Kotomono.co – Megono dikenal sebagai menu boga khas Pekalongan. Tapi, nggak cuma di Pekalongan, megono juga ditemukan di Wonosobo, Kebumen, Purworejo, dan Kulon Progo. Terus, apa sih yang bikin megono Pekalongan khas, sampai-sampai banyak orang memosting menu boga yang satu ini di medsos?
Salah satunya karena nasi megono di Pekalongan itu gampang ditemukan. Bahkan, hampir bisa dipastikan, setiap warung makan akan menyajikan menu yang satu ini. Nggak cuma itu, nasi megono di Pekalongan bisa kamu temukan 24 jam! Sebab, sekalipun nggak ada aturan khusus tentang jam buka-tutup warung, rupanya warung-warung makan di Pekalongan itu punya shift jam buka. Ada yang buka pagi-siang, ada juga yang siang-sore, ada yang sore-malam, dan ada yang buka malam-pagi.
Menariknya lagi, setiap warung punya cara penyajian yang variatif. Khusus untuk megono, di warung-warung, sepertinya menjadi menu spesial yang kudu ada. Sedang menu boga lainnya, seolah-olah jadi pelengkap doang! Nah, daripada penasaran, mending kita baca cara penyajian nasi megono ala Pekalongan ini. Oke?
1. Nasi Megono Rames
Penyajian nasi megono rames boleh dibilang sangat umum di Pekalongan. Warung-warung makan di Pekalongan biasanya akan menawarkan sajian ini. Nasi megono disajikan di atas piring, dilengkapi dengan berbagai macam sayur dan lauk pauk seperti lodeh, bihun, ayam goreng, acar, tempe kering (petis tempe), atau lauk apa saja yang ada di warung tersebut. Makanya, sajian ini disebut juga nasi megono rames atau nasi megono campur. Karena menurut bahasa, kata rames (bahasa Jawa Kuno) berarti campur. Biasanya digunakan dalam urusan menu makanan.
Baca juga : 11 Daftar Tempat Wisata Kuliner Di Pekalongan
Tapi ada juga istilah lain. Umumnya, wong Kalongan akan mengartikan kata rames sebagai akronim dari ora mesthi (nggak pasti). Soalnya, pembeli bisa memilih lauk pauk dan sayur sebagai pelengkap nasi megono ini sesuka hari mereka. Meski begitu, sebenarnya ada juga sih model default-nya, yaitu nasi megono dicampur dengan lodeh cecek (lodeh gori), sambal goreng, acar, oseng-oseng, dan tempe kering.
2. Nasi Megono Tum-tuman
Sebelum menjelaskan sajian yang satu ini, saya kayaknya perlu nih menerangkan “What is tum-tuman?”. Kata tum atau tum-tuman, dalam bahasa Jawa Kuno artinya masakan yang dibungkus dalam daun. Dulu sih ada dua jenis daun yang digunakan sebagai pembungkus makanan, terutama nasi; daun jati dan daun pisang. Sekarang, karena lahan hutan dan populasi pohon Jati semakin berkurang, maka daun jati sudah sangat jarang digunakan.
Boleh dibilang, penggunaan daun jati ataupun daun pisang ini merupakan teknologi canggih warisan nenek moyang. Terutama dalam urusan mempertahankan cita rasa masakan, juga daya tahan masakan. Selain itu, teknologi sederhana ini juga dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan alam.
Nah, ngomongin cara penyajian megono tum-tuman, cara ini banyak ditemukan di warung-warung nasi megono di Pekalongan. Boleh dikata, cara saji yang satu ini paling khas, tapi ya lumayan ribet. Nasi megono ditum (dibungkus) dengan daun pisang yang dikunci dengan sematan biting (dalam Bahasa Jawa Kuno disebut biti, diartikan sebagai lidi tusuk pembungkus daun pisang, biasanya berbahan bambu atau lidi). Tentu, karena dibungkus daun, rasanya pun suedap nian!
Cuman memang nih gaes, seiring perkembangan zaman, rupanya pembungkus nasi megono ini nggak cuma daun pisang. Ada juga yang berbahan kertas minyak (kertas pembungkus nasi berwarna kecokelatan). Kali aja lebih praktis dan mudah didapat. Hanya kalau pakai kertas, cita rasa masakannya jadi agak-agak gimana gitu. Dan nasi megono yang dibungkus cenderung lembab, karena uap airnya nggak terserap dengan baik. Aroma plastik yang menjadi pelapis kertas pembungkus pun kadang ikut berbaur dalam masakan. Sayang kan?
BACA JUGA: Penjelasan Sejarah Megono Aseli Pekalongan
Kamu juga kudu ati-ati kalau makan nasi megono yang berbungkus kertas. Apalagi kalau penyematnya pakai staples. Jangan sampai deh staplesnya ikut kemakan. Soalnya, saya pernah hampir menelan isi staples. Untung kena gigi dulu. Jadi bisa aku ambil isi staplesnya. Ih ngeri deh!
Kalau kamu pengin ketemu dengan nasi megono tum-tuman, caranya gampang kok. Tinggal cari warung nasi megono. Di setiap waktu ada tuh. 24 jam! Di pagi hari, biasanya megono tum-tuman ini dijual di lapak-lapak kecil sebagai menu sarapan.
Di malam hari, nasi megono–tum banyak dijual di warung-warung kaki lima. Biasanya warung-warung lesehan. Nasi megono tum-tuman akan ditaruh di atas nampan dan disusun memanjang bersama lauk pauk. Oh ya, cara paling sederhana namun paling maut untuk menikmati nasi megono tum adalah dengan lauk tempe goreng tepung dan sambal, jangan lupa segelas teh untuk membasuh kerongkongan sehabis menikmati nas megono tum-tuman.
3. Nasi Megono Lamongan
Nasi megono Lamongan sebetulnya adalah istilah yang saya ciptakan sendiri untuk menggambarkan cara penyajian nasi megono di warung-warung tenda yang bertebaran di sekitar alun-alun Kajen, Kabupaten Pekalongan. Cara penyajian ini adalah gabungan dari cara penyajian nasi megono dan warung pecel lele atau yang sering disebut warga Pekalongan sebagai warung Lamongan. Nasi megono di warung-warung ini disajikan dalam piring biasa, tidak di tum. Sebagai pendampingnya kita dapat memesan berbagai macam menu goreng-gorengan mulai dari tempe goreng, ikan lele goreng, ayam goreng, bebek goreng, dan jeroan goreng.
BACA JUGA: Fakta Menarik Sego Megono Pekalongan
Menikmati nasi megono berlauk unggas maupun ikan goreng bersama dengan sambal dan lalapan jelas sebuah kenikmatan tersendiri. Apalagi ditambah buaian angin sepoi-sepoi di alun-alun kajen. Jangan lupakan secangkir teh poci dengan gula batu dan potongan jeruk nipis sebagai pamungkas. Ketiga elemen diatas adalah cara paling tepat untuk memaksimalkan kenikmatan nyego megono di alun-alun Kajen, Kabupaten Pekalongan.
Itulah tadi tiga cara penyajian nasi megono yang saya dapatkan dari pengamatan saya terhadap warung-warung nasi megono di Pekalongan. Semoga setelah membaca ini pengetahuan kita tentang kuliner khas Pekalongan ini akan semakin kaffah, sehingga tidak lagi timbul pertanyaan “Loh, kok nasi megononya dicampur lodeh” ketika makan di warung nasi megono rames atau makah bertanya “Bu, ini megononya dikasih kuah lodeh bisa nggak” ketika makan di warung yang menyajikan megono dalam model tum-tuman.