KOTOMONO.CO – Angkat topi untuk Kota Pekalongan! Bulan ini Kota Pekalongan memberikan kabar baik kepada dunia. Bahwa kota yang kini masuk dalam jaringan Kota Kreatif Dunia ini, beberapa waktu lalu diapresiasi oleh Panglima TNI, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.
Saat beliau berkunjung ke Pekalongan (6/6/2021) bersama Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Panglima TNI mengapresiasi keberhasilan Kota Pekalongan dalam menangani kasus Covid-19 tanpa menimbulkan gejolak di masyarakat. Wah! Ini prestasi gemilang! Cetar menggetarkan!
Sebagai warga Pekalongan, saya secara pribadi, bangga dong kota kelahiran saya dipuji sama Panglima TNI. Di tengah kondisi dunia yang dicekam oleh makhluk renik bernama virus Corona itu, Kota Pekalongan rupanya memberikan teladan bagi dunia tentang cara menangani Covid-19 tanpa gejolak. Apa indikatornya? Indikatornya, angka kasus aktif di Kota Pekalongan (pada waktu itu terdapat 81 kasus) yang dapat dikendalikan. Meski pada saat bersamaan tersiar kabar juga penularan klaster dari guru SMA Negeri 4 Pekalongan. Tapi, masih bisa dikendalikan kok.
Boleh jadi, kabar gembira itu juga menjadi secercah harapan yang membahagiakan bagi mayoritas warga Pekalongan. Para bakul jajan bisa sedikit lega dan lebih tenang untuk melangsungkan aktivitas ekonominya. Warga yang hobi jalan-jalan atau melancong bisa rekreasi tanpa harus menahan napas karena was-was. Harapan-harapan yang membuai itu ibarat setetes oli pada poros sebuah roda sepeda agar bisa berputar dan bergerak, melaju ke depan. Sehingga, ekonomi tetap bisa jalan. Harapan itu, bahkan membuat pikiran sebagian orang membayangkan Covid segera hilang.
BACA JUGA: Keganjilan Pemberitaan 48 Santri Positif Covid 19 di Ponpes Syafi’i Akrom
Tapi, seperti kata anak-anak jaman now, ekspektasi tak selamanya sesuai dengan realitas. Berharap langit cerah, eh yang datang malah hujan deras. Terpaksa nunut ngiyup di emper toko. Di depan, sebuah kubangan dilintasi roda mobil yang berjalan nggak pakai kira-kira, mencipratlah air kubangan, basahlah baju dan celana. Apes!
Ya, seminggu selepas kunjungan bersejarah itu, kasus positif Covid-19 di Kota Pekalongan mendemam. Sampai-sampai menduduki peringkat ketiga di Jawa Tengah. Glodak! Saya tiba-tiba bengong.
Walikota, dalam seketika, menyiapkan segala upaya. Mengerahkan tenaga penuh, gaspol! Lantas, memberikan arahan kepada Satgas Operasi Yustisi Penegakan Protokol Kesehatan agar mengetatkan protokol kesehatan.
Saat itu pula, Sang Walikota sebenarnya tidak terlalu mempersoalkan semua bentuk kegiatan. Ia membolehkan semua kegiatan dilakukan, lebih-lebih kegiatan keagamaan. Sebab, Kota Pekalongan dikenal sebagai kota yang religius. Hanya, beliau meminta agar pelaksanaan kegiatan-kegiatan itu, semua pihak—tanpa kecuali—tetap mematuhi dan melaksanakan protokol kesehatan.
BACA JUGA: Sudah Saatnya Pemkot Pekalongan Punya Buzzer
Beliau juga menyampaikan, bahwa kegiatan operasi yustisi yang akan dilaksanakan tersebut tidak disalahpahami. Operasi yustisi ini bukan untuk tujuan melarang kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan masyarakat. Akan tetapi, untuk kembali menegaskan aturan protokol kesehatan. Menegaskan agar semua warga mematuhi protokol kesehatan. Titik.
Maka, dalam beberapa hari—siang dan malam—rombongan Satgas Operasi Yustisi gencar melakukan pemantauan. Semua sisi dan sudut kota disisir. Setiap ruang-ruang publik tidak lepas dari incaran operasi yustisi. Sampai-sampai, di ruang publik seperti Alun-alun, diterapkan aturan pemadaman lampu penerangan untuk mencegah terjadinya kerumunan orang.
Iya sih, langkah ini cukup efektif. Lumayanlah. Gapura Nusantara yang biasanya dijadikan tempat tongkrongan bisa dibikin sepi dengan pemadaman lampu penerangan itu. Tetapi, ketika saya sempat duduk di situ, sambil memandang lurus ke arah timur, saya menyaksikan pemandangan yang kontras. Lampu-lampu di dalam gedung bermerk Plaza Pekalongan itu masih menyala terang benderang. Belum lagi kegiatan Kliwon pagi. Masih saja berjalan. Sementara, makam Sapuro ditutup.
Kekontrasan ini membuat tidak sedikit orang yang bertanya-tanya. Meskipun mungkin saja pertanyaan itu hanya disimpan dalam hati, atau sekadar dimuntahkan di warung angkringan. Mengapa itu boleh dan ini tidak? Mengapa itu tak disoal, dan ini jadi perkara? Terus, siapa yang mesti menjawab?
BACA JUGA: Kanal Wadul Aladin dan Aplikasi Pekalongan Smart City yang Mbuh
Yang jelas, jawaban itu sulit ditemukan. Saya justru menemukan kabar teranyar lagi. Bahwa sekarang ini, tempat tidur bagi pasien Covid-19 di rumah sakit maupun di tempat karantina sudah terisi penuh! Overload! Di RSUD Bendan, 26 bed sudah penuh. Dan, ada 10 daftar tunggu yang masih di IGD belum bisa masuk. Rencananya malah Gedung Diklat yang saat ini digunakan sebagai tempat isolasi mandiri, akan jadikan rumah sakit darurat Covid-19. Ladhalah!
Malahan, hari Senin (21/6/2021), Pak Wali Aaf, berpesan, “Hari ini, ada tiga warga meninggal dunia karena Covid-19 yang dimakamkan. Ini sudah sangat memprihatinkan. Untuk masyarakat, betul-betul saya minta tolong, tolong dan tolong agar benar-benar melaksanakan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari-hari agar kasus Covid-19 tidak melonjak.”
Oke, pesan diterima. Tetapi, kalau mencermati kalimat Pak Wali, rasa-rasanya kok ada sesuatu yang bikin telinga saya agak geli. Saya pikir, ada kok sebagian warga yang sudah taat aturan protokol kesehatan. Tetapi, kenapa pesan itu seolah-olah menganggap bahwa seluruh warga Kota Pekalongan nggak taat protokol kesehatan? Plis deh, Pak.
Selain itu, kesan menakut-nakuti saya kira juga kurang pas untuk disampaikan. Masyarakat memiliki cara pandang sendiri tentang Covid-19 yang saya pikir perlu juga didengarkan. Agar, antara Pemerintah dan masyarakat menemukan titik terang yang jelas dalam menyikapi Covid-19 ini dengan cara yang cerdas.
Sebagian warga memandang Covid-19 sebagai kejadian alam yang wajar, sehingga sikap mereka biasa-biasa saja dan tidak memandang Covid-19 sebagai teror. Malah, ada juga yang memandang Covid-19 sebagai bagian dari upaya introspeksi diri.
Ah, saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jika masyarakat tidak bersikap biasa saja, misal heboh dan panik? Bisa jadi, yang muncul adalah ketakutan di sana-sini, psikis dan mental mereka down, bisa-bisa terjadi panic buying sembako, tarik uang di bank serentak dll apakah tidak menimbulkan chaos di kehidupan masyarakat kita?
Peningkatan kasus Covid-19 di Pekalongan boleh dikata aneh. Masyarakatnya gini–gini aja, tetapi kenapa menjadi heboh di kalangan para pejabat dalam pemberitaan? Apalagi pandemi sudah berjalan 1 tahun. Rasa-rasanya, kalau informasinya itu-itu aja ya lama-lama bisa jadi eneg juga. Padahal, tingkat kesembuhan juga perlu disampaikan infonya, Pak. Minimal, untuk membuat pikiran sebagian warga tidak kalut yang bisa berujung takut yang berlebihan.
BACA JUGA: Banjir Rob, Antara Relokasi VS Pembangunan Tanggul
Tetapi apalah daya dan upaya, masyarakat hanya bisa ditunut manut. Pemberitaan kasus positif terus intens setiap hari. Malahan Pak Aaf mengatakan, dalam penanganan Covid-19 di Kota Pekalongan ini, pihaknya terus berkoordinasi dengan kabupaten tetangga yakni Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang. Harapannya penentuan kebijakan penanganan Covid-19 bisa sinkron.
“Karena percuma kalau kebijakan diterapkan tapi daerah sebelah tidak menerapkan, hasilnya tidak akan maksimal sehingga kita terus koordinasi. Minimal jika kondisi semakin gawat, kita akan melakukan mikro lockdown di Pekalongan Raya ini,” ujar Wali Kota seperti dikutip dari radarpekalongan.co.id.
Kalo beneran lokdon, siap ngragati seluruh wargane nggih Pak Wali?
Berikan komentarmu