KOTOMONO.CO – Orang-orang di desa sana tak berani menempuh perjalanan menembus hutan Petungkriyono sehabis diguyur hujan, apalagi kalau ada kabut turun.
Perjalanan Sabtu sore itu menjadi petualangan yang tak biasa. Awalnya, saya cukup ragu-ragu untuk berangkat ke lokasi yang sudah ditentukan oleh kawan-kawan Tim Ngebar Berkomunikasi. Apalagi kalau saya harus menempuh perjalanan sendirian. Tetapi, karena mendapat tugas, saya pun akhirnya tetap menempuh perjalanan itu.
Saya berboncengan dengan mas Tony, chefnya Kedai Berkomunikasi Coffee and Tea, yang kebetulan bertugas untuk meracik segala macam menu masakan di acara Ngebar. Mas Tony tak keberatan. Malah, ia merasa senang ada teman di perjalanan. Setelah sejenak menikmati minuman racikan mas Tony di Kedai Berkomunikasi yang dinamainya Romlah, kami segera saja berangkat.
Karena saya menumpang, tak elok rasanya jika tidak membantu mas Tony. Saya pun tawarkan jasa padanya. Saya bawakan beberapa peralatan dan perlengkapan yang ia perlukan untuk dibawa ke lokasi.
Mulailah perjalanan itu. Di jalanan kota, ia cukup lincah mengendalikan laju sepeda motornya. Arus lalu lintas yang cukup padat sore itu mampu ia tundukkan. Tetapi, begitu sampai di kawasan Perkebunan Jolotigo, situasi berubah. Jalanan lengang, tetapi terasa gelap lebih cepat datang dari biasanya. Sekumpulan awan mendung bergelantungan di atas langit Jolotigo.
BACA JUGA: Kopi Owa Petungkriyono, Salah Satu Kopi Bersejarah Dari Pekalongan
Pemandangan gelap itu kian terasa ketika memasuki pintu gerbang kawasan hutan Petungkriyono, langit berkelambu awan mendung. Kabut pun menuruni bukit hingga memenuhi lembah-lembah. Kabut yang kami saksikan tak juga seperti kabut biasanya. Jika pada umumnya kabut berwarna putih, senja itu kabut berwarna agak kekuningan. Entah, mungkin karena bercampur debu atau apa. Kami tak cukup mengerti.
Di atas sepeda motor, kami seolah terperangkap oleh kemuraman senja yang cekam. Gelap. Padahal, pada perjalanan saya di beberapa senja yang lampau, tak segelap yang saya lihat Sabtu itu. Jalan-jalan yang kami lalui masih nampak cukup jelas, sekalipun waktu itu guyuran hujan mengiringi perjalanan.
Tetapi, Sabtu sore itu, terasa sangat berbeda. Gelap dan cekam. Sorot lampu motor tak sanggup menembus tebalnya dinding kabut yang mengurung kami. Ditambah dengan penerangan jalan yang sangat minim. Hanya di beberapa titik kami jumpai lampu penerangan jalan dengan nyala redup. Itu pun bisa dihitung dengan jari tangan jumlahnya.
Pada tiap lekukan jalan yang meliuk tajam, hampir-hampir motor kami menabrak dinding tebing di sisi kiri. Beberapa kali pula nyaris menyentuh tubir jalan yang berbatasan langsung dengan jurang yang dalam di sisi kanan. Terutama, saat melintasi jalan menikung ke arah kiri dengan tanjakan yang curam.
Kondisi jalan yang basah selepas diguyur hujan membuat jalan aspal itu tampak gelap. Semakin gelap lagi ketika jalanan itu tak dilengkapi marka jalan yang sebenarnya sangat membantu para pejalan malam. Licin, sudah pasti. Terlebih guyuran hujan itu membuat tanah-tanah pada tebing itu terbawa air dan melapisi jalanan.
BACA JUGA: Kisah Jurang Kubang dan Kuburan Jepang Di Petungkriyono
Bahkan, pada tikungan menanjak terakhir jelang kawasan wisata Welo Asri sepeda motor kami tak sanggup menanjak. Saya terpaksa turun dari boncengan. Saat turun dari boncengan, saya berdiri sempoyongan. Kaki saya gemetaran. Nyaris saya limbung tetapi saya tahan agar tak sampai jatuh. Sebab, jika saya jatuh, tubuh saya akan berguling menuruni jalan dan terperosok ke dalam jurang.
Sementara, mas Tony, yang melajukan motor juga agak kesulitan mengendalikan motornya. Jalanan yang licin membuat roda motor kami hanya berputar tanpa mampu mencengkeram aspal. Bahkan, sempat pula motor yang dikendalikan mas Tony ngepot. Bukannya melaju ke depan, motor yang ditumpangi itu malah berjalan menyamping untuk beberapa saat. Hampir menabrak dinding tebing di sisi kanan.
Cemas, takut, dan cekam sempat hinggap dalam pikiran kami saat itu. Kami hanya berharap ada seseorang yang menolong. Tetapi, dalam keadaan jalan gelap dengan liukan yang tajam dan tanjakan yang curam itu, sepertinya sulit bagi seseorang untuk bisa menolong kami. Lebih-lebih dengan kondisi jalan yang licinnya minta ampun.
Syukurlah, kami masih selamat. Sesaat kami berhenti di jalan yang agak landai. Menghela napas sejenak sembari menenangkan diri.
BACA JUGA: 7 Wisata Alam Petungkriyono Hits Dan Populer 2021
Setelah cukup tenang, kami melanjutkan perjalanan yang tak jauh. Di depan, meski dalam cahaya yang remang, dapat kami saksikan tempat tujuan kami; Welo Asri. Lekas-lekaslah Tony memarkir sepeda motornya dan bersegera menyusul kawan-kawan yang sudah menunggu sejak pagi hari.
Ya, begitulah perjalanan menegangkan itu. Mengingatkan pesan seorang kawan yang asli warga Petungkriyono. Katanya, orang-orang di desanya tak berani menempuh perjalanan menembus hutan Petungkriyono sehabis diguyur hujan, apalagi kalau ada kabut. Selain menghindari pohon tumbang, juga karena menghindar dari jalanan yang licin.
Komentarnya gan