KOTOMONO.CO – Jalan Kurinci, jalan kenangan yang kerap dipenuhi genangan, khususnya kalau hujan ujug-ujug turun ke bumi Kota Pekalongan. Eit! Jangan sesekali nekat mengendarai sepeda motor di kawasan itu saat banjir menggenang. Wong yang naik mobil sedan pun bisa kena mogok di tengah jalan.
Bahkan, dalam pidatonya, Mas Walikota Pekalongan yang galib disapa Mas Aaf, di hadapan para petinggi Kota Pekalongan dalam Rapat Paripurna Peringatan Hari Jadi ke-166 Kota Pekalongan, sempat bertukar kenangan dengan audien. Dengan takzim pula para penggedhe kota yang waktu itu mengenakan baju putih dengan bawahan sarung batik menyimak tuturan beliau.
Kata beliau, selama beliau meniti karir sebagai pejabat, dari mulai Wakil Walikota sampai jadi Walikota, kondisi jalan Kurinci nggak pernah berubah. Masih saja banjir saban hujan turun. Malah, boleh dibilang tambah parah.
Padahal, imbuhnya, jalan ini merupakan salah satu jalan vital bagi para pejabat Pemkot. Salah satu akses menuju ke pusat Pemerintahan Kota Pekalongan. Malah, di kawasan itu ada juga beberapa fasilitas publik lain milik Pemerintah maupun swasta yang sama-sama vital.
Tentu, rasan–rasan macam itu bukan tanpa maksud. Saya kira, rasan–rasan itu bagian dari cara beliau mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan beliau kepada seluruh audien yang hadir. Ya, boleh dibilang sebagai upaya menggugah rasa handarbeni dari para pengelola kota ini. Dengan kata lain, pernyataan beliau sesungguhnya sebuah ungkapan satire yang dikemas dengan bahasa yang tidak langsung.
BACA JUGA: Ketika Mas Dudung Bertutur tentang Proses Kreatifnya
Selain itu, ungkapan satire itu juga disampaikan dengan intonasi yang datar-datar saja. Nyaris tak ada tekanan nada atau suara lengkingan atau semacam hentakan. Walhasil, saat menyimak tuturan beliau rasanya masih adem ayem alias nggak ada drama politik yang perlu.
Mungkin, beliau tidak ingin menyinggung perasaan para penggedhe itu. Sebab, mungkin saja beliau berpikir, kalau sampai pernyataan beliau membuat tersinggung para penggedhe itu malah bikin hubungan di antara beliau dan para penggedhe jadi kurang harmonis. Atau barang kali saja, karena beliau ingin menunjukkan bahwa itulah cara beliau merangkul semua pihak.
Seperti yang sering beliau sampaikan dalam beberapa kesempatan, bahwa untuk mbangun kota ini diperlukan dukungan dari semua pihak. Makanya, hubungan harmonis lintas sektor harus dijaga. Tujuannya, agar kerja sama bisa dilakukan semaksimal mungkin.
Tetapi, lagi-lagi saya menduga. Jangan-jangan gaya yang beliau mainkan saat berpidato juga merupakan sebuah konsep dramaturgi yang sengaja beliau mainkan? Sebab, sebagai penikmat film atau seni pertunjukan, saya kerap menangkap, bahwa permainan konflik dalam sebuah pertunjukan tidak selalu harus ditampilkan secara vulgar.
BACA JUGA: Baru Kali Ini Saya Dibikin Kagum oleh Pidato Seorang Kades
Seperti naskah-naskah drama karya Anton Chekhov, atau karya Iwan Simatupang yang kerap memainkan konflik batin ketimbang konflik yang terang-terangan dengan tokoh lain. Dialog-dialog para pelakon bisa saja mengesankan datar-datar saja. Akan tetapi, ketika seorang penikmat seni pertunjukan atau film itu benar-benar cermat akan bisa menangkap kegamangan, kegeraman, dan kesan-kesan lain yang disembunyikan melalui pemanfaatan ujaran atau bahasa tubuh (gestur).
Di sinilah, letak kecerdasan sebuah permainan. Sebagaimana dalam rumusan falsafah Jawa, “sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”. Bisa jadi begitu. Apalagi, kalau dilihat dari sudut pandang senioritas. Dibandingkan dengan para penggedhe kota ini, Mas Wali tergolong masih sangat muda. Tidak heran jika sikap beliau demikian kepada para senior.
Sikap itu ingin menunjukkan rasa hormat beliau kepada para seniornya sangat tinggi. Lebih-lebih para senior ini boleh dikata sudah sangat berpengalaman dalam menangani masalah yang dihadapi Kota Pekalongan. Para senior, tentu saja sudah sangat hafal apa-apa yang menjadi PR bagi Kota Pekalongan. Para senior juga sangat mafhum karakter warga kota ini. Maka dengan begitu, para senior ini juga semestinya sudah sangat paham bagaimana mengatasi masalah-masalah yang dihadapi Kota Pekalongan.
BACA JUGA: Menyongsong Kepunahan Tukang Canting dan Tukang Sungging
Jadi, mungkin sekali jika sikap yang ditunjukkan Mas Wali ini sebagai cara beliau untuk menghindar dari kesan menggurui atau mendikte para senior. Beliau memilih untuk ngangsu kawruh atau menimba pengalaman dari para senior. Dengan kata lain, beliau memosisikan diri sebagai “pangkon”. Dalam aksara Jawa, “pangkon” merupakan aksara sandangan yang ditujukan untuk membuat huruf konsonan pada tiap aksara, kecuali aksara ha, ra, dan nga.
Menimbang soal itu, saya akhirnya menduga, bahwa Mas Walikota ini ilmunya sangat luar biasa. Beliau sangat mafhum memainkan peran dalam laga politik kebijakan. Beliau sangat memahami falsafah pangkon. Bahkan, telah menjadikannya sebagai laku politiknya. Hanya, mungkin saja beliau perlu memanfaatkan pula aksara sandangan lainnya, seperti wignyan (ꦃ), agar bisa nggugah; layar(ꦂ) supaya gebyar; dan cecek (ꦁ) supaya bisa berlari lebih kencang.
Komentarnya gan