KOTOMONO.CO – Setelah menunda niatan service motor beberapa kali, akhirnya hari ini bulat sudah tekad tersebut. Saya menunaikan janji saya dan pergi ke bengkel dengan sedikit malas. Tidak jauh dari desa saya, bengkel kecil di pinggir jalan raya menjadi langganan service kendaraan keluarga kami. Bosan menggulir gadget, saya memutuskan mengamati jalan.
Belum 30 menit saya duduk di sana, sudah 3 ODGJ yang melewati kami. Pertama, seorang ibu muda dengan gendongan kresek yang memenuhi genggaman tangannya. Sembari lewat dengan sangat santai, dia bercerita (entah kepada siapa) tentang tradisi megengan yang kebetulan sebentar lagi akan kita temui. Saya mendengarnya dengan jelas karena ia sempat berhenti agak lama di toko sebelah bengkel saya menanti.
Kedua, bapak dengan usia kisaran 50 tahun. Berbeda dengan ODGJ sebelumnya, ia hanya lewat tanpa berbicara apapun. Tampangnya lusuh, tangan penuh dengan sampah plastik, dan hanya berlalu tanpa memperhatikan sekitar.
Tak berselang lama, seorang ibu tua mulai berteriak-teriak dari kejauhan. Di tengah ramainya kendaraan bermotor yang berlalu-lalang, suara ibu itu terdengar samar. Awalnya kami mengira terjadi keributan di seberang jalan. Tapi ternyata itu adalah teriakan ODGJ yang berjalan ke arah kami.
Sambil menuding dengan sebilah kayu yang dipegang, ia terus berteriak dan memaki-maki. Samar-samar, saya mendengar ia mengumpat dengan mengabsen kawanan hewan dan menyebut “anak tidak tahu diri”. Suaranya begitu lantang, selantang emosi yang mungkin ia pendam dahulu.
Kalimat terakhir saya tadi hanyalah sebuah opini. Saya tidak tahu realita sebenarnya yang terjadi dengan ibu tadi. Namun hal seperti ini cukup sering saya temui. Dalam satu kali jalan saja, saya bisa bertemu dengan beberapa ODGJ yang berbeda. Ini berarti jumlah mereka terbilang banyak.
Suatu kali saya pernah berkunjung ke panti sosial di Kota Pekalongan. Rumah Sosial Berbasis Masyarakat (RPSBM) itu mayoritas menampung orang-orang yang “terbuang”. Memang tidak semuanya mereka temukan di jalanan. Ada yang sengaja dititipkan oleh keluarganya karena merasa tidak sanggup merawat, akan tetapi lebih banyak penghuni yang merupakan ODGJ yang ditemui di jalan.
Dengan tenaga, fasilitas, dan pendanaan yang minim, RPSBM berupaya seoptimal mungkin untuk merawat mereka dan mengembalikannya kepada keluarga. Namun proses ini tentu tidak sebentar. Banyak ODGJ yang ditemui dalam keadaan yang sulit diajak berkomunikasi. Hal ini menyebabkan proses pemulihat terhambat. Tidak jarang juga mereka lupa dengan identitasnya.
Pada akhirnya pertanyaan besar muncul, ke mana keluarga mereka? Apakah mereka tidak mencari keluarganya yang hilang hingga bertahun-tahun menggelandang di jalanan dengan kejiwaan yang kacau?
Fenomena problem stuktural
Beberapa tahun terakhir isu kesehatan mental ramai diperbincangkan. Banyak buku self help yang laris manis di pasaran. Pun dengan konten media sosial, tema mental health banyak diminati. Ini menjadi angin segar bagi kita karena saat ini masyarakat menjadi lebih aware dengan kesehatan jiwa, tidak fisik semata.
Namun nyatanya, realita tidak seindah media sosial. Mereka yang mengonsumsi buku self help, dan mengisi asupan konten dengan isu kesehatan mental nyatanya juga tidak bisa hidup tenang begitu saja. Dilansir dari website resmi Kementerian Kesehatan, dalam beberapa tahun terakhir presentase masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan mental meningkat.
Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan prevalensi rumah tangga dengan anggota menderita skizofrenia meningkat dari 1,7 permil menjadi 7 permil. Sementara itu, penduduk usia di bawah 15 tahun yang mengalami gangguan emosional juga meningkat dari 6,1% atau 12 juta penduduk menjadi 9,8% atau 20 juta penduduk. Pandemi juga meningkatkan masalah gangguan kesehatan jiwa hingga 64,3%.
BACA JUGA: Sadfishing Bukan Budaya Kita, Budaya Kita Membagikan Meme Kocak
Angka penderita gangguan kesehatan jiwa semakin bertambah, namun pemerintah sendiri mengakui bahwa fasilitas pelayanan kesehatan yang ada masih sangat kurang. Maria Endang Sumiwi, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat mengungkapkan bahwa dari 10.321 unit Puskesmas, baru 50% saja yang mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa.
Masih terdapat 4 provinsi yang belum memiliki Rumah Sakit Jiwa, dan baru 40% Rumah Sakit Umum yang menyediakan fasilitas pelayanan jiwa. Pun dengan tenaga ahlinya. Rasio psikiater negara kita sangat timpang. Yaitu 1:200.000 penduduk, sangat jauh dari standar WHO sebesar 1:30.000.
Tidak berbeda jauh dengan fasilitas kesehatannya, edukasi masyarakat awam seputar kesehatan jiwa juga masih sangat minim. Data triwulan II 2022 dari Direktur Kesehatan Jiwa (Keswa) Kemenkes Vensya Sitohang mengatakan ada 4.304 ODGJ yang menjalani hidup dengan dipasung. Keberadaan mereka juga dipandang sebelah mata sampai akhirnya memilih mengurung dengan tujuan membuat situasi lingkungan lebih kondusif.
Sama halnya dengan seseorang yang sudah memiliki riwayat kedekatan dengan poli jiwa, ada rasa sungkan yang menggelayuti karena padangan masyarakat yang berbeda sebab masa lalunya. Mereka masih diterima, tapi dengan kata “tapi” yang sering menyertai.
BACA JUGA: 6 Lagu JKT48 yang Mungkin Relate Denganmu, Tema Kehidupan Sampai Percintaan
Gangguan kejiwaan juga sering diidentikkan dengan gangguan mistis. Akibatnya, alih-alih konsultasi dengan psikolog atau psikiater, keluarga justru merekomendasikan “orang pintar” untuk menyembuhkan gangguan tersebut.
Jika sejak dini masyarakat sudah diberikan edukasi seputar kesehatan mental, kemudian memiliki akses pelayanan yang mudah dan bisa menjangkau seluruh kalangan, sangat mungkin masalah ini akan semakin berkurang. Walaupun tidak signifikan, setidaknya masyarakat menjadi lebih melek dan sadar betapa seriusnya problem ini.
Menyadari bahwa kita masih sama-sama manusia
Setiap mengatakan manusia, saya selalu teringat dengan filosofi Jawa-nya. Manungso, manunggaling roso. Terdengar sangat sederhana namun maknanya sangat dalam. Sebab sesama manusia sudah seharusnya kita memahami dan berempati dengan yang lain. Entah mereka dalam keadaan sedih, dilema, bahkan sampai pada titik terendah dalam hidupnya.
Sekadar menanyakan “apa kabar” yang bukan basa-basi, atau memberikan senyuman setiap dia bercerita, mungkin akan menyelamatkan jiwa mereka dari kesedihan. Kita tidak bisa serta-merta menuntaskan problem ODGJ yang complicated tersebut, karena kapasitas kita tidak sampai di sana. Namun kita masih bisa saling mengulurkan tangan, dan menjadi teman saat orang lain membutuhkan agar jiwa kita sama-sama sehat.
Jadi, kamu kepengin bilang apa untuk hari ini? Kamu hebat ya bisa bertahan sampai sekarang, yuk buat langkah baru lagi.