KOTOMONO.CO – Matahari masih terbungkus kabut. Jalan desa terasa basah. Butiran lembut gerimis pun jatuh membenturi daun-daun hijau ranum. Pemandangan ini menambah kesyahduan alam pegunungan desa Silurah, Wonotunggal, Batang. Sebuah desa yang terletak di antara gunung Ranggakusuma dan gunung Kobar. Landskap yang begitu menawan dalam perayaan Nyadran Gunung desa Silurah .
Hari itu, tepat hari Jumat Kliwon, bulan Jumadil Awal. Dalam tarikh tahun Jawa gubahan Sultan Agung, hari itu dianggap hari istimewa. Jumat, melambangkan kesucian. Kliwon atau Asih, menandai kasih sayang atau pemaafan. Sedang Jumadil Awal, bulan penanda masa peralihan. Tak heran jika warga desa Silurah menyambut kedatangan hari itu dengan suka ria.
Tampak warga berduyun-duyun mendatangi lereng gunung Ranggakusuma, di bawah hutan larangan. Mereka berkumpul di sepanjang jalan desa dekat pintu masuk desa. Dalam gendongan selendang batik, para Ibu membawa bungkusan nasi golong yang diwadahi bakul anyaman bambu (cepon). Ada pula aneka makanan khas desa. Mereka bawa serta. Satu per satu makanan itu diletakkan di atas klasa (tikar anyaman berbahan daun pandan) yang ditata sedemikian rupa. Lantas mereka duduk dengan sabar menunggu acara dimulai.
Sementara sebagian anak-anak tampak berlari-lari berkejaran. Bercanda dan saling menggoda satu sama lain, hingga pecahlah tawa mereka. Ada pula yang hanya duduk diam, menjejeri Ibu mereka. Juga ada yang yang menyembunyikan wajahnya di balik selendang ibunya. Malu-malu ketika digoda.
Yang jelas, ledak tawa anak-anak itu membelah sunyi yang biasanya mengisi hari-hari kehidupan desa. Mereka riang menyambut pagi yang dingin.
Bagi orang-orang dewasa, suara tawa lepas mereka adalah semangat. Para lelaki dewasa yang sibuk menata bilah-bilah bambu untuk tempat tumpeng sesaji merasa terhibur. Demikian yang lainnya. Kesibukan menata besek-besek yang dibawa warga terasa diringankan oleh tawa mereka. Rasanya, lengkap sudah kegembiraan itu.
Ada yang tak kalah menarik dari itu. Cara berpakaian mereka. Kebanyakan, mereka berbusana khas Jawa pedesaan. Laki-laki mengenakan surjan (lurik) atau pangsi (pakaian hitam tanpa kerah dengan setelan celana hitam) lengkap dengan udeng wulung (kain ikat kepala berwarna gelap). Sementara perempuan, mengenakan kebaya lengkap jarik (kain batik). Sederhana, tapi sangat berkesan.
BACA JUGA: 6 Spot Wisata Hits di Kembang Langit Batang
Pakaian mereka bukan sekadar aksesoris. Secara turun-temurun, pakaian itu menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Nyadran Gunung. Warna hitam, dalam pandangan masyarakat Jawa, memiliki makna kebijaksanaan atau kesetaraan. Warna ini sekaligus pengingat, bahwa setiap manusia pada akhirnya akan kembali pada alam keabadian. Maka, tidak ada yang harus membuat jarak di antara mereka.
Begitu juga dengan surjan. Konon, pakaian ini kali pertama dirancang oleh Sunan Kalijaga. Melambangkan kesederhanaan.

Ini menambah hikmad pelaksanaan Nyadran Gunung. Balutan busana itu mencerminkan rasa berserah diri dan rendah hati. Menunjukkan jati diri manusia Jawa yang utuh. Dan, pancaran sumringah wajah warga menunjukkan kegembiraan yang tulus, lahir dari kesederhanaan dan kerendahan hati. Siapa pun akan turut merasakan menjadi bagian dari warga desa.
Selang sesaat kemudian, Pak Kades tiba. Seketika orang-orang berdiri menyambut kehadirannya. Para penerima tamu membungkukkan setengah badan sambil menyalaminya. Lalu menyilakan duduk. Demikian luhurnya, budi warga desa Silurah. Dalam kesahajaan itu mereka tak sungkan-sungkan memberi penghormatan kepada orang yang mereka pandang layak dihormati.
BACA JUGA: Inilah 10 Tempat Kuliner di Batang Paling Direkomendasikan untuk Wisatawan
Acara dimulai. Tak ada protokoler yang terlalu formal. Semua dijalankan dengan adat kebiasaan desa. Ini menunjukkan, betapa adat di sana masih dijunjung tinggi. Sesepuh desa memimpin jalannya acara. Ia meminta kesediaan seluruh warga untuk bersama-sama memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agar acara berjalan lancar dan aman. Juga agar, seluruh warga desa senantiasa dalam lindungan-Nya, serta dilimpahi keberkahan atas rezeki yang mereka hasilkan dari mengolah tanah.
Di sela-sela acara itu, tampak Pak Kades menyerahkan hewan yang akan dikorbankan kepada sesepuh desa. Biasanya, jenis hewan yang dikorbankan adalah kambing (wedus kendit) atau kerbau bule (khusus pada putaran tahun ke tujuh). Setelah itu, kambing atau kerbau dituntun menuju tempat penyembelihan.
Seketika semua pasang mata tertuju pada tempat penyembelihan. Orang-orang penasaran. Mereka berdesak-desak ingin menyaksikan psoses penyembelihan itu. Ada yang menaiki batu-batuan di tepi jalan. Ada pula yang memanjat lereng. Sedang anak-anak, ada pula yang minta dipanggul Ayahnya.
BACA JUGA: Tentang Angkernya Jalur Tengkorak Alas Roban Batang
Syukurlah, penyembelihan berjalan lancar. Semua pun serentak bersorai. Puas menyaksikan prosesi penyembelihan yang agak menegangkan itu. Terdengar cekikikan tawa warga. Melepas tegang dengan kelegaan. Kerapatan yang semula padat pun meregang. Ada yang kembali ke tempat duduknya. Ada pula yang menyiapkan diri untuk menjalankan tugas. Menyiapkan tungku, menguliti daging kambing atau kerbau, mengolah bumbu, dan berbagai macam tugas lainnya dijalankan sukarela dalam kebersamaan. Benar-benar guyub.

Selesai menjalani tugas itu, secara bersama-sama warga menyaksikan prosesi penguburan kepala kerbau/kambing itu. Kepala itu ditanam di kaki gunung Ranggakusuma. Sementara lainnya mulai mengolah daging sambil berpanas-panas di dekat tungku. Ya, alih-alih mencari keringat di pagi yang dingin itu.
Olahan bumbu dari bahan alam sekitar menyemerbak aromanya. Terbawa angin lembut, menyelinap masuk ke dalam lubang hidung. Tercium wangi aromanya yang khas. Perut yang keroncongan pun terasa tertendang. Lidah tak sabar lagi ingin segera menikmati sajian khas desa Silurah itu. Semua yang tak bertugas duduk. Menunggu sambil membayangkan kelezatannya. Semua tenang menunggu. Sebab, semua akan kebagian.
Tak hanya warga desa Silurah. Siapapun akan mendapatkan bagian. Bahkan, warga desa menyilakan para pengunjung terlebih dahulu. Sebagai penghormatan kepada tetamu yang datang jauh-jauh dari berbagai daerah.
Dalam suasana makan bersama di alam terbuka itu, terasa betul keakraban dan kehangatannya. Tak ada jarak di antara pengunjung dengan warga. Semua menikmati rasa syukur warga desa Silurah yang disajikan dalam tradisi yang sederhana itu. Sama-sama merasakan betapa kekayaan alam yang mereka olah selama ini adalah berkah tak terkira, anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Usai makan bersama di alam terbuka, warga melanjutkan prosesi berikutnya. Menaiki bukit. Menuju puncak gunung Ranggakusuma. Jalan setapak yang curam dan berkelok mereka lalui sambil membawa sesaji. Sekelompok lainnya, memikul tetabuhan. Seperangkat gamelan yang tak lengkap. Sepanjang perjalanan, mereka terus menabuh gamelan itu. Sekadar memberi semangat bagi setiap pejalan kaki yang ikut mendaki. Paling tidak, untuk memecah perhatian warga agar tak mudah lelah.
BACA JUGA: Tradisi Pasar Malam dan Kliwonan Masyarakat Batang
Sesampai di puncak, mereka letakkan sesaji itu dan melangsungkan upacar kecil. Orang-orang duduk dalam sikap hikmad. Sesepuh desa memimpin doa. Prosesi yang demikian hikmad itu menumbuhkan kesadaran, bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta. Alam itu hidup. Sudah selayaknya pula, alam dihormati dan dihargai. Tidak cukup hanya dijaga. Sebab, manusia tak memiliki daya yang lebih besar dari alam semesta. Maka, alam pun perlu diajak bicara. Agar seluruh elemen alam ini tidak membawa celaka bagi kehidupan manusia.
Tak lama kemudian, para sepuh desa turun. Warga yang setia menanti kehadiran mereka tampak sebagian menyambut, berdiri. Sementara para penabuh gamelan menempatkan diri di tempat yang disediakan. Duduk bersila. Lalu, mulai memainkan alunan gamelan.
Irama khas desa-desa pesisiran (bukan khas Kraton) mulai mengalun. Mula-mula pelan. Makin lama, makin terdengar rancak. Penggendang begitu lincah meningkah gendangnya. Penabuh Saron menggancang gerak tangannya, ditimpal Bonang yang tangkas. Gong bertalu-talu. Sementara para sinden menembang Laras gending yang mereka mainkan terdengar seperti perpaduan antara laras gending Banyumasan dengan gaya Rembangan. Perpaduan antara Lengger dan Tayub.
Perempuan-perempuan cantik dalam balutan busana penari Ronggeng/Lengger muncul di antara kerumunan. Disambut sorak sorai warga. Semua larut dalam kegembiraan yang begitu rupa. Dan, siapapun yang mendengar alunan gamelan itu, rasanya ingin menggoyangkan badan. Menari sekenanya ditemani penari Ronggeng atau Lengger. Setidaknya, cukuplah untuk sedikit menghangatkan badan.
Warga yang menyaksikan aksi para Ronggeng ini pun ikut berebut berjabat tangan dengan sang Ronggeng. Ya, laiknya selebritis, para penari Ronggeng ini menjadi incaran warga. Terutama para Ibu yang menginginkan anak mereka bersalaman dan diusap ubun-ubunya. Konon, usapan itu mengandung tuah dan berkah bagi awal pertumbuhan anak.
BACA JUGA: Sejarah Asal-usul Desa Silurah Wonotunggal Batang
Inilah sebuah pengalaman yang mengantarkan kita kembali ke masa silam. Kehidupan desa yang sederhana tetapi menjunjung tinggi nilai-nilai luhurnya sendiri. Tak tercerabut dari akar sejarah budayanya, meski hidup di masa sekarang ini. Konon, tradisi ini sudah ada ribuan tahun silam, terutama pada era Wangsa Syailendra menancapkan kekuasaannya di bumi Jawa. Nah, makin penasaran kan? Makanya, ikuti terus catatan perjalanan Wisata Budaya Nyadran Gunung Desa Silurah Batang ini. Akan saya ungkap pula hubungan Wangsa Syailendra dengan keberadaan desa Silurah ini!
Penulis: Suryati Ningsih | Penyunting: Ribut Achwandi
komentarnya gan