Ada banyak penjual Mie Ayam di Pekalongan, mungkin racikan menu Mie Ayam dari Pak Jono ini yang teristimewa. Setidaknya begitulah yang hal pertama saya rasakan setelah menyantap semangkuk Mie Ayam Jogja Istimewa.
***
KOTOMONO.CO – Siang itu, Senin (13/06/2022) suhu di Kota Pekalongan terasa cukup sumuk dari biasanya. Awan kehitaman terlihat bersarang di sebelah selatan pertanda bahwa hujan siap mengguyur kapan saja. Saya terpesona dengan spanduk ukuran 2 x 1 meter yang tertempel di sisi Warung Mie Ayam pinggir jalan yang sedang saya lewati. Desainnya tidak neko-neko, hanya saja tulisan Jogja Istimewa terpampang jelas disana yang akhirnya membuat saya tertarik untuk berhenti.
Kebetulan, saat itu memang jam sudah menunjukan pukul 14.30 WIB yang artinya perut saya meminta segera terisi dan sejenak melaksanakan laot (istirahat) dari aktivitas bekerja saya yang hari itu sedang ada tugas lapangan. Saya memutuskan untuk recharge energi dengan memilih Mie Ayam sebagai pengisinya.
Terlihat beberapa pembeli yang sedang asyik menikmati semangkuk Mie Ayam selagi hangat, keadaan tidak terlalu padat dan sepertinya ini cocok untuk tempat laot tersebut. Segeralah saya memesan 1 porsi Mie Ayam dan memilih tempat duduk.
“Pake ceker ndak mas?” tanya pria paruh baya yang merupakan pemilik dari warung ini.
“Ndak pak!” jawab saya sedikit mempertegas
Bukan gimana-gimana, saya sedari dulu memang tidak menyukai ceker ayam, brutu dan kepala ayam. Kalau bagian yang lain masih “OK” dan lebih enak saja saya memakannya.
Warung ini tidak terlalu besar, kurang lebih berukuran 2 x 5 meter. Saya tidak tahu angka persisnya namun yang jelas warung ini berada di lokasi yang strategis. Yakni berada dipinggir jalan Urip Sumoharjo depan toko mebel yang cukup besar atau lebih tepatnya sebrang pom bensin Medono.
Gerobak warung ini tidak dicat mencolok berwarna biru tua seperti warna gerobak Mie Ayam pada umumnya. Hanya kerangka kayu dan terpal sebagai atapnya saja yang warna biru, selebihnya warna keperakan khas plat seng. Stiker berwarna kuning dengan tulisan “Mie Ayam Jogja” tertempel pada gerobak tersebut.

“Monggo mas” ucap bapak penjual kepada saya yang menandakan seporsi Mie Ayam pesanan saya telah datang.
Sekilas tidak ada yang mencolok dalam sajian ini, lebih ke “pada umumnya”. Yang sedikit membedakan hanyalah potongan-potongan daun solong (bawang) berwarna cokelat kehitaman yang tersaji disana. Irisan daging ayamnya pun kecil-kecil tak lebih dari besaran jari kelingking. Dan terlihat pula topping kulit ayam yang digoreng kering diatasnya. Sedangkan mie sendiri berada di lapisan kedua setelah rebusan daun sawi.
Segera saja saya menuangkan kecap kedalam Mie Ayam, tidak lupa dilengkapi dengan saus merah dan tentunya sambal untuk mendapatkan rasa pedas yang lebih. Dengan begini tampilan seporsi Mie Ayam tadi menjadi lebih nendang dan menggoda selera.
Diatas meja, selain ada botol kecap, saus dan mangkuk tempat sambal disediakan pula berbungkus-bungkus cemilan seperti kerupuk pangsit, rambak kulit ikan, dan keripik tempe yang siap menjadi tandem pembeli dalam menyantap Mie disini. Nampak toples berukuran besar masih terisi penuh kerupuk berwarna putih yang menggoda, namun siang itu saya lebih memilik kerupuk pangsit untuk menemani kesempurnaan mie ayam yang saya pesan.

Tidak ketinggalan, segelas es teh manis siap menjadi pelepas dahaga serta minuman peredam rasa pedas yang mungkin saja timbul akibat sambal saya berikan terlalu banyak.
Pertama-tama saya mencoba mencicipi kuah dari bumbu inti Mie Ayam ini. Rasanya benar-benar gurih dengan daun solongnya yang manis. Untuk mienya sendiri dimasak dengan tingkat kematangan sangat pas sehingga tekstur ketika digigit begitu lembut tidak seret ditenggorokan. Lalu potongan-potongan ayam satu persatu masuk mulut, ahh rasanya seakan mengajak mulut untuk terus bergoyang menghabiskan semuanya. Sensasi kriuk terdengar dimulut sesaat topping kulit ayam tak sengaja terkunyah.
BACA JUGA: Koenokoeni Cafe Gallery, Kafe Resto dengan Kearifan Lokal di Semarang
Kurang lebih 15 menit diatas bangku panjang ukuran kurang lebih 3 meter ini saya menghabiskan satu porsi Mie Ayam. Terlihat di tempat duduk yang lain seorang pelanggan yang khusyuk menikmati Mie dengan tetap asyik memandangi ponsel pintarnya. Disela-sela saya menghabiskan sisa es teh yang sengaja saya wet-wet (diirit-irit), beruntung bapak penjual tadi dengan penuh keramahan mengajak ngobrol saya yang sedari tadi melompong seperti ingin ditemani. Sebuah kebetulan yang membawa saya bisa berkesempatan ngobrol ngalor-ngidul dan menanyakan beberapa hal terkait Mie Ayam racikannya ini.
Namanya Pak Jono, dan begitulah nama yang sering diucapkan orang-orang sekitar yang mengenalnya. Tentu hal utama yang ingin saya tanyakan adalah penggunaan Jogja Istimewa yang disematkan pada nama warung ini. Bapak lima anak ini menjelaskan bahwa beliau ini memang berasal dari Jogja atau lebih tepatnya Kabupaten Sleman, Yogjakarta sana.
“Ya pak diwei judul opo men ojo podo, tinggal kui wae…” begitu ucap Pak Jono sembari ketawa kecil.
Mungkin saja maksud dari Jogja Istimewa selain ingin menjadi nama pembeda dari warung Mie Ayam yang lain, juga sebagai penegas identitas bahwa Pak Jono memang betul orang Jogja. Namun Pak Jono menegaskan kalau Mie Ayam racikannya ini tidak sama plek dengan Mie Ayam dari Jogja yang biasanya menonjol warna kekuningan dari bumbu kunirnya. FYI, racikan Mie Ayam Pak Jono ini lebih bernuansa cokelat-kehitaman ketimbang kuning. Warna tersebut dihasilkan dari efek bumbu daun solong pada resep olahan ayamnya.
“Solongnya itu mas, saya kira-kira saja kalau mienya sekian solongnya sekian” seloroh Pak Jono menjelaskan.
Agaknya potongan-potongan bumbu daun solong sebesar dua ruas jari telunjuk ini mempertegas ciri khas dari racikan Pak Jono. Saya setuju jika maksudnya demikian, sebab sepanjang saya nyobain beberapa Mie Ayam ada di Pekalongan, tidak ada yang seberani Pak Jono dalam meramu besaran daun solong tersebut. Paling banter hanya sebesar setengah ruas jari telunjuk yang ikut di olahan bumbu ayamnya serta setengah ruas jari lagi irisan daun solong mentah untuk menjadi tambahan topping. Meski demikian, cita rasa olahan Ayam dengan daun solong dari Pak Jono ini betul-betul sangat pas. Lebih-lebih ke rasa manis dan gurih yang didapat.
BACA JUGA: 5 Cafe Hits Kebumen Bergaya Vintage-Estetik Untuk Nongkrong Asik
Pak Jono sendiri mengaku sudah jualan sejak tahun 2009, yang artinya sudah 12 tahun lebih Mie Ayam Jogja Istimewa berkiprah meramaikan wisata boga di Kota Batik. Bukan waktu yang singkat memang, kiprah Mie Ayam racikan Pak Jono ini tetap eksis dalam menjalin loyalitas para pelanggannya.

“Awalnya jualan di tengah situ mas, dulu sebelum ada ruko ini” ucap Pak Jono sembari menunjuk lokasi yang dulu dipakai ia jualan untuk pertama kali.
Beliau pun menjelaskan awalnya hanya berjualan dari sore hari hingga tengah malam. Tidak ada bayar sewa kepada pihak tertentu, hanya bayar listrik ke tetangga dan retribusi karcis sebesar seribu rupiah per hari kepada petugas dari dinas yang datang setiap sore.
“Datangnya tidak mesti mas, kadang sore kadang malem. Pernah wes bengi kene tutup gasik yo dilewati otok, ora dijaluki” terang Pak Jono.
Sempat saya tanyai mengapa ia memilih berjualan hanya dari sore hari, Pak Jono pun menjawab bahwa dengan berjualan sore hari, ia masih bisa bersantai bahkan tiap pagi masih bisa bersepeda ke daerah selatan Pekalongan dan baru pulang sekitar jam 12. Sisanya ia gunakan untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan berjualan.
BACA JUGA: Makan Nasi Megono dan Pindang Tetel Sekaligus, Bisa Kamu Dapatkan Di Tempat ini
Namun hantaman pandemi merubah tatanan jam kerja Pak Jono, ia terpaksa memajukan jam buka warungnya lebih awal. Jam 12 siang ia sudah meladeni pembeli yang berdatangan. Pak Jono mengaku dalam sehari rentan waktu siang sampai malam bisa menghabiskan sebanyak 45an porsi Mie Ayam.
Tentu suka duka telah pak Jono lalui selama berjualan disini. Hal yang paling sering ia jumpai tiap tahunnya adalah banjir di lokasi tersebut. Pak Jono menjelaskan kalau Pekalongan sudah hujan lebih dari 2 jam, maka disini akan banjir, lokasi ini cukup parah menurutnya.
“Pernah mas, banjir tinggi, ban ini sampe tenggelem” tutur Pak Jono sembari menunjuk ban di gerobaknya.
Meski banjir, ia tetap bertahan dan bersabar menunggu surut. Sebab sangat susah mendorong gerobak di tengah derasnya hujan dan banjir yang tinggi ke rumahnya yang ada di belakang ruko mebel ini.
Ditanya soal pengalaman berhadapan dengan satpol PP selama berjualan disini, Pak Jono menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah berhadapan langsung atau mendapat gusuran ketika berjualan. Hanya saja awal-awal pandemi ia dioprak-oprak suruh tutup lapak di jam yang telah ditentukan.
BACA JUGA: Kopi Tahlil Minuman Kopi Khas Pekalongan
Yang paling membekas dari aksi dari satpol PP yang ia terima adalah sewaktu itu ia sengaja tidak membawa pulang terpal atap warungnya yang hanya digulung dan dirapihkan ke tembok. Pak Jono berfikir jika hari weekend satpol PP tidak akan merazia warung-warung yang tidak menertibkan lapaknya yang ada di pinggir jalan. Atas keteledoran tersebut, Pak Jono diberi peringatan yang aduhai indahnya, bukan surat cinta ataupun teguran lisan yang lembut melainkan yang ia terima justru terpal atapnya yang ia tinggalkan disayat-sayat hingga robek oleh petugas.
Wah, tidak terasa obrolan ngalor-ngidul ini berjalan semakin menarik. Namun sayangnya es teh dalam gelas sudah habis dan waktu telah menunjukan pukul 15.00 WIB. Ini artinya saya harus segera bergegas kembali ke kantor. Uang sebesar Rp 15.000,- harus saya keluarkan untuk 1 mangkuk Mie Ayam, Es Teh dan Kerupuk Pangsit yang nikmat.
Komentarnya gan