KOTOMONO.CO – Persoalan profesi pekerja batik yang dilakoni generasi muda Kota Pekalongan kian hari kian menunjukan tren mengkhawatirkan.
Kita semua sudah tahu, sektor ekonomi Kota Pekalongan yang paling menonjol adalah produksi Batik. Hal ini tak lepas bahwa kehidupan masyarakat Kota Pekalongan tak dapat dipisahkan dari batik dan produk turunannya. Mangkanya kota ini menjadi sentra terbesar produksi batik di Indonesia bahkan di Dunia.
Produksi batik di Kota Pekalongan dapat dikatakan amat masiv bahkan cenderung ugal-ugalan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengrajin batik dalam skala rumahan atau bahkan skala pabrik besar yang produksi batik ribuan meter per hari di kota ini.
Kondisi ini tentunya berbanding lurus dengan kebutuhan pekerja batik sebagai salah satu pekerjaan di sektor informal. Pekerja batik umumnya orang-orang yang bekerja sebagai pembuat batik. Bisa di bagian menggambar motif, peletakan lilin malam ke kain (tukang cap), pewarnaan, hingga finishing dan kuli keceh (pekerja kasar). Ya, kebutuhan pekerja sektor informal dalam industri batik di Kota Pekalongan sangatlah besar.
Sektor informal dianggap sebagai penyelamat kehidupan, dimana mampu menyediakan pekerjaan dan penghasilan dengan kepemilikan atas modal, keahlian dan ketrampilan yang terbatas atau minim. Namun sayangnya, semakin lama justru semakin menurun eksistensi profesi ini ditengah industrialisasi batik yang kian modern dan yang nggak kalah mencengangkan adalah kurangnya minat dari generasi muda masuk ke sektor ini. Padahal sektor informal di Kota Pekalongan yang notabene ialah industri batik memberikan lapangan pekerjaan yang cukup luas.
BACA JUGA: Perlunya Masjid Ikonik untuk Pekalongan yang Lebih Religius
Data yang dihimpun dari hasil survey kecil-kecilan yang saya lakukan menunjukkan bahwa rata-rata rumah produksi batik mengalami penurunan jumlah pekerja golongan muda (rentan usia 15-25 Tahun). Data ini dihimpun dari 4 tempat yang menjadi sentra produksi batik utama di Kota Pekalongan, diantaranya ialah Kampung Batik Kauman, Kampung Batik Pesindon, Kampung Batik Banyurip, dan juga di daerah Kelurahan Tirto, dan didapati 20 responden dimana responden tersebut ialah pemilik rumah produksi batik.
Hasilnya, pada Tahun 2022 hanya terdapat setidaknnya 20 persen pekerja batik dengan rentan usia 15-25 tahun dari total seluruh pekerja batik. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2020, yakni terdapat 37,6 persen pekerja batik dengan rentan usia yang sama.
Kondisi ini tentunya menjadi suatu permasalahan yang lambat laun akan semakin mengancam keberlangsungan batik dimasa yang akan datang. Batik sebagai warisan budaya dunia dan Pekalongan adalah kota kreatif, maka perlu adanya generasi muda yang meneruskan dan melestarikan budaya tersebut. Bukan hanya dalam segi promosi produk dan membeli produk batik, melainkan yang lebih penting justru sumber daya manusia dalam proses pembuatan batik itu sendiri perlu adanya regenerasi untuk meneruskan dan melestarikan batik.
BACA JUGA: Batik Lukis, Inovasi Tamakun yang Menggembirakan Generasi Muda
Penurunan jumlah pekerja batik dalam rentan usia muda ini didasari oleh berbagai faktor. Salah seorang pemilik dari rumah produksi batik di daerah Kampung Batik Pesindon menuturkan bahwa anak-anak muda jaman sekarang banyak yang enggan untuk bekerja sebagai pekerja batik. Di rumah produksinya, hanya terdapat dua pekerja batik yang usianya masih muda, banyak yang memilih mundur dari pekerjaan karena lingkungan kerja yang cenderung kotor dan rumit dalam prosesnya atau dapat dikatakan berat pekerjaannya.
Bahkan menurutnnya sangat sulit untuk menemukan pekerja batik perempuan khususnya untuk mengerjakan batik tulis, rata rata yang mengerjakan batik tulis adalah para ibu-ibu yang berusia antara 40 hingga 50-an tahun. Pemilik rumah produksi tersebut juga mengungkapkan bahwa upah yang diberikan juga rata rata sudah memenuhi UMK yang berlaku dan disesuaikan dengan nilai jual dan angka penjualan di pasaran juga dihitung dari biaya produksi.
Rata-rata upah yang diberikan dalam industri batik kepada pekerja batik di Kota Pekalongan menggunakan sistem harian. Yakni upah harian sebesar 70 hingga 100 ribu rupiah per harinya, upah ini jika dihitung perbulan dengan masa libur 1 kali dalam satu minggu berkisar antara Rp.1.820.000,00. hingga Rp.2.600.000,00., upah tersebut tentunya masuk dikisaran angka Rp. 2.156.213,77., yang merupakan Upah Minimum Kerja (UMK) Kota Pekalongan Tahun 2022.
BACA JUGA: Libur Hari Jumat, Antara Tradisi Kaum Santri dan Manajemen Jam Kerja di Pekalongan
Disamping itu, dari hasil penelusuran saya kepada beberapa pemuda di daerah Tirto, Kecamatan Pekalongan Barat, menunjukan pandangan yang hampir sama, yakni bahwa profesi pekerja dipandang sebelah mata oleh pemuda karena dibeberapa rumah produksi batik memberikan upah yang kurang menjanjikan atau tidak sesuai.
Faktor lainnya ialah terkait lingkungan kerja yang cenderung kotor dan pengerjaan yang lama menjadikan anak muda di era sekarang menjadi kurang minat terhadap profesi tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan upah dan lingkungan kerja dirasa menjadi faktor yang kuat penyebab menurunnya minat generasi muda masuk menjadi pekerja batik.
Disisi lain, mayoritas pekerja batik yang notabene ialah orang dengan pendidikan yang dapat dikatakan rendah, menimbulkan stereotype masyarakat yang menganggap bahwa profesi tersebut dianggap rendahan, hanya sebatas kuli.
Hal tersebut juga menjadi faktor lain penyebab turunnya minat generasi muda terhadap profesi pekerja batik. Ketika berkaca di sepanjang tahun 2015 – 2017, Kota Pekalongan menjadi salah satu dari 5 daerah dengan angka putus sekolah paling tinggi di Jawa Tengah
BACA JUGA: Masalah di Pekalongan Bakal Selesai Kalau Avengers Jadi Warganya
Jika dibandingan dengan era sekarang generasi muda kota ini telah memiliki pendidikan yang lebih baik dan angka putus sekolah juga semakin sedikit sehingga lebih memilih profesi yang memiliki upah dan lingkungan lebih baik. Para pemuda cenderung gengsi dengan pendidikannya jika harus bekerja sebagai pekerja batik, akibatnya minat menjadi pekerja batik di kalangan generasi muda semakin menurun. Ditambah lagi dengan munculnya dunia digital yang semakin menggiurkan untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah oleh anak muda.
Profesi-profesi lain di sektor informal ketika mengalami penurunan eksistensi dan regenerasi, mungkin hanya akan berdampak pada sektor ekonomi saja. Namun lain halnya dengan sektor informal profesi pekerja batik, dampak dari turunnya eksistensi profesi pekerja batik tidak hanya kepada sektor ekonomi dalam hal ini industri batik, melainkan juga berdampak pada budaya batik itu sendiri.
Dari segi ekonomi turunnya minat generasi muda menimbulkan kekhawatiran para pengusaha batik karena takut lambat laun tidak ada lagi yang mau membatik padahal batik menjadi salah satu produk andalan dari Kota Pekalongan, sehingga akan berdampak pula terhadap perekonomian masyarakat di kota ini.
Disisi lain sejatinya pekerja batik merupakan pelestari budaya yakni batik itu sendiri. Tanpa adanya pekerja batik, sebuah mahakarya batik yang menjadi warisan leluhur bangsa tidak akan ada. Mungkin saja bakalan digantikan oleh mesin-mesin berteknologi tinggi yang nggak punya sentuhan rasa menusia.
Sehingga dikhawatirkan dengan menurunnya minat generasi muda akan menjadikan hilangnya pelestari batik sebagai budaya yang bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO.
Upaya peningkatan eksistensi profesi ini dirasa perlu untuk dilakukan baik itu oleh para stakeholder maupun oleh pemerintah. Upaya tersebut haruslah sesuai dengan pokok permasalahan yang terjadi, pada hal ini ada dua permasalahan yakni terkait dengan upah dan lingkungan kerja.
BACA JUGA: Menyongsong Kepunahan Tukang Canting dan Tukang Sungging
Terkait persoalan upah sendiri tentunya dipengaruhi oleh banyak hal, namun dalam hal ini seharusnya pemerintah dapat mengambil peran dalam bentuk regulasi upah khusus daerah terkait profesi batik karena menyangkut warisan budaya Kota Pekalongan sekaligus ikon kota ini. Sekaligus sebagai wujud pelestarian warisan budaya itu sendiri yang kini kian mendunia dan menjadi salah satu ikon budaya bangsa Indonesia.
Penjaminan upah yang layak untuk para pekerja batik dapat menjadi salah satu solusi yang baik dan dapat diwujudkan lewat regulasi dari Pemerintah Kota Pekalongan. Hal tersebut juga perlu diiringi dengan upaya promosi batik dan peningkatan pasar batik.
Kemudian terkait dengan lingkungan diperlukan peran stakeholder dalam hal ini pemilik usaha dan juga pemerintah, perbaikan lingkungan kerja dan juga pembuatan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas lingkungan kerja yang baik. Sehingga dapat meningkatkan kembali eksistensi profesi pekerja batik di kalangan generasi muda Kota Pekalongan.
Komentarnya gan