KOTOMONO.CO – Tengkawang atau dalam bahasa Dayak disebut sebagai sengkabang sempat menjadi komoditas unggulan pada tahun 1990-an. Tengkawang tersebar di Kalimantan dan sebagian kecil Sumatera. Penelitian Departemen Kehutanan sampai tahun 1980 menunjukan bahwa populasi tengkawang terbesar berada di Kalimantan Barat.
Pemerintah daerah Kalimantan Barat telah menetapkan pula tengkawang sebagai maskot wilayahnya. Wilayah penghasil utama tengkawang di Kalimantan Barat adalah Sanggau, Kapuas Hulu, Sintang, Pontianak, Sambas dan Ketapang (Nuryanti et al., 2021). Ekspor tengkawang pernah memiliki nilai US$ 7.707.800 dengan pengiriman mencapai 3519,2 ton pada awal tahun 1990-an.
Tengkawang kemudian menjadi langka di pasaran seiring deforestasi yang mengancam keberadaannya. SAMPAN (Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai) Kalimantan (2015) menganggap bahwa seolah-olah masyarakat adat dibiarkan bertanggungjawab sendiri untuk mempertahankan kelestarian alam dengan nilai-nilai sosialnya.
Wilayah Hutan Menipis
Hal tersebut dibuktikan dengan di Kabupaten Melawi saja dari total wilayah seluas 10.640,80 km2 hanya tersisa 411,673.40 hektar lahan yang berupa tutupan hutan pada tahun 2013. Bahkan wilayah hutan yang tersisa sudah dikapling untuk pertambangan, perkebunan sawit dan kayu. Nasib tembawang juga mengalami masalah serius akibat minimnya peremajaan tanaman yang disebabkan keterbatasan penguasaan teknologi oleh masyarakat.
Masyarakat adat bersama jejaring masyarakat lainnya bahkan harus berjibaku untuk memperjuangkan status hutan adatnya, di mana ekosistem tengkawang berada. Hal tersebut misalnya berhasil ditempuh dalam pengakuan Hutan Adat Pikul oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui SK Penetapan Hutan Adat Pikul Nomor SK 1300/MENLHK-PSKL/PKYHA/PSL.1/3/2018 pada tahun 2018.
BACA JUGA: 5 Hal ini Hanya Terjadi Pada Mahasiswa Universitas Terbuka, Lucu Sih!
Sebelumnya Hutan Adat Pikul telah diakui keberadaannya melalui SK Bupati Nomor 131 Tahun 2002. Masyarakat adat di Kalimantan Barat memang harus berjibaku sendiri untuk mempertahankan keberadaan hutan dan sistem sosialnya di hadapan negara. Hal tersebut tentunya miris mengingat tengkawang sebagai komoditas unggulan tak dapat dilepaskan dari ekosistem tembawang milik masyarakat adat.
Keberhasilan perjuangan masyarakat adat di tingkat nasional dengan keluarnya Putusan MK Nomor 35 /PUU-X/2012 mendorong pengakuan sistem tembawang (di mana ekosistem tengkawang berada) dapat dilakukan.
Perjuangan Masyarakat Adat demi Tengkawang
Sayangnya, masyarakat adat tetap harus berjibaku sendiri dalam memperjuangkan pengakuan wilayah adatnya disebabkan rekognisi sangat bergantung pada komitmen kepala daerah ditambah dengan rumitnya tumpang tindih pengaturan masalah agraria di Indonesia (Kamim & Rifasya, 2020).
Kelestarian tembawang tentunya menjadi terancam akibat lambatnya rekognisi dari pemerintah, padahal kajian yang dilakukan oleh SAMPAN Kalimantan (2014) berdasar proses pendampingan perjuangan pengakuan tujuh komunitas adat di Kabupaten Ketapang sendiri menunjukan bahwa dalam satu kawasan tembawang terdapat lebih dari 100 jenis tanaman termasuk di dalamnya berbagai varietas Tengkawang.
Masyarakat adat bersama jejaring masyarakat sipil juga berupaya merevitalisasi nilai ekonomi dari tengkawang. Misalnya seperti yang dilakukan Institute Riset dan Pengembangan Hasil Hutan (Intan) bersama Kelompok Tani Tengkawang Layar di Hutan Adat Pikul seperti dilansir Mongabay Indonesia (27/06/2019). Masyarakat berhasil mengolah tengkawang menjadi mentega dan bahkan mendapatkan penawaran kerjasama dari perusahaan komestik ternama.
BACA JUGA: Coffee Shop Itu Buat Berdialog, Nggak Cuma Selfie!
Samdhana Institute (2018) mencatat bahwa terdapat 1.500 pohon tengkawang yang menghasilkan 35 ton buah per tahun di hutan adat Pikul. Masyarakat adat bersama jejaring masyarakat sendiri telah mengembangkan mesin pengering, gudang buah berkapasitas 50 ton, gedung pengolahan mentega dan tepung.
Masyarakat juga telah dilatih untuk memastikan standar dan mutu olahan tengkawang (Samdhana Institute, 2018). Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura juga memberikan bantuan mesin press minyak dan mesin pembuat tepung kepada kelompok tani.
Penjualan Tengkawang ke Luar Negeri Terhambat
Sayangnya, upaya penjualan olahan tengkawang ke luar negeri harus terhambat Permendag Nomor 44 Tahun 2012. Hal tersebut cukup aneh disebabkan tengkawang sendiri tak dikategorikan sebagai jenis tumbuhan yang dilindungi berdasarkan Permen LHK Nomor P.106/2018.
Revitalisasi ekonomi tengkawang menjadi mendesak untuk dilakukan, demi perbaikan penghidupan masyarakat. Pertama, baik pemerintah daerah dan pusat perlu mengakselerasi pengakuan hutan adat, demi melestarikan ekosistem tengkawang bersama moda produksi masyarakat adat yang sudah ada.
Kelestarian hutan adat penting dijaga dalam mencegah terjadinya bencana alam. Apalagi tengkawang yang tumbuh di sempadan sungai bermanfaat untuk mencegah terjadinya erosi. Pengetahuan tersebut telah diwarisi masyarakat adat secara turun temurun, di mana akar tengkawang yang kuat memiliki tancapan kuat di tanah.
BACA JUGA: Nikah di KUA, Mengapa Tidak?
Tengkawang yang tumbuh di sempadan sungai juga lebih subur (Heri et al., 2020). Selain itu, pengakuan keberadaan sistem adat dalam pengelolaan lahan sebenarnya bermanfaat untuk menjaga iklim bisnis kondusif dengan terselesaikannya masalah tumpang tindih pengaturan lahan yang sering memunculkan konflik agraria.
Kedua, pemerintah perlu membantu tata niaga dan menciptakan rantai pasokan yang adil bagi perkembangan ekonomi tengkawang. Kebijakan-kebijakan yang selama ini menghambat ekspor olahan tengkawang dan sengkarut agraria juga perlu dibereskan untuk terus melestarikan pengetahuan lokal masyarakat dalam menjaga alam, sekaligus meningkatkan taraf kehidupannya.
Pemerintah juga harus memberikan pelatihan dan memberikan berbagai mesin pengolahan kepada warga adat untuk menambah nilai lebih dari tengkawang sekaligus menjaga kelestarian ekosistemnya. Dengan demikian langkah peningkatan kesejahteraan dan menjaga kelestarian alam dapat dilakukan beriringan.
Komentarnya gan