KOTOMONO.CO – Terdakwa Kanjuruhan, mantan Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Ia yang sejatinya bertanggung jawab atas penembakan gas air mata oleh anggota Samapta Polres Malang ke tengah lapangan divonis bebas lantaran gas air mata tersebut tertiup oleh angin.
Dilansir CNN Indonesia, asap yang dihasilkan gas air mata mengarah ke pinggir lapangan dan sampai ke tribun karena tertiup angin hingga ke atas. Dengan alasan itulah, hakim memutuskan terdakwa bebas, karena angin lah yang menyebabkan asap semakin menggumpal dan kejadian di Kanjuruhan tidak bisa dielakkan.
Tentu saja karena itu angin pun memenuhi trending topik di media sosial. Saat saya menulis ini kata kunci “Angin” masih menduduki deretan trending topik. Sebuah prestasi yang luar biasa. Itu artinya, angin kini menjadi pembicaraan hangat di seluruh Indonesia.
Lantaran angin menjadi penyebab vonis bebas terdakwa kasus Kanjuruhan. Alih-alih menahan terdakwa, angin menjadi pelaku lain setelah sebelumnya pintu dan tangga sudah lebih dulu menjadi pelaku. Saya nggak tahu, angin yang alamatnya mana yang meniup gas air mata itu.
Namun, melalui Kotomono, media yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai jurnalisme, saya coba menghubungi organisasi angin se-Indonesia yang tergabung dalam FEDAI (Federasi Angin Indonesia). Saya melakukan wawancara via telepon dengan Sekjen FEDAI yang baru saja terpilih melalui kongres.
Saya sebenarnya ingin menghubungi ketua umumnya. Namun, beliau tampaknya sedang sibuk dengan urusan lain. Maklum saja, FEDAI sedang ada proyek nasional bernilai triliunan rupiah. Saya menghubungi Sekjen FEDAI, namanya Apem Gurih. Berikut isi wawancara saya dengan Apem Gurih yang kualitas anginnya konon lebih bagus dari kipas angin Maspion.
Saya: “Halo. Selamat siang, Pak Apem Gurih.”
Apem Gurih: “Siang, Mas. Anda mau mewawancara saya soal kelakuan anggota organisasi kami yang menyebabkan asap gas air mata naik, ya?”
Saya: “Benar, Pak.”
Apem Gurih: “Langsung saja ya, Mas. Gini. Kemarin itu, waktu Tragedi Kanjuruhan, saya sudah meminta anggota supaya tenang. Nggak grusa-grusu, Mas.”
BACA JUGA: Pralaya ing Kanjuruhan lan Patuladhan Saka Sang Kumbakarna
Saya: “Lha, terus kenapa masih meniup gas air mata ke tribun? Apa nggak bisa niup lilin saja?”
Apem Gurih: “Waktu itu, dari anggota yang melapor, di sana katanya kondisinya keos, Mas. Kacau banget lah pokoknya. Memang betul anggota kami ada yang meniup lilin, tapi waktu itu tembakan gas air mata membuat kami buta arah.”
Apem Gurih: “Jadi, kami akhirnya meniup gas air mata, Mas. Gas air mata itu tepat di arahkan ke tribun, lalu bola-bola itu mengeluarkan asap. Ini kesaksian anggota kami yang di lokasi saja lho, Mas. Mungkin berbeda dari keterangan polisi dan fakta di persidangan.”
Saya: “Iya, nggak apa-apa. Kan, saya cuma mau mewawancarai bapak sebagai Sekjen FEDAI. Ini supaya informasinya imbang saja. Lanjutkan, Pak!”
BACA JUGA: Tragedi Stadion Accra Sport yang Terulang Kembali di Kanjuruhan
Apem Gurih: “Saya itu sebenarnya kesel banget, lho, Mas. Anggota kami yang di lokasi nggak ada satu pun yang diwawancarai untuk penyelidikan.”
Saya: “Oya, ya. Malah yang diwawancarai justru pedagang dawet bukan, sih?”
Apem Gurih: “Nah, itu dia, Mas. Waktu persidangan pun, perwakilan dari kami terpaksa masuk ke ruang sidang tanpa permisi.”
Saya: “Oh, makanya nggak diberi waktu buat jadi saksi.”
Apem Gurih: “Itu benar, Mas. Anggota kami yang di persidangan nggak ada satu pun yang dimintai keterangan.”
Saya: “Apa nggak ada tindakan dari pengurus FEDAI sendiri?”
Apem Gurih: “Saya sempat datang, Mas ke persidangan. Saya bahkan mendekat ke kuping hakim. Tapi sepertinya hakim hanya terima kesejukan saya saja. Maklum, Mas. Saya kan yang terbaik di antara anggota angin lainnya.”
Saya: “Yo nggak, tho. Sampeyan masih kalah sama Pak Ketum.”
Apem Gurih: “Hehe. Kalau itu saya no comment, Mas.”
Saya: “Lalu, langkah berikutnya dari FEDAI yang menaungi angin apa, Pak?”
Apem Gurih: “Nanti kami rapatkan dulu sama Pak Ketum. Ini mendadak banget keputusan hakim. Kami juga nggak menyangka.”
Saya hanya manthuk-manthuk saja mendengar perkataan Sekjen Federasi Angin Indonesia tersebut.
Apem Gurih: “Nanti kalau sudah dirapatkan sama Pak Ketum, nanti beliau yang memutuskan. Apakah akan memanggil angin yang menjadi pelaku ke komite disiplin dan etik atau tidak.”
Saya: “Apakah ada potensi dicopot keanggotaannya dari federasi, Pak?”
Apem Gurih: “Potensi itu mungkin ada. Tapi gini, Mas. Dari kami hanya bisa merekomendasikan. Misalnya, merekomendasikan agar angin yang menjadi pelaku mundur dari keanggotaannya.”
Saya: “Kalau gitu, si pelaku bisa menolak mundur dong, Pak?”
Apem Gurih: “Mundur atau tidak, saya kurang tahu, Mas. Tapi harusnya kalau sudah menyebabkan ratusan nyawa melayang, ia malu dan mundur sih.”
Saya: “Pertanyaan terakhir, Pak.”
Apem Gurih: “Ya, silakan, Mas.”
Saya: “Ini kan, angin yang pada akhirnya disalahkan ya. Itu nanti dari federasi akan naik meja banding nggak pak? Atau ini kan sebenarnya yang menembak gas air mata polisi, tapi angin yang jadi kambing hitam. Nah, apakah dari FEDAI sendiri akan melaporkan balik dengan kasus pencemaran nama baik?”
Apem Gurih: “Oh kalau itu, saya jawab nanti.”
Telepon pun ditutup.
komentarnya gan