1.
Ompung lebih dahulu memelukku
dengan ayat-ayat Allah
Sebelum guru-guru mengajariku Alif, Ba, Ta
di madrasah-madrasah. Di sekolah-sekolah
Jika pelajaran Biologi mengatakan bahwa malam
adalah waktunya racun-racun bertebaran,
Aku malah menghirup udara paling segar
saat Ompung melantunkan
lirih surah-surah dari Al-Qur’an
Ompung benar-benar merindukan malam
hingga alarm menjadi benda paling nirguna
Dia malah membangunkan malam, memberinya sajadah
dan memintanya menunggu hingga
habis tercurah seluruh hasrat, seluruh gundah
Sementara malam bergegas pergi
Ompung mulai memeriksa kamar kami,
Dia buka pintu dan seluruh keberkahan
masuk ke dalamnya
2.
Suara Ompung bukan yang paling merdu
namun selainnya tiada mampu
menandingi bekasnya di kalbu
Ompung merasa rugi
ketika abang-kakaknya belajar mengaji
Machrani kecil tak dapat kesempatan barang sekali
Semua ditebus kala rambut hitam semakin ganjil
Kendati menulis di atas air hampir mustahil
Usahanya tidaklah nihil
Saban hari hutangnya pada mengaji Dia cicil
Hafalannya jauh dari sempurna
tapi tak henti-henti dicobanya
Barangkali begitu cara Allah agar
lena dia dalam mengulang surat cinta-Nya
setelah lama terhalang masa
3.
Ompung sedang duduk-duduk di beranda kini
menikmati sore hari, tanpa puisi seperti yang kutulis ini
tanpa anak pertamanya, Ibuku, yang juga sudah mendahului
tanpa Aku, di rantau orang. Menanti takdir baik diberi Ilahi
Biasanya Ompung akan meminta dibawakan kacamata
dan Al-Qur’an dengan terjemahannya
atau buku-buku sembarang
Sambil membalas sapaan orang lalu dari sebrang
lisannya kembali pada bacaan, dengan perlahan dia mengulang
Melangkah ke usia delapan puluh tiga sudah tak mudah
Alangkah irinya kami kepada bagaimana Ompung menjaga istikamah
Tak banyak alasan tangan kami bertadah
kecuali berharap kembali sebentuk kasih sayang Allah kepada Ompung
selalu terlimpah
Yogyakarta, pada Desember yang belum sempurna – 2022
*Catatan: Ompung adalah Bahasa Batak/Mandailing untuk Kakek/Nenek dan dalam konteks puisi ini adalah Nenek.
Komentarnya gan