KOTOMONO.CO – Komunitas Petungkriyono Berjuang dari Anak-anak Muda ini mencoba “Mulih Deso, Mbangun Deso”.
Alam Petungkriyono merupakan kekayaan yang sangat dirindui. Siapa pun yang pernah menginjakkan kaki di kawasan hutan ini, bisa dipastikan ingin kembali lagi ke buaian Petungkriyono. Nama Petungkriyono begitu lekat di telinga, terngiang-ngiang setiap kali langkah kaki ingin bertualang. Bermanja dengan panorama alam purba yang menuntun imajinasi menembus masa silam. Membayangkan rupa dan bentuk kehidupan di masa lampau. Petungkriyono, pesona tak terlupakan, dikenang sepanjang masa.
Agaknya sepenggal kalimat itu tak berlebihan. Petungkriyono yang menjadi rumah bagi beragam jenis flora dan fauna, merupakan seiris kawasan hutan hujan tropis yang masih tersisa di Pulau Jawa. Sepotong surga yang masih menampilkan keaslian wajah hutan tropis Jawa.
Tak heran jika kawasan hutan yang menawarkan aroma alam purba ini menjadi surga pula bagi satwa liar khas Petungkriyono, yaitu Hylobates moloch atau kerap disebut Owa Jawa. Hingga kini, satwa liar yang nyaris punah ini masih bertahan hidup di sini.
Adalah keanekaragaman flora dengan kerapatan atap hutan (kanopi) yang masih sangat baik yang membuat mereka masih bertahan hidup di hutan Petungkriyono. Namun, seiring pergantian waktu, agaknya keberadaan satwa endemik Owa Jawa ini perlu mendapatkan perhatian lebih dari semua pihak, agar tetap lestari. Pembukaan kawasan hutan sebagai kawasan wisata, jangan sampai membuat keberadaan mereka terusik dan punah.
BACA JUGA: Kisah Jurang Kubang dan Kuburan Jepang Di Petungkriyono
Memang, daya magis Petungkriyono terus membius para pelancong yang datang kemari. Sampai-sampai tak ada habisnya Petungkriyono menjadi bahan perbincangan. Sebab, untuk bisa benar-benar menikmati kawasan hutan ini, juga untuk memahami kawasan hutan ini, tak cukup hanya sekali-dua kali datang kemari. Jika dikalkulasi, akan menghabiskan ratusan atau bahkan ribuan cangkir kopi yang tersaji di atas meja. Hanya untuk menyingkap misteri keindahan alam yang begitu menggoda, dengan kisah-kisah di balik Petungkriyono yang melegenda.
Ya, di sini pula surganya kopi. Aneka ragam jenis kopi tersedia. Tenda-tenda warung kopi dan kedai-kedai mudah didapati. Di sekitaran area wisata atau di pinggiran jalan lintas yang menghubungkan desa-desa. Popularitas kopi telah mendorong para pelaku UMKM mengasah daya kreasi mereka. Terus menemukan cara terbaik untuk menyuguhkan kopi—terutama Kopi Petungkriyono—kepada siapapun yang datang berkunjung, sebagai sambutan penuh kehangatan dan keakraban. Apapun alasannya, Kopi Petung akan selalu memiliki ruang khusus bagi para penikmatnya.
Alam dan Kopi menjadi teman karib di sela-sela obrolan. Menikmati kopi di tengah hutan, diiringi gemericik air yang tersuara lewat ceruk-ceruk sungai di lembah dengan curug yang terjal, menjadi pilihan terbaik untuk membunuh waktu di akhir pekan. Tetapi, hal itu tak boleh membuat upaya pelestarian alam menjadi lengah. Kehadiran wahana wisata, mesti menjadi berkah bagi warga sekitar juga bagi keindahan alam Petungkriyono yang harus tetap lestari. Sebuah harapan yang menyelimuti setiap mereka yang mencintai keindahan Petungkriyono.
BACA JUGA: Asal-usul Nama Petungkriyono dan Peninggalan yang ada
Rasa cinta pada alam Petungkriyono sudah semestinya tidak ditawar-tawar lagi. Kelestarian yang mesti terjaga pada hakikatnya memberi sumbang sih yang teramat besar bagi cadangan oksigen yang masih segar bagi kehidupan. Juga memberi sumbangan besar bagi tersedianya air yang kemurniannya menyejukkan. Teramat sayang, jika itu semua hilang ditelan zaman. Apalagi jika kembali mengenang kisah tentang perjuanngan segelintir anak manusia yang rela menyerahkan masa hidupnya untuk mengabdi bagi rumah sang Owa Jawa ini.
Adalah Kiswantoro, seorang mahasiswa IPB yang kala itu terpanggil membangun desa tempat ia dilahirkan, Petungkriyono. Mula-mula, Wawan—sapaan karib Kiswanto, bersama dua teman mahasiswa, Yusuf Kholik dan Imam Saputra, membentuk sebuah komunitas. Mereka menamainya Komunitas Petungkriyono Berjuang. Saat itu, kalender yang tertempel di dinding rumah menunjuk pada angka 11 bulan Februari di tahun 2020.
Sejak kelahiran komunitas ini, ketiga mahasiswa yang mencemaskan keadaan warga desa dengan pendidikan yang belum pulih di tanah kelahirannya, mulai membulatkan tekad untuk meningkatkan taraf kehidupan warga. Terutama pada anak-anak muda desa. Satu per satu mereka rangkul. Menyusun berbagai kegiatan bersama.
Mulai dari pendampingan masuk kuliah, membuka berbagai kelas gratis dan menjalin kolaborasi dalam memecahkan persoalan. Semua dilakukan dalam semangat pemuda desa yang tak ingin dianggap ketinggalan zaman. Tetapi, langkah mereka agak tersendat. Permasalahan kurangnya dukungan dana, perbedaan latar belakang dan keterbatasan fasilitas menjadi masalah yang perlu dicarikan solusinya.
BACA JUGA: Kopi Owa Petungkriyono, Salah Satu Kopi Bersejarah Dari Pekalongan
Sebagai pejuang, sekali layar terkembang pantang untuk berlabuh, perjalanan mesti diteruskan. Mereka tak henti-hentinya berusaha menemukan jalan keluar. Donasi pun dilakukan, untuk membuka lebar-lebar kesempatan bagi siapa saja—terutama warga desa—agar dapat ikut berperan dalam pemajuan desa. Diiringi rasa optimis yang tinggi dan rasa kepercayaan kepada masyarakat yang juga besar, satu per satu harapan itu terus lahir menjadi buah tangan termanis bagi warga. Tangan-tangan kreatif anak-anak muda desa ini mampu menghadirkan keajaiban-keajaiban yang tak terbayangkan sebelumnya, hingga tercetuslah gagasan membangun kawasan ekowisata berbasis pendidikan. Tumbuh pula kesadaran untuk terus berkembang.
Sayang, di saat usaha mereka berjuang, tersiar kabar tentang pandemi yang telah meruntuhkan harapan warga dunia. Tetapi, mereka tak ingin ikut terpuruk sebagaimana warga dunia lainnya. Berbekal spirit masa lampau Petungkriyono dengan kisah-kisahnya yang melegenda, mereka terus saja menerjang badai wabah itu. Alam yang begitu kaya, pepohonan yang tumbuh dengan kokoh, tak mengenal waktu. Terus saja tumbuh.
BACA JUGA: Perjalanan Menegangkan Saat Membelah Hutan Petungkriyono
Begitu pun dengan semangat mereka untuk menumbuhkan kesadaran warga. Mereka terus memompa kesadaran manusia sebagai sumber daya yang tak boleh berhenti untuk mengelola dan menjalin hubungan baik dengan alam. Sebab, kunci utama dari segala jawaban atas pertanyaan ada pada upaya manusia membangun harmoni dengan alamnya. Di sinilah, mereka terus beraksi, turun ke lapangan, menapak selangkah demi selangkah untuk tetap memegang teguh pada harapan, meski dengan segala keterbatasan.
Ya, keterbatasan bukan alasan buat mereka untuk menghentikan langkah. Sebaliknya, segala keterbatasan itu adalah batu loncatan yang mesti mereka lalui bersama. Keterbatasan menjadikan mereka tumbuh dan maju. Belajar dan terus belajar, untuk kemudian memahami hakikat hidup dan memaknai kehidupan. Berjuang memang tidak kenal lelah. Dan, di balik setiap kemajuan peradaban, tentu ada banyak orang yang telah berusaha dan terus berjuang.