KOTOMONO.CO – Di ruang tamu yang tak begitu luas, saya sibuk menerima tiga orang tamu. Tamu pertama saya namanya Nadyo Utomo. Dia murid baru saya, juga pentolan dan pendiri Komunitas Teras Imajinasi, sebuah perkumpulan anak-anak muda yang sedang segar-segarnya berkreasi. Tamu kedua saya adalah bosnya cintapekalongan.com, mas Angga namanya. Tamu ketiga, Om Arsyad, si redaktur cintapekalongan.com yang juga dikenal sebagai penulis di Terminal Mojok.
Seperti biasa, empat cangkir kopi tersaji di meja tamu yang mungil. Aromanya mengusik bulu hidung dan membuat ingin segera menyeruputnya. Tapi, kalau dilihat dari uapnya, tampaknya kopi seduhan istriku itu bisa merusak cita rasa kopi di lidah. Akhirnya, hasrat untuk menyeruput kopi itu kami tunda untuk beberapa saat.
Di sela-sela masa tenggang itu, obrolan pun berlangsung. Topik pertama yang kami bahas tidak lain menyoal gagasan-gagasan untuk mengembangkan cintapekalongan.com menjadi media alternatifnya generasi milenial. Kami bertukar ide mulai dari desain, konten, juga hal-hal apa yang paling mungkin bisa dilakukan untuk membuat cintapekalongan.com menancap di hati para pembacanya. Apalagi di era serba digital dan dihiasi oleh tayangan-tayangan audio visual. Tentu, itu tantangan besar bagi kami.
Well, singkat cerita, namanya juga obrolan pastinya ya ngalor–ngidul. Topik-topik yang kami bahas pun seperti bola bekel yang berloncatan. Tapi ya tetep menggunakan protokol kesehatan, artinya nggak sampai adu jotos. Lha kalau sampai adu jotos itu kan namanya sudah nggak sehat, baik secara fisik maupun secara akal. Ya kan? Masa, paling obrolan santai kok sampai adu jotos.
Nah, ngomong-ngomong soal adu argumentasi, tiba-tiba salah seorang tamu saya ada yang mengingatkan saya pada agenda keren yang sedang tayang pada malam itu (Rabu, 11 November 2020). Kabar yang nyangkut ke telinga saya, malam itu ada acara debat orang-orang hebat di salah satu hotel di Pekalongan. Juga tayang di televisi lokal, TVRI dan radio kesayangan orang Pekalongan yang tagline-nya News, Interaktif, dan Solutif. Tahu kan radio mana? Yup, itu radio yang didanai APBD Kota Pekalongan.
Kami lantas saling menanya, kenapa nggak hadir di acara itu. Jawab saya sih simpel aja, karena nggak merasa diundang dan memang nggak terima undangan dari penyelenggara acara debat. Mungkin karena saya belum dikategorikan sebagai orang “penting” di kota yang luasnya cuma 45 kilometer persegi ini. Atau mungkin saja karena kuotanya dibatasi. Maklum masih ada corona yang sedang berkeliaran.
Baca juga : Jangan Ngimpi Nama Kelurahan Bisa Beneran Kembali
Tapi, rasa-rasanya kami sepemahaman soal acara debat itu. Waktu itu kami berasumsi, paling acara debatnya bikin ngantuk. Nggak ada serunya. Alias ya semacam lomba pidato dari masing-masing calon yang sedang berkontes.
Jam pada sudut kanan bawah layar laptop yang belum saya matikan itu menunjuk angka 22.00. Itu artinya waktu diskusi habis. Saya mesti mengengkol kick starter sepeda motor, kemudian memainkan gagang gas motor untuk segera tiba di studio radio tempat saya siaran. Dua jam saya nyerocos siaran bareng host kondang Opix Hitamarang. Host gundul dengan jenggot lebat dan panjang itu. Kami bercuap-cuap tanpa sedikit pun memedulikan kabar yang nyangkut di telinga saya itu tadi. Ya, karena memang bagi kami yang membawakan acara kesayangan para pendengar, “Wedangan”, masalah debat tidak masuk dalam kriteria obrolan kami di udara. Acara wedangan sekadar hiburan yang renyah bak kerupuk. Kriuk-kriuk.
Tapi, salah seorang penggemar acara “Wedangan” tiba-tiba menelepon. Dari telepon itu ia menanyakan saya kenapa nggak ikut hadir di acara debat. Saya jawab saja enteng, lagi ada tugas negara. So, nggak bisalah saya ikut hadir. Lagian memang nggak tertarik untuk menonton debat.
Selesai menjalankan tugas negara sebagai seorang lelaki penghibur, motor saya lajukan lagi. Pulang ke rumah. Jarak tempuhnya sih nggak terlampau jauh. Cuma sekitar 10 menit dalam kecepatan normal. Nggak ngebut dan nggak lambat.
Tiba-tiba saya penasaran. Saya buka laptop. Lalu saya klik google chrome dan mengetikkan huruf “y”. Pada kotak panjang di bagian atas google chrome tertulis “youtube.com”. Langsung saya pencet tombol enter. Maka tampillah halaman youtube. Saya cari link tayangan debat yang tadi ditanyakan itu dan ketemu. Walah, tertera pada video itu durasi tayangan, 2:19:43. Durasi yang teramat boros dan bikin bosen deh kayaknya.
Tapi, demi mendapatkan kepuasan, saya klik dan menontonnya penuh. Lumayan, bikin bosen. Dari segmen ke segmen debat itu saya tidak mendapatkan kesegaran. Malah kedua calon yang sedang bertarung seperti sedang mengobrolkan soal visi misi yang serupa. So, kalau visi misinya sama, lha terus buat apa ada debat?

Sudah gitu, cara pembawaan para calon berkesan seperti saling bergantian ngasih sambutan pada acara tujuh belasan di RT. Nggak ada saling tukar gagasan, apalagi saling menyanggah pendapat. Kan nggak seru banget! Tapi biar nggak seru, saya tetap mengikuti. Ya, siapa tahu ada menit-menit tertentu yang menegangkan.
Ternyata, ekspektasi saya meleset. Ibarat sinetron, debat ini antiklimaks. Malah nggak ada klimaksnya. Masih mending nonton sinetron Indosiar yang bikin emak–emak terharu biru. Lha ini, kalau dilihat dari aspek entertaintment sama sekali nggak menghibur. Jadi, acara debat kemarin itu seperti kita makan klepon tapi nggak ada sensasi kinconya yang meledak di dalam mulut. Nggak ada crot–crotnya sama sekali. So, kayaknya enakan dibikinin acara ngopi bareng aja deh. Atau bikin aja podcast.
Baca juga : Penggabungan Kelurahan Tak Mungkin Mengusik Sejarah Lho
Meski begitu, saya masih cukup terhibur nonton tayangan debat itu. Setidaknya saya bisa menikmati penampilan moderator yang tampil lebih elegan. Mereka tampil meyakinkan. Apalagi host ceweknya mbak Elizabeth Sudira. Mampu mengalihkan perhatianku. Ahai!
Ngantuk menyerang. Rupanya jam di laptop sudah menunjukkan pukul 04.30. Saya matikan laptop, matikan lampu di ruang tamu dan berangkat menemui mimpi. Tidur sebentar, sekadar nge-charge tenaga untuk pagi hingga siang yang sibuk, karena harus menyiapkan materi siaran Kojah Sastra. Dah gitu aja cerita ini diakhiri. Selamat menikmati klepon tanpa kinco!