KOTOMONO.CO – Amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tentang pendidikan sebagai hak semua warga negara agaknya masih harus menghadapi banyak batu sandungan. Salah satunya berkenaan dengan masalah bias gender atau kesenjangan gender.
Sebagian masyarakat negeri ini masih saja menempatkan laki-laki lebih unggul dibandingkan perempuan. Bahkan, mereka menganggap perempuan tidak memerlukan pendidikan tinggi. Akibatnya, jumlah terpelajar perempuan jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki.
Situasi ini mau tak mau akan mempersempit gerak perempuan di ranah sosial, ekonomi, hukum, budaya, keagamaan dan politik. Di bidang ekonomi misalnya, kaum perempuan acapkali harus menelan ludah dengan penuh kekecewaan karena keringat mereka diupah lebih rendah dibandingkan laki-laki, sekalipun tanggung jawabnya dalam bekerja sama.
Keterdesakan ekonomi dan pandangan tradisional yang demikian, membuat mereka rentan mengalami tekanan yang lebih besar. Mereka mesti siap menghadapi kenyataan, bahwa mereka akan dinikahkan jauh sebelum usia mereka dewasa.
BACA JUGA: Perempuan Itu Tidak Seharusnya Menjadi Pelayan atau Diperlakukan Seperti Pelayan
Dari catatan tahun 2018, diperkirakan satu dari sembilan anak Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Sebanyak 1,2 juta perempuan menikah sebelum 18 tahun (Sari, 2021). Usia di bawah 18 tahun masih digolongkan sebagai anak, sehingga perkawinan di bawah usia 18 tahun adalah perkawinan anak.
Malahan, sekarang ini Indonesia menduduki peringkat kedua di ASEAN dan peringkat kedelapan di dunia untuk kasus perkawinan anak. Dari 34 provinsi yang ada, 22 provinsi tercatat sebagai penyumbang angka perkawinan anak (Pranita, 2021). Melansir tribunnews.com, selama masa pandemi Covid-19, pernikahan anak di Indonesia bahkan semakin meningkat, naik hingga 300 persen.
Memang, bisa saja menikahkan anak perempuan dalam usia muda tidak dapat begitu saja dipersalahkan. Akan tetapi, pernikahan usia anak berisiko tinggi bagi terjadinya kekerasan berbasis gender hingga berujung pada tingginya angka perceraian.
Tidak hanya itu, potensi risiko kematian ibu muda pun turut membesar. Seperti dilaporkan, angka kematian ibu meningkat dua sampai empat kali lipat pada kehamilan usia dini dibandingkan dengan kehamilan di atas usia 20 tahun (Chalid, 2018). Fenomena ini tentu mengindikasikan berlakunya ketidaksetaraan gender yang meliputi tiga dimensi, yaitu kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan kegiatan ekonomi.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa anak perempuan yang menikah di usia dini juga menghadapi masalah dalam pendidikannya. Ada banyak kasus anak perempuan terpaksa putus sekolah karena peraturan sekolah tidak membolehkan perempuan yang telah menyandang predikat sebagai istri/ibu masuk ke ruang kelas.
BACA JUGA: Bukan Hanya Perempuan, Laki-laki pun Dirugikan oleh Patriarki
Makin lebarlah kesenjangan gender yang dialami perempuan. Makin besar pula peluang perempuan untuk tersubordinatkan. Bahkan, tak jarang mereka menjadi target dari kasus pelecehan atau kekerasan seksual. Dalam hal lain, subordinasi ini juga memengaruhi mereka di dalam mendapatkan hak yang terbaik, bahkan untuk kesehatannya sendiri.
Ketakberdayaan kaum perempuan ini tentu saja mesti disikapi lebih serius. Paradigma masyarakat tentang bias gender mesti diubah. Salah satunya dengan mendorong setiap keluarga untuk memberikan hak pendidikan tinggi dan memberikan ruang bagi anak perempuan untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya.
Sudah barang pasti, untuk mewujudkan cita-cita itu tidak bisa dilakukan sendirian. Perlu upaya pengerahan seluruh komponen dan elemen masyarakat. Selain itu, dibutuhkan pula penentuan strategi yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, organisasi non pemerintah hingga media. Harapannya, terbangun sinergitas dan paralelitas untuk benar-benar menginternalisasi bahwa perempuan merupakan kekuatan yang harus didukung secara holistik melalui kebijakan dan program yang inklusif.
Intervensi melalui jalur regulasi yang pro masalah gender sangat diperlukan. Terutama untuk mengikis budaya dan tradisi masyarakat yang merugikan kesehatan perempuan dan anak. Tentu, regulasi tersebut mesti bersifat menyeluruh ke segala bidang. Didukung pula dengan penguatan di tingkat akar rumput yang melibatkan semua organisasi masyarakat sipil.
Peningkatan kapasitas pemimpin lokal, guru, pemimpin muda, dan para pemimpin agama juga sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, agama merupakan fondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai kesetaraan gender berdasarkan perspektif agama mesti lebih digaungkan lagi. Khususnya, pandangan agama yang meletakkan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan yang sama di mata Sang Pencipta. Sehingga, apapun bentuk subordinasi kaum perempuan mesti dipandang sebagai tindakan yang melawan hukum Tuhan.
Dalam perspektif agama Islam misalnya, menempatkan perempuan pada posisi sangat terhormat dan mulia sesuai dengan kodrat dan tabiatnya. Perempuan tidak berbeda dengan kaum laki-laki dalam masalah kemanusiaan dan hak-haknya.
BACA JUGA: Salahkah jika seorang sarjana memilih menjadi Ibu Rumah Tangga?
Dari sini pula, nilai-nilai kesetaraan gender harus disebarkan dan ditanamkan ke setiap lapisan masyarakat, baik melalui sekolah, universitas, komunitas, media, pers mahasiswa, hingga pusat-pusat keagamaan dan kebudayaan. Paling tidak kita punya harapan bahwa bias gender akan dapat diretas pada generasi mendatang.
Mengingat populasi kaum perempuan di Indonesia mencapai 49,42% (hampir separuh dari total penduduk Indonesia), upaya untuk menyadarkan pentingnya kesetaraan bukan lagi diperlukan. Akan tetapi, sudah menjadi keharusan. Sebab, perempuan merupakan setengah dari potensi sumber daya manusia (SDM) bangsa ini. Jika mereka berdaya secara optimal, maka akan turut serta menjadi motor kekuatan demi membangun Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
*Sumber tulisan dari berbagai sumber
Tulis Komentar Anda