KOTOMONO.CO – Pernah, pada suatu kesempatan, saya diajak Mas Wiwit bersilaturahmi di kediaman seorang maestro Batik, Mas Dudung Ali Syahbana. Saat itu, kami disuguhi sebuah sajian yang tidak biasa. Saya diajak memasuki tiap-tiap ruangan dalam rumahnya.
Tak hanya itu, saya juga diajak menikmati dan turut merasakan atmosfernya. Sebuah atmosfer yang penuh daya kreatif. Kaya akan karya. Kaya pula akan makna.
Usai berkeliling menikmati sajian-sajian yang terpampang pada setiap ruangan itu, kami pun duduk-duduk. Ngobrol ngalor-ngidul. Berjam-jam kami ngobrol. Tak ada bosannya, sebab apa yang kami obrolkan membuat saya makin jatuh cinta pada kekayaan khazanah pemikiran beliau.
Begitu terbuka beliau sampaikan, bahwa segala yang menjadi kreativitasnya bukanlah sesuatu yang patut menjadi kebanggaan. Apa yang sudah dianggap final dalam sebuah proses kreatif, bagi seorang kreatornya, memiliki dua makna.
Pertama, ia adalah sampah. Maksudnya, hasil dari sebuah proses kreatif mestinya tidak menjadi sesuatu yang patut dibanggakan lagi. Proses kreatif adalah sebuah perjalanan panjang yang harus bergulir secara berkelanjutan dan terus-menerus. Tidak putus hanya karena karya telah jadi. Itulah mengapa, karya, bagi seorang kreator, mestinya dianggap sebagai sampah.
Kedua, karya yang dianggap sudah final bukanlah puncak capaian. Sebaliknya, ia hanya simbol dari sebuah proses. Karena kedudukannya sebagai simbol, maka karya harus dimaknai sebagai tanda bagi kreatornya. Tanda apa? Tanda untuk melanjutkan proses. Ia hanya tanda yang menandai sebuah tahapan.
Tetapi kadang, kreator bisa sangat silau hanya oleh pemaknaan yang disampaikan oleh penikmat karyanya. Jelas, seorang penikmat memiliki cara pandang yang berbeda dengan kreatornya. Penikmat bisa saja memaknai sebuah karya dengan mengapresiasi. Bukan lewat jalur ekspresi, aktualisasi, ataupun yang lainnya.
BACA JUGA: Kegelisahan Pak Hadi Pranggono dalam Sebuah Puisi
Dengan cara pandang semacam itu, seorang penikmat bisa saja dibuat kagum. Tidak cukup dengan kagum, seorang penikmat bisa saja bersedia menawarkan hal-hal yang menggiurkan kepada kreatornya hanya karena merasa berhak untuk memiliki karya itu. Di situlah, yang kadang bisa membuat seorang kreator terjebak. Ia berkarya hanya karena berharap untuk dihargai, dihormati, apalagi disanjung-sanjung.
Padahal, kalau ia sadar, seorang kreator hanyalah media. Bukan sebagai pelaku yang sesungguhnya. Ia hanya jembatan bagi kreasi Sang Maha Kreator. Maka, sebenarnya ia memiliki tanggung jawab besar bagi setiap proses kreatifnya. Apa yang ingin disampaikannya lewat karyanya adalah kode-kode unik, yang jika dipelajari secara saksama tiada lain merupakan pesan-pesan Sang Maha Kreator. Maka, seorang kreator bukanlah tuhan bagi karyanya. Ia hanya alat.
Lebih lanjut, Mas Dudung mengungkapkan, karena kedudukannya sebagai alat, maka dari situ pula konsep mengenai manusia sebagai khalifatullah sangat bisa dipahami. Manusia dibekali dengan perangkat yang sedemikian kompleks dan komplit. Lewat perangkat yang dianugerahi Tuhan kepada manusia itulah kemudian manusia mendapatkan pengalaman empiris lewat pengalaman-pengalaman hidup, dihantarkan melalui peristiwa-peristiwa yang dialaminya.
Kemudian, dari pengalaman-pengalaman itu, manusia berupaya menemukan makna. Dari pemaknaan itu lahirlah pengetahuan-pengetahuan, untuk selanjutnya disusun secara sistematis menjadi sebuah perangkat alat bantu yang bernama ilmu pengetahuan.
BACA JUGA: Seni di Mata Pakdhe Joko Heru
Dari situ, sebenarnya bisa dikatakan bahwa batik pun sudah bisa dikatakan sebagai ilmu pengetahuan. Sebab, apa yang dilakukan dalam proses membatik, terdapat proses-proses yang tidak hanya teknis. Ada pengetahuan-pengetahuan yang dapat diambil maknanya sebagai cara manusia memaknai kehidupan. Di sinilah kemudian tiap tahapan proses itu bisa diejawantahkan menjadi laku hidup, baik di wilayah laku spiritual maupun laku sosial.
Meski demikian, tutur Dudung, kedua wilayah laku itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya saling berkait paut. Tidak bisa menjadi pilihan. Tetapi, menjadi sebuah keharusan. Dan puncak dari keharusan itu adalah kepasrahan kepada Sang Khalik sebagai rasa tanggung jawab kita sebagai makhluk. Tanggung jawab kepada Tuhan, sesama makhluk, juga pada semesta.
Dalam hubungan kesemestaan ini pula, Mas Dudung menuturkan, bahwa alam semesta adalah sebuah kesatuan. Di dalamnya ada elemen-elemen kehidupan yang hadir dan mengada dalam ruang-waktu yang sama. Semuanya bekerja sesuai dengan kapasitasnya. Bahkan, dalam wilayah yang saling bertentangan sekalipun. Kebaikan dan keburukan, misalnya, adalah dua wilayah yang sebenarnya sama-sama bekerja dalam ruang-waktu yang sama.
BACA JUGA: Satu Negeri Banyak Ratu
Tetapi, keduanya bukan dalam maksud untuk saling menghindar. Sebaliknya, keduanya mesti disikapi dengan arif dan bijaksana. Mengapa butuh kearifan dan kebijaksanaan? Karena satu hal yang harus diingat, bahwa segala sesuatu akan kembali pada-Nya. Maka, apa-apa yang dihadirkan di dunia ini adalah bekal pengetahuan yang diharapkan agar kita mampu memilah, memilih, dan menentukan sikap dalam berperilaku, sehingga ketika kita kembali pulang pada-Nya kita tahu mana yang terbaik untuk dijadikan sebagai buah kerja kita kelak.
Wah, benar-benar, pernyataan beliau sungguh memantik saya untuk bisa mengambil khikmah dari sebuah perjalanan hidup. Saya merasa pertemuan itu adalah sebuah peristiwa langka. Peristiwa yang patut saya dokumentasikan. Oleh sebab itu, saya tuliskan ke dalam sebuah catatan kecil ini. Tidak semua memang yang saya catat. Tetapi, semoga ini bisa membuat kita semua mampu mengambil pelajaran berharga dari percakapan saya dengan beliau.