KOTOMONO.CO – Pandemi yang mulai melandai membuat perekonomian perlahan pulih. Kita tentu acap kali mendengar isu pemulihan ekonomi pasca pandemi ini. Entah datang dari mulut Jokowi langsung, atau dari tuthuk Pak Luhut Binsar Pandjaitan atau membaca pernyataan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Kalau Jokowi ingin pemulihan ekonomi sudah barang tentu dimulai dari level provinsi. Lalu dari provinsi, gubernur menggerakkan Pemkot/Pemkab-nya untuk turut serta membantu program pemulihan ekonomi. Nah, saya rasa demi menjalankan amanah pemulihan ekonomi, Pemerintah Kota Pekalongan juga tak mau ketinggalan.
Lewat momentum Hari Batik Nasional yang diperingati tiap dua hari setelah G30S, Pemkot Pekalongan menancap gas perekonomian daerah. Belum lama ini saya membaca berita Pemkot Pekalongan ingin meningkatkan perekonomian kota melalui batik. Ya, sebab batik adalah sektor andalan Kota Pekalongan. Soal peningkatan ekonomi, mau membebankan ke bidang apalagi selain batik?
Kira-kira begitu. Tentu saja saya sepakat kalau batik pemicu denyut nadi perekonomian di Kota Pekalongan paling krusial. Sebab itu saya serius mencari tahu, apa yang bakal dilakukan Pemkot untuk meningkatkan ekonomi, terutama lewat sektor batik?
BACA JUGA: Masalah di Pekalongan Bakal Selesai Kalau Avengers Jadi Warganya
Mata yang setengah mengantuk campur mangkel karena kekalahan tim bulutangkis Indonesia di perempat final Sudirman Cup masih menggelayuti. Sebelum tidur saya coba alihkan fokus ke Instagram, tentu bermaksud menghindari postingan badminton bernada naif yang kebetulan lebih sering muncul di Twitter.
Wasyuuu… Saya malah ketemu jawaban dari pertanyaan saya di paragraf sebelumnya. Gini, ada langkah serius dari Pemkot untuk meningkatkan ekonomi, lebih-lebih dari sektor perbatikan.
Jadi upaya yang akan dicoba Pemkot adalah menggelar pelatihan-pelatihan untuk para pelaku batik. Misalnya pelatihan digital marketing, editing video, dan editing foto. Bukan hanya itu, khusus untuk batik, Pemkot mewajibkan setiap perusahaan meminta karyawannya memakai sarung batik, minimal seminggu sekali.
Soal kedua, saya nggak mau mbahas, lha coba antum bayangkan saja, pekerja kontraktor pakai batik? Namun untuk yang pertama, itu bikin saya yang sedang mangkel bertambah mangkel. Nggak tahu kenapa kok programnya pelatihan lagi, pelatihan lagi. Jika ingatan saya nggak berkhianat, dulu kan di sektor perkopian juga gitu. Di sektor UMKM-an juga sama. Sektor perkeripikan dan peribu-PKK-an juga sama. Tujuannya satu: peningkatan ekonomi, dan programnya juga satu: pelatihan.
BACA JUGA: Kok Bisa Informasi Kebijakan Pemkot Pekalongan Nggak Sampai ke Warga?
Oh mungkin saja Pemkot pengin semua program terintegrasi. Kalau benar begitu, saya maklum. Namun jika tidak, saya hanya bisa menduga hal itu untuk memberdayakan rakyat. Pemkot nggak mau warganya pasif kalau hanya dikasih santunan. Yang Pemkot inginkan adalah warganya berdaya dengan membikin pelatihan-pelatihan. Sungguh inovasi yang amat sangat mind blowing dari Pemkot kesayangan kader PDI dan P3 ini.
Betul sih, pelatihan memang jalan biar masyarakat berdaya. Potensi atau semacam bakat masyarakat bisa jadi muncul dari pelatihan-pelatihan tersebut. Itu berbeda jika Pemkot hanya ngasih fulus. Masyarakat bisa saja justru akan merengek minta duit terus.
Kalau pelatihan kan gampang. Pokoknya dari Pemkot sudah ngasih pelatihan. Bisa ya Alhamdulillah, tidak ya wa-sukurin-lah. Semua di tangan masyarakat atau calon peserta latihan. Ikut boleh, dan memang wajib ikut kalau mau ekonomi pulih. Namun, kalau tujuannya meningkatkan ekonomi, menggelar pelatihan-pelatihan malah jadi nggak relevan.
Harus diiringi memakai sarung batik juga? Bukan! Mesti dimunculkan gerakan-gerakan? Bukan! Bikin pusat UMKM sampai minimarket? Ngaco! Harus dikasih subsidi? Boleh, tapi nggak perlu juga! Lalu, apa dong?
BACA JUGA: Sudah Saatnya Pemkot Pekalongan Punya Buzzer
Semestinya dicari akar masalahnya, kenapa kok ekonomi sektor batik bisa lesu? Misalnya. Barangkali penyebabnya bahan baku yang makin mahal dan makin langka. Pembatik yang mulai masuk usia senja sehingga produktivitas menurun. Perang dengan printing. Bayaran yang sedikit. Problem limbah yang sebatas diobrolin.
Kalau di sektor lain, semisal UMKM non-batik. Apa yang membuat UMKM sepi? Boleh jadi bukan karena daya beli yang turun, tapi produk UMKM yang jelek, minim kreatifitas, udah gitu harganya mahal. Makanya, walau sudah dijual secara online, UMKM masih juga sepi peminat. UMKM perlu didampingi secara berkala, dikontrol, dan diawasi, sehingga pemerintah tahu kebutuhan mereka.
UMKM itu nggak cuma buat peresmian-peresmian doang. Nggak sekadar diberi ruang pas acara-acara gede seperti PAF, Hari Batik, Hari Jadi, dan sebangsanya. UMKM nggak hanya buat pansos. Sekalipun itu nggak melanggar hukum.
Intinya, UMKM nggak sama dengan gong, pita, dan balon warna-warni yang muncul ketika gebyar-gebyar doang. Kalau pembatik, pelaku UMKM, pedagang sayur, penjual martabak, tukang las, sampai ibu saya yang jualan pempek masih harus ikut pelatihan ini-itu, ya…… pusing bos. Jualan nggak laku tapi disuruh ikut pelatihan segala macem.
BACA JUGA: Pemkot Pekalongan Harus Mulai Berinisiatif Membangun Bukit Algoritma, Titik!
Lagi pula sejak kapan dengan pelatihan bisa meningkatkan ekonomi? Meningkatkan saja tidak, apalagi mau memulihkan. Kalau menumbuhkan ekonomi, mungkin iya.
Sejak SD dan kini menjelang akhir kuliah, sampai nanti lulus kuliah kemudian bekerja, lalu bertemu pujaan hati dan menikahinya dan kalau beruntung dikaruniai anak, sampai anak saya nanti punya cucu dan cucunya itu punya cucu lagi, dan cucunya itu melahirkan cucu lagi, pelatihan itu ya buat mengasah skill. Kalau nggak paham skill itu apa, skill itu kemampuan, keahlian, kecakapan yang muncul dari dalam diri dan dilatih.
Orang punya skill belum tentu ekonominya mapan. Kebanyakan malah tidak punya akses buat mengonversi skill menjadi bill. Atau sudah bekerja, tapi bayarannya nggak sepadan dengan skill yang dimiliki, bahkan sepertiganya saja nggak sampai. Bahkan, ini yang paling ironis: NGGAK DIGAJI. Apakah pemerintah terbersit buat memecah kebuntuan yang semacam ini?
Membikin pelatihan tentu bukan sebuah kesalahan. Toh, pemerintah memang nggak pernah salah. Yang salah itu rakyat, kenapa kok punya skill nggak bisa kerja? Kenapa kok mau-maunya dibayar murah, dan Ya Allah… sampai nggak digaji? Sudah kerja terus duitnya nggak nyukup buat beli susu, beras, sayur, sarden, bayar listrik, bayar PDAM, beli masker, beli obat pereda nyeri kepala, lha itu urusan rakyat. Kalau rakyat kerja, dapat duit, itu kan bisa dibilang ekonomi sudah pulih, begitu tho?
BACA JUGA: Soal Membangun Area Wisata, Kota Lain Perlu Belajar dari Pemkot Pekalongan
Lho, bukankah pelatihan kayak digital marketing itu penting untuk diterapkan di usaha? Ya, siapa juga kali yang bilang nggak penting. Hanya saja, siapa yang bakal menjamin setelah diberi pelatihan digital marketing, omzet jadi makin moncer? Ya mungkin ada, tapi itu nggak semua sektor. Apalagi tak semua sektor usaha bisa di-digital-marketing-kan.
Kalau mau bikin pelatihan itu sebenarnya bagus sekali, gapapa kok. Tapi lebih bagus lagi kalau sasarannya anak-anak SD, SMP, SMA, dan mahasiswa, bukan para pelaku ekonomi. Namun, lebih bagus lagi nggak usah bikin pelatihan-pelatihan dengan dalih meningkatkan perekonomian. Blasss ramashokkkk soale bosque!!!
Nah, sebelum ada yang menodong saya dengan pertanyaan “Usulmu apa?” Saya pastikan tidak akan menjawab pertanyaan yang kelewat konyol tersebut. Lagi pula saya bukan pengangguran yang kelewat selo untuk merebut tahta yang dari kampanyenya sudah jelas milik rakyat. Itu.
komentarnya gan