerang di Klaten bagian barat (karena saya belum melakukan pengamatan di Klaten bagian timur). Ketika seorang anak memberikan sapu ke orang tua, sapu tersebut tidak boleh diberikan dari tangan ke tangan. Melainkan, diberikan dengan menaruhkannya di depan orang tua ataupun melemparkannya. Hal yang paling jelas ialah, sapu tidak diperkenankan diberikan melalui tangan ke tangan, pamali katanya.

BACA JUGA: Perempuan dan Keseimbangan dalam Gamelan

Peristiwa ke tiga ialah adanya kepercayaan menyembuhkan anak/bayi ketika badannya tengah panas berhari-hari (apalagi ketika rumah si anak/bayi berada oada tempat yang dianggap angker/wingit). Orang tua zaman dulu akan berkeliling rumah searah jarum jam sebanyak tujuh kali. Terdapat uborampe (peralatan) yang dibawa, seperti lirang sambi dan juga sapu gerang. Lirang sambi ini akan ditaburkan selama berkeliling. Sedangkan sapu gerang digunakan tatkala berada di sudut-sudut rumah. Di sudut rumah, orang tua akan menyapu sebanyak tiga kali (setiap putaran).

Secara emperik, aktivitas ini pernah saya temui. Juga, hasilnya ialah mampu menyembuhkan penyakit yang diderita si anak/bayi. Dari paparan peristiwa ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sapu lidi kiranya tidak hanya mewujud menjadi alat kebersihan, namun terdapat makna kultural yang diyakini oleh masyarakat Jawa.

Falsafah Sapu Lidi

Sebelum menginjak lebih jauh, nilai filosofis dari sapu lidi kiranya patut untuk diaktualkan. Pasalnya, nilai ini relevan terhadap peristiwa mutakhir. Barangkali, kita sudah akrab dengan peribahasa “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!”. Peribahasa ini menjadi sebuah “jargon” menuju sebuah kebersamaan dan persatuan. Di Jawa, hal serupa juga dihadirkan melalui sapu lidi.

Oleh Supriyadi/Dokumen Pribadi

Bermula dari lidi. Sebuah lidi kiranya akan mudah untuk dipatahkan. Berbeda dengan seikat lidi, ia tidak akan mudah untuk dipatahkan. Sebuah lidi menyimbolkan satu orang, sedangkan seikat lidi menyimbolkan banyak orang. Ketika satu orang, kiranya ia akan lebih mudah untuk ditaklukan. Berbeda dengan banyak orang, ia akan lebih sulit untuk ditaklukan. Dalam pandangan lain, menghimpun banyak kekuatan akan lebih mudah untuk mencapai sebuah tujuan. Sedangkan, untuk mengikat banyaknya orang dan banyaknya kekuatan ini diperlukan sebuah kebersamaan. Hal inilah yang merepresentasikan sapu lidi.

Sapu Lidi Sebagai Penolak Bala

Saya terlahir dari kultur Jawa yang kiranya masih tergolong kental. Hingga kini, saya masih menyaksikan adanya dua buah lidi yang diletakan secara menyilang di atas pintu utama rumah. Tidak lupa, pada bagian ujung ditancapkan bawang merah, bawang putih, dan juga cabai merah. Secara berkala, lidi tersebut akan diperbaharui. Biasanya ketika malam satu suro ataupun ketika ritus nyadran.

BACA JUGA: Makna dan Tuntunan Perilaku Hidup di Balik Pintu Gebyok

Sedangkan, fungsi dari lidi tersebut ialah untuk sarana tolak bala: menolak berbagai hal-hal negatif agar tidak masuk ke rumah. Kiranya, masyarakat Jawa memnggunakan berbagai sarana dan simbol dalam tolak bala, misalnya air berisi kembang di sebuah cawan yang diletakan di depan rumah. Ataupun dengan menanam bambu kuning di depan rumah. Lidi menjadi salah satu wujud sarana tersebut.

Pola serupa juga terjadi ketika ada bayi yang tengah lahir. Biasanya di atas tempat tidur (terkadang juga di samping tempat tidur) akan disaksikan sebuah lidi yang ditancapi dengan bawang merah, bawang putih, cabai, dan berbagai rempah lainnya. Lidi dengan tancapan rempah-rempah tersebut disebut dengan “tombak sewu”. Tombak Sewu juga berfungsi sebagai sarana tolak bala. Hal ini ditujukan untuk menangkal hal-hal negatif agar tidak mengganggu bayi. Tidak lupa, tombak sewu ini juga akan ada sapu tebah di sampingnya. Dalam Sapu tebah ini menyimbolkan leluhur: agar leluhur juga turut menjaga bayi (Khairunnisa, 2011).

Sapu Lidi Sebagai Tolak Hujan

Dalam perjalanannya, petani kerap kali menggunakan ilmu pranoto mongso dalam menentukan waktu tanamnya. Namun, agaknya ilmu pranoto mongso menjadi mleset akibat perubahan iklim. Hal ini membuat waktu panen dan hujan seringkali berbarengan. Dalam masyarakat Jawa, terdapat seorang pawang hujan juga terdapat berbagai ritus untuk menolak hujan, salah satunya melalui sapu lidi.

Selain sebagai tolak bala, juga terdapat fungsi lain dari sapu lidi yakni tolak hujan. Dalam ranah agraris, ketika panen padi tiba; tentu aktivitas mengeringkan padi selalu dilakukan. Terkadang, waktu panen padi ini bertepatan dengan musim penghujan. Sehingga, proses pengeringan ini menjadi terhambat. Bagi beberapa orang yang hasil panennya banyak (biasanya juragan), ia akan menyewa seorang pawang hujan untuk menyiasati musim hujan tatkala mengeringkan padi.

BACA JUGA: Kelonthong Sapi: Muasal, Mitologi, dan Strata Sosial

Namun, bagi para petani yang hasil panennya tidak banyak; tentu tidak menyewa pawang hujan. Metode yang digunakan untuk menolak hujan dengan cara tradisional, yakni dengan membalik (menghadapkan ke langit) sapu gerang. Di bagian tengah-tengah (dipilih lidi yang paling kuat dan panjang; atau menambahkan lidi ke ikatan sapu), akan ada tombak sewu.

Meskipun kian surut, namun ritus ini masih saya temui di beberapa tempat. Secara subyektif, saya mengalami aktivitas tolak hujan ini; entah sebagai pelaku ataupun sebagai pengamat. Secara garis besar, upaya menolak hujan ini seringkali berhasil. Meskipun, tidak bertahan secara lama (kebanyakan dua hingga tiga jam kemudian mendung ataupun hujan). Namun, dari amatan tersebut; terdapat sebuah solusi atas perubahan iklim yang terjadi. Meskipun, musim tidak bisa diprediksi-pranoto mongso meleset; namun proses pengeringan tetap dapat dilakukan.

Sapu Lidi dan Cerita Rakyat

Di kalangan masyarakat Jawa, sebuah mitos ataupun cerita selalu lekat dengan kehidupan mereka. Bisa bersangkutan dengan sebuah benda, tempat, menjadi sarana atapun hal lainnya. Namun, mitos ataupun sebuah cerita begitu karib ditemui. Dalam hal ini, sapu lidi juga mengandung sebuah cerita di dalamnya. Agaknya, mitos ini bertautan dengan fungsi sapu lidi yang kiwari diyakini. Selain bersimbol leluhur, sapu lidi dalam pandangan lain juga menjadi simbol senjata (Wahyana, 2010).

Simbol sebagai senjata ini kiranya juga berdasarkan cerita panji yang berkembang di Jawa, yakni Panji Ande-ande Lumut. Di dalam cerita panji ini, tersuratkan ihwal lidi yang digunakan sebagai senjata.

“Kleting Kuning punya pusaka berupa lidi (sada lanang), air sungai dicambuk lidi menjadi kering. Kleting Kuning dapat melintasi sungai yang tidak berair itu.” (Hanggar Prasetya dan Wayan Dana, 2014:34)

BACA JUGA: Omah Lawang Sanga, Bangunan Khas Pekalongan dari Abad ke-19

Dalam cerita yang lain, cerita Panji “Sayembara Sada Lanang” yang sering dilakonkan dalam kesenian topeng Malangan misalnya. “Barang siapa yang dapat mencabut lidi ajaib atau sada lanang yang ditancapkan di tengah alun-alun, maka dia berhak untuk mempersunting Dewi Ragil Kuning. Tak seorang. Pun berhasil mencabut sada lanang tersebut, sampai muncul Raden Gunungsari”.

Berdasar pola kehidupan yang saya jalani dalam kultur Jawa. Tidak berlebihan kiranya ketika saya mengatakan bahwa penggunaan lidi untuk tolak bala agaknya terpengaruh oleh cerita-cerita tersebut.

Artikel Terkait

Falsafah Sendaren: Bunyi Keramahan dan Ikhtiarnya

Mengenal Candi dan Situs Kuno di Daerah Jawa Barat

Angka dan Manusia Jawa: Laku Kehidupan, Kearifan, dan Semesta

Pasalnya, secara kultural; cerita-cerita menjadi sebuah faktor penting dalam mendidik, membentuk kepercayaan, membentuk norma, dan sebagainya. Bagi masyarakat Jawa, sapu lidi tidak bisa dipandang secara fungsi tekstualnya saja. Melainkan juga dipandang secara kontekstual. Tidak hanya mengandung falsafah yang dalam, sapu lidi menjadi sebuah simbol kultural.

Baca Tulisan-tulisan Menarik dari Supriyadi Lainnya

Tags: Budaya JawaEsaiFalsafahKearifan LokalLocal WisdomOpini
Dapatkan berita terupdate dari Kotomono di:
Supriyadi

Supriyadi

Manusia tradisional!

Sapa Tahu, Tulisan ini menarik

Falsafah Sendaren pada layangan dan pertanian

Falsafah Sendaren: Bunyi Keramahan dan Ikhtiarnya

Februari 4, 2023
166
Candi Cangkuang

Mengenal Candi dan Situs Kuno di Daerah Jawa Barat

Januari 25, 2023
219
Angka dan Manusia Jawa

Angka dan Manusia Jawa: Laku Kehidupan, Kearifan, dan Semesta

November 3, 2022
219
Mengenal Tradisi Undukan Doro Dari Dua Sisi Yang Berbeda

Mengenal Tradisi Undukan Doro Dari Dua Sisi Yang Berbeda

November 1, 2022
351
Tradisi Marhabanan 12 hari Maulid Nabi

Soal Tradisi Marhabanan 12 Hari, Ikhtiar Kecintaan Kepada Sang Nabi

Oktober 7, 2022
259
Olahraga Tradisional Gulat Okol

Mari Mengenal Gulat Okol, Olahraga Tradisional ala Sumo versi Indonesia

Oktober 7, 2022
176
Load More
Next Post
Mahasiswa Rebahan

Surat Terbuka untuk Mahasiswa yang Hobinya Rebahan

Membaca Bismillah untuk Menghindari hal buruk

Kata Siapa Membaca Bismillah Itu Membuat Kita Terhindar dari Hal Buruk?

Semakin Banyak Kebutuhan Semakin Bodoh

Semakin Banyak Kebutuhan Semakin Bodoh

komentarnya gan

Ada Informasi yang Salah ?

Silakan informasikan kepada kami untuk segera diperbaiki. Pliss "Beritahu kami" Terima kasih!

TERBARU

Banda Neira: Serpihan Surga Bagian Timur Indonesia

Cerpen: Burung Kakaut

Penyebab Terdakwa Tragedi Kanjuruhan Bebas, Begini Tanggapan Angin

Rekomendasi Hotel Staycation Jogja, Under 500 Ribu!

AESPA Comeback Bulan Mei: Sang Leader K-Pop Gen 4 Telah Kembali

Jajanan Khas Bulan Puasa Wong Batang #2

Ikan Kembung: Khasiat, Nutrisi, dan Resep Olahannya yang Lezat

LAGI RAME HARI INI

Resensi Buku Loneliness is My Best Friend karya Alvi Syahrin

Kamu Tidak Sendirian, Karena Kamu Punya Kamu

November 1, 2022
1.2k
Wisata hits Purwokerto - Menggala Ranch

Menggala Ranch Banyumas, Wisata Ala View New Zealand di Jawa Tengah

Mei 25, 2022
5.6k
Sate Winong Mustofa Purworejo

10 Rekomendasi Kuliner Enak di Purworejo Tahun 2023

November 9, 2021
5.8k
Jenis Ketawa yang Sering Dipakai Orang Saat Chat

Arti Jenis Ketawa yang Sering Dipakai Orang Saat Chattingan

Januari 3, 2023
555
Landmark Dieng

Wisata ke Dieng Lewat Jalur Pekalongan

September 7, 2018
15.7k
Wisata Hits Bandung - Talaga Pineus Riverside Camp Pangelangan

Talaga Pineus Riverside Camp Itu Tempat Camping Asyik Tanpa Ribet

Agustus 13, 2022
2.7k
Review Buku Novel Ezaquel

Resensi Novel Ezaquel Karya Siti Habibah

April 12, 2022
2.3k
Resensi Novel Janji karya Tere Liye

Janji Bukan Sekedar Janji dari Novel Terbaru Tere Liye

September 15, 2022
1.6k
Wisata Hits Bandung - The Great Asia Africa

Ceritanya 10 Tempat Wisata Hits di Bandung 2023 yang Kekinian

Oktober 11, 2022
1.4k
Hotel Staycation Jogja - Agarra Villa

Rekomendasi Hotel Staycation Jogja, Under 500 Ribu!

Maret 17, 2023
160
header-kotomono

RINGAN-RINGAN SEDAP

 

TENTANG  /  DISCLAIMER  /  KERJA SAMA  /  KRU  /  PEDOMAN MEDIA SIBER  /  KIRIM ARTIKEL

© 2023 KOTOMONO.CO - ALL RIGHTS RESERVED.
DMCA.com Protection Status
No Result
View All Result
  • ARTIKEL POPULER
  • ESAI
  • NYAS-NYIS
  • K-POPers
  • PLESIRAN
  • PUSTAKA
  • LAINNYA
    • KILASAN
    • RELEASE
    • NYASTRA
    • OH JEBULE
    • OTOMONO
    • FIGUR
    • KEARIFAN LOKAL
    • NGABUBURIT
    • UMKM
  • Mau Kirim Tulisan?
  • Login
  • Sign Up

Kerjasama, Iklan & Promosi, Contact : 085326607696 | Email : advertise@kotomono.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In