KOTOMONO.CO – Lema “menggiring” ternyata tidak hanya melekat pada Teerasil Danda atau Cristiano Ronaldo, tapi melekat pula pada sosok Jonru Ginting, Tengku Zulkarnain, dan Abu Janda. Tiga nama terakhir ini mungkin terekam tidak pernah menggiring bola, tapi yang ketiganya giring adalah opini. Yang pada akhirnya melahirkan lema baru lagi, “menggiring opini“.
Lema “menggiring opini” ini kemudian membesar dan acap kali memekakkan telinga. Apalagi selama ini, frasa menggiring opini sering dikonotasikan ke hal-hal negatif, buruk, pedas, culas, dan macam-macam. Alhasil apa saja yang sudah dilabeli menggiring opini akan dicap buruk.
Begitu pula pada tulisan. Ya, tulisan bisa saja dilabeli menggiring opini. Entah sejak kapan sebuah tulisan itu dilabeli menggiring opini.
Hal ini sering menimpa pada tulisan-tulisan yang kemudian sering dianggap negatif. Semisal berupa kritik pedas dan satire yang susah dipahami orang yang nggak pernah baca buku.
BACA JUGA : Betapa Dongkolnya Saya Ketika Lewat Jalan Mas Mansyur dan Gatot Subroto
Tulisan yang sudah dicap menggiring opini jelas akan dianggap pula sebagai tulisan yang buruk. Tulisan yang ngawur. Tulisan sampah. Hingga yang paling parah bakal menganggap si penulisnya tidak berpendidikan, pandir, dan tak bisa menulis dengan cemerlang.
Kalau dibiarkan, boleh jadi orang tidak akan berani lagi menulis. Apalagi jika ini terjadi pada seseorang. Kalau nggak siap, mentalnya bisa saja down. Turun seturun-turunnya sampai tidak bisa lagi dilongok.
Padahal tidak ada yang salah dari menggiring opini. Siapa pun yang memutuskan beropini, ia bisa jadi menggiring opini. Tergantung siapa orang yang mendengarkan opini itu.
Begitu pula dengan menulis. Tidak ada salahnya bila dengan tulisan bisa menggiring opini. Apalagi itu cuma tulisan esai atau opini, tidaklah lebih.
Siapa saja yang beropini lewat tulisan bisa-bisa saja menggiring opini. Dan itu bukan hal yang buruk. Jika ada yang masih ngotot ngasih komentar pada sebuah tulisan begini, “Tulisan ini menggiring opini ke hal-hal yang tidak baik. Nggak layak publish.” Sek, sebentar toh, yang bilang tulisan itu menggiring opini ke hal yang tidak baik siapa?
BACA JUGA : Menyambut Baik Posko KPKL di Bantaran Kali Lodji
Jujur, otak saya tidak pernah nyampe untuk mencerna orang-orang yang pemikirannya seluas dus Sarimi itu. Sadar nggak sih kalau komentar yang begituan justru menunjukkan bahwa ia sendiri pun sedang melakukan penggiringan opini? Biar nggak mabok, saya uraikan sebentar.
Jadi, misalnya seseorang menulis sebuah tulisan dan tulisannya itu dianggap menggiring opini oleh orang lain. Nah, anggapan bahwa tulisan tersebut menggiring opini itulah justru praktik penggiringan opini juga. Dengan kata lain, orang tersebut menggiring opini agar orang yang baca menganggap tulisan yang baru saja dikomentari itu adalah sebuah penggiringan opini. Lho?
Tulisan—esai atau opini khususnya—tak bisa tidak tujuannya untuk menggiring opini. Setidaknya menggiring opini agar publik bersepakat pada penulis. Persoalan baik ataupun buruk, itu tanggung jawab pembaca. Apakah ini paksaan?
Tidak. Coba pikir baik-baik, wong Anda sendiri yang memilih membaca sebuah tulisan. Lantas di mana letak memaksanya?
BACA JUGA : Dinsos P2KB Kota Pekalongan Tanggapi Postingan “Kapok ke Dinsos”
Kalaupun anda merasa tulisan itu berhasil mempengaruhi pikiran anda, ya itu berarti dua hal. Tulisannya yang bagus dan sukses mempengaruhi pembaca, atau anda yang sebetulnya butuh jalan-jalan ke Curug Muncar. Mencari wangsit atau ilmu kanuragan supaya tidak mudah terperdaya oleh tulisan.
Lagipula jika ditilik lebih jauh lagi, fitrah sebuah tulisan adalah menggiring opini. Sosok yang cukup familiar di kalangan pers, Tirto Adhi Soerjo mencontohkan hal itu. Bagaimana seorang Tirto ngosak-ngasik dengan tulisan-tulisannya yang berhasil mempengaruhi pribumi kala itu. Bahkan sampe bikin kompeni naik darah.
Bagi kalangan aktivis tentu mengenal sosok Soe Hok Gie. Seorang aktivis yang catatan-catatannya bikin Orde Lama dan Orde Baru kocar-kacir. Sebab tulisan-tulisannya mampu menggiring opini rakyat. Buat golongan orang-orang religius, kita bisa tambahkan sosok Mahbub Djunaidi, Abdurrahman Wahid, YB. Mangunwijaya, Franz Magnis Suseno, dan masih banyak lagi.
Kalau masih kurang contoh, carilah sendiri di buku-buku sejarah. Kalau nggak punya buku sejarah bisa beli atau pinjam ke perpustakaan daerah. Tapi, jangan kecewa kalau seumpama nggak menemukannya di rak-rak perpustakaan daerah yang minat bacanya terbatas.
Maka sudah sangat tepat kalau ngatain sebuah tulisan itu menggiring opini. Malah jika tulisan tersebut tak kuasa menggiring opini, boleh jadi tulisan tersebut masih lemah. Dan mungkin alangkah baiknya, tulisan yang begitu cukup disimpan saja.
BACA JUGA : Banjir Berwarna Merah di Kota Pekalongan Itu Biasa Saja, Nggak Usah Lebay!
Semisal mau protes sama tulisan itu, balaslah dengan tulisan juga. Bangun argumen yang mantap untuk melemahkan argumen tulisan tersebut. Saya rasa cara ini lebih wangun daripada hanya memberi label “menggiring opini” pada sebuah tulisan.
Toh cara menggiring opini dengan tulisan ini sudah dilakukan oleh para filsuf terdahulu yang saling berdebat lewat buku. Akhirul kalam, tinggal pilih mau coba menggiring opini dengan menulis laiknya para filsuf, atau mengikuti gaya menggiring opini khas Abu Janda lewat cuitan atau status di media sosial? Ah! Karepe sampeyan.