KOTOMONO.CO – Fenomena ekranisasi novel ke dalam film sebetulnya bukan hal baru. Pada tahun 1976, novel Max Havelar karya Multatuli pun pernah diangkat menjadi film yang disutradarai oleh Fons Rademakers. Film ini memang kurang populer di Indonesia, meskipun kisahnya tentang nasib bangsa Indonesia di masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat menerapkan kebijakan politik tanam paksa. Peredarannya juga sempat dilarang oleh pemerintah Orde Baru, setelah beberapa saat diputar di gedung bioskop.
Sekitar tiga tahun berikutnya (1979), sebuah film yang disutradarai Sjuman Djaya berjudul “Kabut Sutra Ungu” juga diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Ike Supomo. Pada masanya, film ini cukup booming. Bahkan menjadi film yang banyak ditonton karena alur ceritanya yang sederhana dan mampu menyentuh sisi psikologi penontonnya.
Berkaca dari dua pengalaman itu saja, kita dapat mengerti sekarang. Kalau ternyata fenomena adaptasi novel ke dalam film (atau istilah lainnya ekranisasi novel ke film) bukanlah hal baru. Melainkan sudah sangat sering terjadi. Tapi, bagaimana dengan fenomena adaptasi novel yang diunggah di wattpad ke dalam film?
Agaknya, fenomena ini bisa dibilang masih segar. Sebab, novel wattpad merupakan sesuatu yang baru. Dulu, yang namanya novel dicetak dan dijadikan buku. Sekarang, dengan kecanggihan teknologi, siapa pun bisa menikmati bacaan novel tanpa harus dengan bentuk cetak. Cukup dari hape atau laptop. Kita bisa memilih novel yang kita sukai.
Ekranisasi novel wattpad ke dalam film belakangan ini sedang marak-maraknya. Banyak judul film yang dibuat dan diangkat dari novel wattpad. Peminatnya pun lumayan bejibun. Tetapi, apa sih yang bikin film adaptasi novel wattpad ini ramai diserbu penonton?
Ada dugaan, jika fenomena ini diakibatkan oleh minat pembaca novel wattpad yang tergolong tinggii. Khususnya di kalangan anak-anak muda generasi Z. Maklum, novel-novel wattpad ini lebih banyak berkisah seputar kehidupan sehari-hari anak muda masa kini. So, wajarlah kalau peminatnya juga kebanyakan anak-anak muda.
Umumnya, cerita-cerita yang diangkat hal-hal ringan. Seperti kisah romantis dua sejoli yang sedang dimabuk asmara, kisah anak remaja korban broken home, dan lain-lain. Ya, boleh dibilang novel-novel wattpad cenderung ke arah genre novel pop. Tetapi, novel-novel genre populer inilah yang lebih banyak disukai pembaca. Kadang, sebagai pembaca, kalau sudah jatuh cinta pada kisah yang dijalin novel itu, ia bisa saja dibikin penasaran. Membayangkan seperti apa kira-kira jika kisah itu ditayangkan dalam bentuk lain.
Begitu muncul promo rilis filmnya, bagi seorang pembaca yang memang sudah demen sama novel itu, pasti akan segera melingkari kalender dan segera menyisakan uang supaya kebagian beli tiketnya. Tentu, dengan harapan bisa nonton dan menyaksikan gambaran peristiwa yang dihadirkan novel itu dalam bentuk audio visual. Cuma sayang, kadang karena alasan penyesuaian durasi film, ada banyak bagian dalam novel yang diubah atau dihilangkan.
Kecewa? Ya pastilah ada. Tapi bagi seorang pembaca novel, hal itu bukan masalah besar. Setidaknya, ia sudah tahu apa yang hilang atau berubah pada film yang ditontonnya. Bagi penonton film yang cuma nonton filmnya tanpa pernah baca novelnya, itu cukup merugikan. Sebab, gambaran peristiwa yang mereka dapat ya cuma yang ada di filmnya. Kurang greget. Meski begitu, ada juga sih film adaptasi novel yang berhasil menampilkan peristiwa secara utuh. Contohnya, film Dilan.
Nah, ngobrolin soal ekranisasi film dari novel, ada nih film yang keren produksi negeri Paman Sam. Film besutan sutradara Rob Reiner ini dikategorikan ke dalam genre film komedi romantis. Diadaptasi dari novel yang ditulis Wendelin Van Draanen. Awalnya, novel itu terbit dan dijual terbatas di Amerika Serikat pada tanggal 6 Agustus 2010. Setelah dua puluh satu hari kemudian, novel itu diterbitkan secara umum.
Oke, kembali ke filmnya ya, gaes. Menurut saya, film produksi Castle Entertainment yang didistribusikan oleh Warner Bros itu cukup sukses meramu novel ke dalam bentuk visualnya. Tentu, tak bisa dipungkiri, kesuksesan itu juga dipengaruhi oleh keberhasilan Thomas Del Ruth sebagai sinematografernya. Juga didukung oleh sang editor, Robert Leighton.
Kesan yang saya dapatkan saat menonton film ini, saya merasakan seolah-olah saya sedang menikmati novelnya. Urutan-urutan peristiwa yang dihadirkan dalam film itu nyaris sama persis dengan apa yang dihadirkan oleh novelnya. Selain itu, karena genre komedi romantis, film ini membawakan hal-hal yang sebenarnya rumit secara ringan, sehingga mampu memberikan kesegaran yang menghibur.
Kesuksesan lain yang ditampilkan film ini didukung oleh sudut pandang yang digunakan. Dalam film ini, ada dua sudut pandang utama yang digunakan, yaitu sudut pandang tokoh Bryce dan Juli. Terutama dalam menyoal pertumbuhan masa remaja menuju dewasa serta kisah asmara mereka. Dari dua sudut pandang inilah lantas jalinan peristiwa diurai hingga menjadi alur cerita yang menarik.
Unsur dramatik dalam film ini terutama sekali dibangun melalui konflik antara kedua tokoh tersebut. Salah paham dan perasaan cinta yang dipertentangkan dihadirkan dengan bumbu komedi yang segar. Kesan konyol pada konflik antartokoh pun ditampilkan dengan cara yang soft banget. Gadis bernama Juli selalu merasa menjadi perempuan yang paling beruntung, karena ia mengira Bryce amat menyukainya. Tetapi, Bryce, pemuda tampan itu sebetulnya tidak pernah menaruh hati pada Juli.
Namun, di pertengahan jalan cerita, situasi berubah. Bryce mulai menjadi seorang pemuda yang sangat perhatian pada Juli. Hubungan mereka dan di antara keluarga mereka yang semula sempat regang, kemudian diupayakan untuk diperbaiki. Meski begitu, dalam usaha itu terjadi pula peristiwa-peristiwa yang bikin gemes.
Sementara, dalam pengaluran cerita, terdapat semacam lintasan-lintasan peristiwa masa lalu yang secara sekilas hadir di antara alur cerita yang bergerak maju. Kilasan peristiwa ini semacam flash back yang pada akhirnya membangun jalinan hubungan antarperistiwa. Tentu, yang diharapkan dari kemunculan flash back itu adalah untuk memperjelas hubungan kausal (sebab-akibat) dari peristiwa-peristiwa kini yang dimunculkan dalam film. Sehingga urutan peristiwa secara kronologis dihadirkan sebagai permainan yang membawa penonton untuk berspekulasi. Menebak-nebak peristiwa apa yang akan dimunculkan kemudian.
Dengan kata lain, film ini berhasil pula membuat permainan alur yang membawa penonton untuk masuk ke dalam suasana yang dihadirkan film. Namun, permainan ini tidak membuat penonton merasa jenuh dan bingung. Sebaliknya, kesan main-main itu membuat penonton merasa seperti sedang diajak untuk menghayati hal-hal rumit dengan cara yang ringan dan renyah.
Film yang dibintangi Callan McAuliffe dan Madeline Carroll ini benar-benar menyuguhkan aneka rasa yang bikin kita ketagihan. Apalagi dengan dialog-dialog yang dimainkan. Rob Reiner dan Andrew Scheinman berhasil menyusun sebuah skenario yang jitu. Terutama dalam mengolah dialog dalam film berdurasi 90 menit itu. Tiap kata yang diucapkan oleh tokoh-tokoh yang bermain dalam film itu mampu menancap dalam ingatan penontonnya. Menimbulkan kesan ledakan yang luar biasa dalam benak. Terlebih kata-kata itu diucapkan secara tepat. Tempo, dinamik, ritme, dan juga intonasinya mencerminkan kehidupan sehari-hari secara wajar.
Dari sisi visualisasi, Rob Reiner nampaknya ingin menyuguhkan suasana era 60-an. Sebab, kisah yang diangkat memang berlatar era tahun 1957 hingga 60-an. Dominasi warna kuning pada gambar menjadi tampak menonjol di sepanjang durasi film ini. Tentu, hal itu dilakukan sebagai cara Rob Reiner menampilkan kesan oldist pada filmnya.
Oh ya, ada satu adegan dalam film itu yang membuat saya terkesan. Yaitu, adegan ‘laki-laki keranjang’ yang disebut sebagai acara tahunan. Pada ajang itu, setiap gadis yang mengikuti acara itu akan melelang laki-laki dengan menggalang donasi. Adegan itu seolah-olah ingin memunculkan perasaan sentimentil para gadis terhadap anak laki-laki. Dengan kata lain, ada nuansa yang ingin disampaikan lewat film itu tentang bagaimana sudut pandang para gadis tentang anak laki-laki.
Maaf, lupa lagi. Saya sepertinya belum menyebut judul filmnya ya? Iya, judul film yang saya maksud adalah Flipped. Penasaran? Tonton aja! Pasti suka. Film ini sudah dirilis tahun 2010. Lumayan lama sih. Tapi, tetap segar dan menghibur kok.

Identitas film
Judul: Flipped
Tahun: 2010
Sutradara: Rob Reiner
Pemain: Madeline Caroll Juli Baker
Callan McAuliffe sebagai Bryce Loski