KOTOMONO.CO – Langit tak bermendung, pagi itu. Artinya, perjalanan yang akan saya tempuh bersama murid saya, Nadyo Utomo, kemungkinan tak perlu mengenakan jas hujan. Hanya untuk jaga-jaga, jas hujan tetap saya bawa. Siapa tahu cuaca mendadak berubah.
Di atas laju sepeda motor, kami menempuh perjalanan ke arah selatan kota. Kami menikmati betul perjalanan pagi itu. Pemandangannya sangat berbeda dengan apa yang setiap hari saya saksikan di kota. Di sepanjang perjalanan kami menemui area persawahan, kebun, juga hutan. Jalan berkelok menanjak membuat perjalanan kami terasa seru.
Satu jam setelah kami tempuh perjalanan, kami tiba di sebuah gedung madrasah berhalaman lumayan luas yang letaknya bersebelahan dengan masjid kampung. Sejumlah anak muda berseragam merah menyambut kedatangan kami. Saya baca emblem baju yang dikenakan salah seorang dari mereka terbaca tulisan IMADIBA. Di bawah tulisan itu ada logo yang mirip dengan logo Universitas Diponegoro, Semarang.
Saya penasaran. Saya pun menanyakan apa itu IMADIBA. Dijawab oleh salah seorang dari mereka, “Itu semacam organisasi mahasiswa asal Batang yang kuliah di Undip, Kang.” O…. Wah, keren-keren.
Dan sekarang, IMADIBA sedang menyelenggarakan kegiatan bersama Komunitas Omah Sinau di desa Wonokerto, sebuah desa yang berada di kawasan Kecamatan Bandar, Batang. Kegiatan itu mereka namai IMADIBA Mengajar. Wah, tambah salut lagi saya kepada mereka.
BACA JUGA: Cerita Dua Penelepon tentang Dampak Banjir di Pekalongan
Kegiatan itu dilakukan sebagai salah satu metode mereka sinau bareng dengan warga desa. Mulai dari menginventarisir permasalahan dan potensi yang ada di desa sampai kemudian melakukan aksi sebagai upaya menemukan solusi bagi warga desa. Wuih, ini baru mahasiswa keren. Mereka tidak gengsi untuk mengakui jati dirinya sebagai wong ndesa. Bahkan, mau belajar dari desanya sendiri.
Di dalam ruangan yang cukup luas, saya disambut oleh sejumlah anak muda dan tokoh desa. Ada Ketua BPD Wonokerto, Pak Slamet Supriyanto, ada mas Slamet Nur Khamid pengasuh Omah Sinau, dan sesepuh lainnya. Pak Kades datang belakangan, karena ada urusan yang memang tidak bisa ditinggalkan.
Jeda sejenak. Kami gunakan waktu untuk ngobrol ngalor-ngidul. Terutama menyoal pembangunan desa. Dan saya kagum kepada Pak Slamet Supriyanto, ketua BPD Wonokerto. Ternyata, beliau adalah seorang aktivis. Bahkan, beliau ceritakan kalau beliau itu kerap ke Jogja saban tanggal 17. Mengikuti acara rutinan di kediaman Cak Nun (Mbah Nun). Tentu, beliau tak sendiri. Ada beberapa teman lain yang sama-sama warga desa Wonokerto ikut hadir di acara itu.
Merasa sama-sama pengagum Cak Nun, obrolan kami menjadi lebih santai lagi. Blak-blakan. Tanpa ada yang ditutup-tutupi. Kami menyoalkan perkembangan pembangunan desa. Bagaimana keadaan warga, bagaimana pembangunan dijalankan, dan sebagainya. Dan dalam catatan saya, sementara, urusan pembangunan di desa Wonokerto masih tergolong aman. Artinya, potensi-potensi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan masih bisa dikendalikan. Apalagi Kepala Desanya juga orang yang mlatar (egalitarian).
Teman-teman dari IMADIBA pun diajak gabung. Ikut ngobrol hal-hal yang menurut saya perlu diketahui oleh mereka. Mas Slamet Omah Sinau yang mengajak mereka. Dan benar, mereka pun aktif dan antusias. Apalagi ketika pembicaraan mengarah pada upaya untuk membangun jejaring media informasi yang dapat dijadikan semacam wadah aspirasi warga.
BACA JUGA: Angkat Topi untuk Para Dermawan dan Relawan
Kepada mereka, saya katakan, “Perlu dibikin media alternatif yang tidak hanya menjadi sarana promosi potensi desa. Akan tetapi, juga memuat ide-ide atau gagasan yang tercetus dari warga. Caranya bagaimana? Ya, nggak harus warga sendiri yang menulis. Bisa saja kalian yang menuliskannya. Misalnya, saat mendengar obrolan di warung, ada hal menarik yang dilontarkan warga, itu bisa dijadikan bahan untuk ditulis. Syukur-syukur bisa diangkat sebagai topik rembug warga.”
Dengan kata lain, media alternatif yang dibangun itu akan benar-benar dapat digunakan sebagai media untuk memberi masukan kepada Pemerintahan Desa di dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dapat juga menjadi ajang untuk bertukar pikir dan mengurangi dampak buruk pemanfaatan media sosial yang kurang tertata. Sebab, pertengkaran-pertengkaran di media sosial itu banyak merugikannya ketimbang menguntungkan warga. Apalagi pada masa-masa agenda politik tengah dilangsungkan.
Tampak wajah mereka berbinar. Mereka merasa menemukan gagasan segar. Tetapi, sekali lagi, hal yang memang patut dicermati adalah bagaimana mengeksekusi dan merawatnya supaya gagasan itu tetap menjadi segar. Jika perlu, semakin menemukan kesegaran baru.
Tentu, sekarang ini, warga sangat menaruh harapan kepada mereka yang masih menyandang gelar mahasiswa ini. Terutama, agar kehadiran dan keberadaan mereka dapat memberi manfaat lebih. Mereka, di kemudian hari, akan ditagih oleh masyarakat desanya atas kontribusinya yang nyata di tengah kehidupan mereka sehari-hari.
BACA JUGA: Keluh Kesah Seorang Warga Terdampak Banjir tentang Foto-foto di Medsos
Tetapi, saya yakin, selama mereka mau bergaul dengan warga, selama mereka mau berkolaborasi dengan komunitas-komunitas yang ada di desa Wonokerto, seperti Komunitas Omah Sinau, mereka akan banyak mendapatkan pengalaman yang mengesankan. Apalagi Komunitas Omah Sinau binaan mas Slamet Nur Khamid ini sudah menjalankan program yang luar biasa. Mendirikan lembaga pendidikan alternatif bagi warga desa, mendirikan perpustakaan desa, dan juga menjalankan fungsi sosialnya di desa dengan ikut terlibat di dalam banyak kegiatan di desa, organisasi remaja mesjid, dan sebagainya.
Saya sangat kagum dengan sepak terjang mas Slamet Nur Khamid, karena mampu mengorganisir pemuda desanya dengan sangat baik. Ia benar-benar kerahkan semua daya yang ia punya. Rumahnya dijadikan markas Omah Sinau, juga rumah pegiat-pegiat lain dijadikan perpustakaan dan tempat penyelenggaraan pendidikan alternatif non formal yang berfokus pada penguatan potensi diri anak didik. Bahkan, dalam kegiatan pagi itu, ia undang semua komunitas yang ada di Batang. Beberapa tampak hadir dalam kegiatan pagi itu.
Pembicaraan kami kemudian terhenti. Dua perempuan muda segera memandu acara. Kami yang ada di dalam ruangan pun mengikuti dengan saksama. Acara demi acara dalam memperingati Harlah Komunitas Omah Sinau yang memasuki usia lima tahun.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya