KOTOMONO.CO – Pas kami mau mutusin beberapa kegiatan yang kudu ada saat memperingati hari Sumpah Pemuda, kawan saya nyeletuk, kebetulan ia menugaskan muridnya supaya membikin semacam miniatur alun-alun kota, dua pekan lalu. “Nah, bagaimana kalau diadakan juga pameran hasil karya mereka,” demikian usulnya sambil senyam-senyum di tengah rapat.
Apa yang disampaikannya tiba-tiba saja bikin saya gelisah. Akhirnya saya mikir dan merenung. Kalau pelajaran sosial, termasuk sejarah, bisa menghasilkan produk belajar, bukankah diperlukan juga ruang penyimpanan karya-karya itu? Bener nggak?
Nah, biar mudah memanggilnya, saya sebut saja ruangan itu laboratorium sosial atau IPS atau humaniora atau apapun nama pilihan sekolah dan pemerintah.
Keberadaan lab ini tidaklah bermaksud mempertegas garis pemisah antara disiplin IPA dan IPS. Begitu juga tak bertujuan mempertajam perbedaan murid di kedua jurusan yang memang sudah menganga luas sejak dahulu kala. Melainkan menyeimbangkan kedudukan kedua ranah ilmu tersebut dan memulai tradisi baru supaya IPS pun tak kurang pentingnya dibanding IPA.
Selain itu, fungsi lab sosial bukan cuma menampung dan menyimpan produk belajar, tetapi juga sebagai tempat membangun pengetahuan, mengkonstruksi kejadian atau rangkaian peristiwa sosial, menyelidiki sebab-sebab terjadinya fenomena kemasyarakatan, dan mungkin juga menyediakan ruang pengetahuan tentang tokoh-tokoh sejarah dari beragam sisi kemanusiaan. Kedengeran keren, kan?
Atau bisa juga lho, laboratorium itu—panggilan yang sebenernya terdengar kaku, seolah semua kegiatan berlangsung di dalam ruangan saja—menjadi ajang guru dan murid belajar menulis sejarah atau historiografi. Entah itu sejarah buatan (yang ini dilakuin murid) maupun barangkali proyek historiografi sejarah lokal oleh guru dengan kerjasama pihak lain.
Saya lantas membayangkan, seperti halnya lab fisika, kimia atau biologi, di lab sosial pastinya ada berbagai macam hasil temuan, baik oleh ilmuwan ataupun ciptaan murid sekolah itu sendiri. Penemuan murid, dalam hal ini, bukan bersifat akademis atau ilmiah, tetapi sebagai pengujian skill mereka dalam mengkonstruksi pengetahuan, tanpa kepatok apakah hasilnya “benar” atau “salah”. Lagipula semua penemuan ilmiah selalu dapat diragukan, bukan?
Khayalan saya tentang lab sosial tak mau berhenti sampai di situ. Di sana bakalan terpampang miniatur atau ilustrasi peristiwa sejarah tertentu berdasarkan persepsi murid. Ada pula semacam komik yang menampilkan sisi lain aktor sejarah yang tidak cuman bergantung penilaian hitam-putih, antagonis-protagonis. Malahan, perlu ada juga area yang khusus mengulas (atau mempertanyakan) peristiwa yang penuh kontroversial macam genosida simpatisan PKI pada 1965.
Di sinilah, di dalam lab ini nantinya murid mendapat kesempatan membebaskan rasa ingin tahu serta kemerdekaan mereka untuk mempertanyakan segala hal. Ya, segalanya. Demi pembelajaran itu sendiri.
Akan tetapi, muncul kecemasan, tidakkah kebebasan itu akan membuat mereka jadi sekelompok pemuda bar-bar kebablasan? Bukankah melontarkan pertanyaan apalagi yang nyerempet kekuasaan atau otoritas akan menyebabkan murid dicap sebagai pemberontak? Tentu saja tidak. Jangan khawatir.
Cara ini pernah dilakukan juga lho oleh Paulo Freire puluhan tahun lalu. Malahan, punggawa pendidikan Brazil ini melangkah lebih jauh, yakni menyibak selubung kesadaran para petani dengan cara kritis. Hasilnya, tak hanya jadi pabrik pertanyaan, mereka, para pelajar dewasa itu, bahkan mengubah keadaannya sendiri yang sejak dulu terbenam dalam kemiskinan. Kalau meminjam istilah H.A.R. Tilaar, pakar pendidikan yang pernah mengajar di UPI Bandung, pendidikan mestinya berefek transformatif.
Demikianlah. Mempertanyakan segala hal bukanlah sesuatu yang sanggup membikin murid jadi anarki. Kemerdekaan bertanya juga termasuk segi humanisme yang perlu dilestarikan oleh dunia pendidikan. Kita mestinya mafhum bahwa kemajuan ilmu dan pengetahuan pertama-tama diawali dengan sebuah tanya. Ya nggak?
Rasanya memang, di banyak sekolah—bener nih bukan semuanya?—keberadaan lab IPS seperti nggak dipedulikan. Ia terbenam oleh keagungan lab IPA yang katanya jauh lebih urgen, mentereng, dan jadi arus utama. Dari sini saja terkesan bahwa IPA dipandang lebih ketimbang IPS. Duh!
Tapi nih, kalau boleh melakukan pembelaan atas kedudukan mapel IPS yang denger-denger kalah pamor dari mapel IPA, ijinkan saya menyomot kalimat pak A.L Rowse, sejarawan berkebangsaan Inggris itu. Katanya, “Melalui sejarah, bisa dikembangkan pula kemampuan untuk mencurigai segala bentuk omong kosong.”
Yups, dengan mempelajari sejarah, begitu pun ilmu sosial lainnya, orang tak mudah termakan kebodohan dan bualan orang lain. Ia menjadi skeptis, tapi tidak pesimis. Ia paham bahwa kebaikan universal itu ada, dan mungkin.
Namun di saat yang sama, orang yang mendalami sejarah akan terus memelihara sikap waspadanya terhadap omongan yang sok moralis. Semua itu merupakan dampak mempelajari sejarah. Tentu saja bukan hanya dengan cara menghafal.
Dengan demikian, dalam IPS, penilaian atas manusia dan hubungan mereka, alasan dan penyebab tindakan serta dampaknya, berkembang (Rowse, 2014). Tuh, kan? Ternyata manfaat mempelajari IPS sampai ngefek ke diri kita. Melaluinya kita jadi pribadi yang lebih peka dan waspada.
Sejalan dengan itu, keberadaan lab IPS di sekolah punya peran strategis. Dengan sedikit inovasi dari guru dan sekolah, ia dapat disulap jadi pusat pembelajaran ilmu sosial. Partisipannya pun tak cuma dari kalangan murid, guru atau bahkan akademisi kampus setempat juga punya andil. Kalau sudah begini, budaya belajar IPS bakalan semakin positif.
Meski demikian, persoalan mendasar masih menggantung. Ada berapa sekolah yang mempunyai lab IPS?
Berdasarkan survey singkat plus tak metodis, saya mendapat kesimpulan bahwa memang lab IPS tidak penting-penting amat. Paling tidak di daerah saya.
Yakin bener sih? Memang begitu, kok. Lha wong kenyataannya di empat SMA Kabupaten dan Kota Pekalongan yang diyakini favorit itu, nggak ada tuh lab IPS-nya. Nah, lho.
Berangkat dari situ, timbul pertanyaan, sejak kapan sih pengadaan lab IPS mulai terdengar kabarnya? Sebab, kok semasa kuliah di Semarang, nggak pernah sekalipun saya mendengar celetukan soal lab IPS. Bahkan hingga saya terjun jadi pengajar di sebuah sekolah di Pekalongan mulai pertengahan 2016 lalu, celetukan itu pun tak kunjung ada gaungnya.
Setelah membuka-buka sumber di internet, saya mendapati informasi bahwa rupanya lontaran ide pendirian lab IPS sudah ada sejak lama. Setidaknya mulai ada tahun 2007. Umumnya gagasan ini tercetus karena keberadaan lab itu dirasa semakin penting. Sayangnya, standar yang ditetapkan pemerintah menganggap bahwa keberadaannya belum cukup mendesak. Ia berada di luar persyaratan minimal Standar Nasional Pendidikan. Kok bisa gitu ya?
Alhasil, munculnya lab IPS di sekolah sedikit banyak didorong oleh keinginan dan kepedulian guru mapel bersangkutan. Bahkan biar makin meyakinkan, murid-murid sampai perlu menjuarai lomba-lomba yang ada hubungannya dengan mapel IPS dulu agar permintaannya dilirik. Walau begitu, tetap saja cara ini butuh waktu lama. Mungkin dua sampai tiga tahun.
Tengok saja pengalaman bu Nurma, guru Geografi, dan bu Sri, guru Sejarah di SMA Negeri 2 Situbondo, Jawa Timur. Berdasarkan kisahnya, pendirian lab IPS baru terwujud pada 2009 (lab Geografi) setelah dirintis dua tahun silam, dan tahun 2019 (lab Sejarah) usai tiga tahun perjuangan. Dan kini sekolah itu berusia 43 tahun.
Mungkin kemunculan lab IPS memang sejatinya perlu diperjuangkan. Ia barangkali nggak bakal ada tanpa gagasan, cita-cita, dan pengorbanan pelakunya. Begitulah.
Nah, kawan, apakah menurutmu dalam bidang ilmu terdapat kelas-kelas atau kasta-kasta sehingga yang satu boleh memandang rendah yang lain? Menurut saya tidak ada, dan nggak bakalan ada. Cukup manusianya saja yang begitu.
Dini Alan Faza, pengajar di sebuah sekolah di Kabupaten Pekalongan