KOTOMONO.CO – Sebuah nama, tentunya tidak bisa lepas dari peristiwa-peristiwa tertentu. Atau, pesan-pesan tertentu yang hendak disampaikan melalui nama itu. Tak terkecuali nama pada sebuah benda atau objek. Juga pada nama seseorang. Tidak heran, di dalam upaya seseorang memberi nama pada benda atau anaknya, ia harus melalui proses panjang. Perenungan yang mendalam, tentang apa yang hendak disampaikan lewat nama itu. Harapan dan cita-cita yang hendak dicapai dengan nama itu.
Sekarang, dunia sedang direpoti oleh sosok bernama Corona. Entah, apa maunya. Yang jelas, orang-orang di seluruh belahan dunia ini sedang kalut menghadapi Corona. Mungkin karena namanya asing bagi telinga orang Indonesia, lebih khusus lagi bagi saya yang orang Jawa. Tetapi, dalam imajinasi saya, nama itu terdengar keperempuan-perempuanan. Saya bayangkan, ia adalah sosok yang berparas cantik. Wajahnya putih mulus, kulitnya cerah, rambutnya tergerai indah. Ah, pokoknya dia cantik. Dan saking penasarannya, saya sempat mencoba mencari berbagai sumber informasi tentang nama itu.
Baca juga : Menelisik Muasal Kata “Corona” – Bagian 1
Salah satu yang saya temukan, nama itu digunakan untuk menamai gugus bintang (rasi bintang) di langit. Ada dua nama Corona; Corona Borealis dan Corona Austalis. Keduanya, sama-sama sebuah rasi bintang kecil. Hanya saja titik ordinatnya berbeda. Corona Borealis ada di belahan langit utara. Sedang, Corona Australis ada di belahan langit selatan.
Nah, ngomongin dua Corona itu, rupanya mereka punya kisah yang menarik untuk diulik. Corona Borealis (Mahkota Utara), rupanya menjadi lambang mahkota yang dikenakan Ariadne—seorang putri Kreta—saat pernikahannya dengan Dionysus (dewa anggur alias dewa pesta). Terus, apa yang bikin putra Zeus itu kesengsem sama Ariadne?
Mulanya, raja kedua Kreta, Minos, punya kebiasaan buruk. Yaitu, meminta upeti pada Athena berupa dua belas orang muda yang tampan dan cantik, tiap tahunnya. Kedua belas muda-mudi itu ditempatkan di sebuah labirin yang dirancang sangat khusus, sampai-sampai susah menemukan kembali pintu masuknya. Deadalis, sang perancang labirin itu sendiri juga kesulitan menemukannya. Lantas, untuk apa kedua belas muda-mudi itu ditaruh di situ? Untuk santapan Minotaur, sang raksasa ganas pemakan daging manusia.
Pada giliran ketiga, jatuhlah pilihannya pada Theseus, Raja Athena. Rupanya, saat Theseus maju mengantre di hadapan Minos, putri raja Kreta, Ariadne diam-diam tercuri hatinya. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Nah, bisa ditebak kan, kira-kira bagaimana rasanya orang yang sedang jatuh cinta? Sudah tentu, dia ingin menyelamatkan kekasihnya.
Putri dari Minos itu menawarkan bantuan. Tetapi, ia meminta agar Theseus membawanya pergi dari istana. Permintaan itu disepakati. Diberilah Theseus seutas benang ajaib. Benang itu digunakan untuk memandu Theseus agar dapat menemukan pintu masuk labirin milik ayahnya, begitu ia berhasil membunuh Minotaur. Pastilah, yang namanya pemberian seorang kekasih akan sangat membantu, memotivasinya untuk bisa mengalahkan si monster jelek yang sadis itu. Theseus pun menapakkan kakinya dengan penuh keyakinan memasuki labirin itu.
Sementara, di dalam labirin, Minotaur sedang menunggu makanan lezatnya. Ia tak sabar menunggu. Diendusnya aroma daging yang segar. Daging yang bukan sembarang daging. Daging raja! Wah, ini pasti lezat dan sempurna!
Baca juga : Menelisik Muasal Kata “Corona” – Bagian 2
Tak berselang lama, Theseus muncul di hadapan si monster itu. Seperti dalam film-film laga, pastinya mereka tidak langsung bertarung. Ada lah dialog-dialog pendek. Tapi, tak perlu saya catatkan di sini. Keburu habis waktunya.
Singkat cerita saja nih, pertarungan seru antara Theseus dan Minotaur pun tak terelakkan. Pastinya, Theseuslah yang menang. Raja gitu loh! Nah, setelah menang, ia kembali ke pintu masuk labirin dengan bantuan tali ajaib dari Ariadne. Di kejauhan, Ariadne tengah menunggu dengan cemas. Begitu melihat kekasihnya, ia pun langsung mendekap tubuh Theseus. Mereka lantas berlayar menjauh dari Kreta, pergi ke pulau Naxos. Namun, rupanya Ariadne mesti menelan pil pahit kenyataan. Ia seperti terbangun dari mimpi buruk, bahwa ekspektasi tak seindah kenyataan. Sesampai pulau itu, Theseus justru meninggalkannya dan memilih pulang ke istananya. Sedihlah hati si putri Kreta itu.
Di tengah kesedihannya itu, rupanya sang Dewa Anggur yang sedang jalan-jalan tak sengaja menemuinya. Melihat gadis cantik yang kesepian itu, ia tak tega hati. Lalu, diulurkan tangannya untuk membantu membuang rasa sedihnya itu. Ia menjadi pendengar yang baik. Menjadi orang yang paling memperhatikan.
Nah, di sela-sela rasa perhatiannya itu, Bacchus (nama lain Dionysus) rupanya hatinya terpanah asmara. Dan untuk membuktikan kesungguhan hatinya itu, ia lamar sang putri dan menikahinya. Saat itu pula, ia memberikan makhota yang dibuat khusus untuk kekasihnya itu, agar dikenakan saat resepsi pernikahan. Mahkota itu dibuat dari tujuh permata yang paling indah dapat ditemukan terpasang di dalamnya.
Baca juga : Menelisik Muasal Kata “Corona” – Bagian 3
Pernikahan mereka langgeng. Sampai pada saat Ariadne meninggal, Zeus—ayah Dynosius—menempatkan mahkota itu di langit dan mengubah perhiasan menjadi tujuh bintang, yang masih dapat dilihat hari ini sebagai rasi bintang Corona Borealis, Ariadne’s Crown.
Begitulah kisah Corona Borealis. Nah, bagaimana kisah Corona Australis? Akan saya tulis pada catatan berikutnya. Yang jelas, kisah tentang nama Corona, bagi saya selalu menarik untuk diungkit. Apalagi di saat sekarang ini. Kira-kira, apakah ada kaitan antara kisah mitologi Corona Borealis dengan Corona yang sedang booming itu? Mungkinkah, Corona yang sedang booming itu kiriman dewa pesta untuk menguasai orang-orang yang sedang sakit hati seperti Ariadne? Menelisik Muasal Kata “Corona” – Bagian 5