KOTOMONO.CO – Kenapa cowok feminim dan cewek maskulin itu diributin?
Salah satu hal yang paling saya suka dari dunia perkuliahan adalah para mahasiswa dibebaskan dengan memakai pakaian apa saja asalkan sopan (menurut aturan kampus setempat). Contohnya mahasiswi yang dipersilakan memakai celana walaupun masih diwajibkan memakai hijab karena berada di lingkungan perguruan tinggi islam.
Maka dari itu, sejak awal masuk kuliah hingga hari ini, saya sedang menunggu jadwal wisuda, saya tidak pernah memakai rok. Pernah sekali memakai rok putih, bekas seragam sekolah SMA, ketika saya sedang mengikuti acara stadium general (semacam pengajian yang harus diikuti oleh para mahasiswa baru). Itupun saya memakai karena tuntutan dari panitia acara.
Dari adanya hal tersebut, setiap hari, outfit saya selalu saja dikritik oleh teman-teman. Setibanya di kampus, saya merasa tidak pernah absen menerima pernyataan seksis dari teman-teman saya.
“Zah, pakai rok, sih?!”
“Zah, punya rok nggak?”
“Zah, celanamu kayak bapak-bapak.”
“Zah, aku pinjami rok ya, biar kamu pakai rok.”
“Zah, aku make up-in ya.”
Tak hanya itu, cara berjalan saya yang lebih maskulin juga selalu dikritik oleh mereka yang seakan-akan tidak terima dengan hal itu. Nada suara saya yang cenderung lebih berat dari kebanyakan perempuan lainnya pun juga tak luput dari penilaian buruk mereka. Bahkan ada yang bilang ke saya bahwa laki-laki bakalan segan bahkan minder jika saya memiliki kepribadian yang mandiri dan tegas.
Sebenarnya, menerima pernyataan-pernyataan seksis sudah saya terima sejak duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP). Jadi, sudah lebih dari satu dekade saya menerima pernyataan yang seharusnya tidak bisa dinormalisasikan itu. Namun, belum lama ini, saya baru merasa agak kurang nyaman dengan hal-hal itu dikarenakan standar kecantikan perempuan lebih sering digaungkan karena maraknya media sosial.
Kritikan tajam karena dianggap tidak melanggengkan norma masyarakat pada umumnya tak cuma saya yang menerima. Laki-laki yang dianggap feminin sudah dipastikan menerima ocehan seksis dan bahkan hujatan lingkungan sekitar.
Salah satu teman saya yang memiliki “gaya berlari feminin” juga tak luput dari ocehan pedas yang keluar dari mulut mereka yang tak kuasa menahan kritik.
Contoh lain adalah film pendek yang tayang di youtube garapan vidsee.com yang berjudul Grieving Dreams. Dalam ceritanya Singgih (Antonio Diaz Prananta) selalu menerima perisakan dari ayahnya, Tarjo (yang diperankan oleh Yohannes De Brito) tidak terima jika anaknya mempelajari sebuah tarian dan tidak ahli dalam membabat rumput guna memberi makan kambing peliharaannya.
Peristiwa yang saya, teman saya, dan Singgih alami adalah contoh bahwa masyarakat belum bisa memahami perbedaan arti seks dan gender. Seks (jenis kelamin) adalah organ tubuh khas yang melekat di diri laki-laki dan perempuan. Misalnya jika perempuan mengalami menstruasi dan memiliki payudara yang lebih besar dari laki-laki. Sedangkan laki-laki mempunyai penis dan tidak memiliki bentuk dada yang menonjol.
Lain halnya dengan gender yang terbentuk karena adanya konstruksi sosial. Misalnya perempuan harus lembut, tidak boleh menentang, dan harus pandai bersolek agar dapat memikat hati para laki-laki. Sedangkan laki-laki dituntut tidak boleh menangis dan harus tegas agar dapat menjadi sosok pemimpin rumah tangga yang diidam-idamkan. Prinsip inilah yang telah terkunci di otak masyarakat luas. Jadi, jika mereka tidak melakukannya, maka akan dianggap tidak normal.
Padahal, sebenarnya sebagai manusia yang utuh, perempuan seharusnya memiliki ketegasan, minimal untuk dirinya sendiri. Semisal ketika ada pelecehan seksual yang menimpa kita sebagai perempuan. Sikap tegas harus kita keluarkan agar kita tidak lagi menjadi korban pelecehan seksual.
Pun dengan laki-laki yang seharusnya dibukakan pintu yang lebar untuk menangis yang disebabkan ada beban yang ditanggung di pundaknya. Toh, memang sudah terbukti betul bahwa menangis dapat mengurangi beban yang kita pikul.
Selain itu, pintu lebar juga harus dibukakan untuk para laki-laki agar bisa belajar menari, memasak, dan segala hal yang diidentikan dengan perempuan agar laki-laki tersebut dapat menemukan diri mereka sendiri. Agar laki-laki tidak terjebak dengan dalam kungkungan toxic masculinity.
Maka dari itu, menjadi perempuan maskulin dan laki-laki feminin itu tidak salah. Toh, bukankah kita dituntut untuk menjadi diri sendiri? Mengapa ketika sudah menjadi diri sendiri malah dicibir bukan didukung?
Perlukah, saya, Singgih, dan kami yang dianggap tidak melanggengkan norma masyarakat pada umumnya mengantar mereka yang menghujat ke dokter bedah mulut agar tak lagi menghujat kami? Jika iya, saya bersedia untuk mengantarkannya.
*Tulisan ini adalah tulisan khusus bertema dunia perempuan yang akan rutin diisi Azizah. Tayang setiap seminggu sekali. Jadi jangan sampai kamu terlewat ya!