Pekalongan – Kebesaran nama seseorang nggak melulu harus ditunjukin ke banyak orang. Apalagi dipamerin. Nggak banget keles. Sebaliknya, orang yang punya nama besar, biasanya suka nyembunyiin kebesaran namanya dengan segala cara. Ada yang beneran ngumpet sampai nggak diketahui keberadaannya. Ada juga yang berlagak menjadi tokoh paling dibenci. Juga ada yang bergaya selow aja alias pura-pura culun.
Tapi, apa sih tujuannya? Ada banyak kemungkinan sih. Bisa aja dia begitu karena nggak mau ditokohkan, nggak mau disanjung-sanjung, atau takut kalau kebesarannya itu malah jadi bumerang. Dengan kata lain, dia sadar risikonya jadi orang besar. Seperti kata pepatah, makin tinggi pohon makin besar pula tiupan anginnya, makin mudah patah pula batangnya.
Sosok yang satu ini, mungkin salah satu dari sekian banyak tokoh asal Pekalongan yang punya nama besar. Tapi, namanya nyaris nggak pernah jadi pembicaraan di masyarakat Pekalongan. Bahkan, media-media di Pekalongan pun jarang memuat namanya. Padahal, dia sudah sangat dikenal dunia sebagai tokoh linguistik (ilmu bahasa) lho. Hmm… kira-kira guru-guru Bahasa Indonesia atau dosen-dosen Bahasa Indonesia di Pekalongan kenal nggak ya?

Soalnya, di Malaysia, dia sangat dikenal. Lewat karyanya yang berjudul Psikolingistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, namanya sering disebut di kelas-kelas kampus. Buku itu terbit tahun 2007. Kini, buku itu jadi bacaan wajib mahasiswa Malaysia. Dijadiin buku kuliah di universitas-universitas di Malaysia.
Selain itu, tahun 2009, ia nerbitin buku English Phonetics and Phonology for Indonesians. Buku ini ditulis karena ia memandang orang Indonesia memiliki kesulitan-kesulitan yang khusus dalam berbahasa Inggris. Dan, gara-gara buku ini, ia mendapatkan penghargaan kelas dunia.
Baca juga : Oey Soe Tjoen, Legenda Batik Tionghoa Dari Pekalongan
Guru Besar Linguistik Universitas Hawaii, Haigh Roop, mengakui kepakarannya di bidang linguistik. Menurutnya, dia adalah tokoh linguistik Indonesia yang sangat produktif. Apalagi ketika tahu, karya terakhirnya ditulis menjelang ia tutup usia. Hanya beberapa bulan sebelum akhirnya tutup usia.
Namanya juga sudah sangat dikenal di berbagai perguruan tinggi luar negeri. Selepas mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas Georgetown (1966), dia mendosen di Universitas Victoria, Selandia Baru (1970). Lantas, ketika di Universitas Hawaii, dia juga terpilih jadi Chair of the Department of Indo–Pacific Languages (Kaprodi Bahasa Indo-Pasifik) selama dua tahun dan mendapat gelar profesor di sana. Selama itu pula, departemen bahasa Indo-Pasifik Universitas Hawaii mengalami kemajuan pesat. Itu diakui oleh seorang rekannya, Steve O’Harrow.
Tokoh yang satu ini, ternyata sangat mencintai tanah airnya, Indonesia. Setelah 12 tahun hidup di negeri orang, merantau sekaligus berbagi ilmu di sana, ia memutuskan pulang ke tanah airnya, Indonesia. Alasannya sederhana, ia mau kedua anaknya jadi orang Indonesia, bukan orang Amerika. Wow! Bener-bener cinta tanah air!

Sayang, ketika balik ke negerinya, sosok sederhana yang namanya terbaca di buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia ini disambut dengan perlakuan yang tak sedap. Gelar profesor yang diterimanya di Hawaii tidak diakui oleh pemerintah.
Baca juga : Kisah KH. Abdul Gaffar Ismail di Pekalongan
Baginya, itu bukan masalah. Yang terpenting ia bisa pulang dan memboyong keluarganya. Terutama anak-anaknya, agar menjadi orang Indonesia beneran. Makanya, alumni STC Yogyakarta tahun 1959 ini terus saja melakoni profesinya sebagai peneliti bahasa. Sampai akhirnya, mendapatkan gelar profesor dari tiga uiversitas. Yaitu Universitas Negeri Jakarta, Universitas Indonesia, dan Universitas Katolik Atma Jaya.
Di Universitas Katolik Atma Jaya dia menjadi dosen dan sempat menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Akademik. Saat njabat jadi Warek bidang Akademik itu, dia merombak sistem perkuliahan di Atma Jaya. Ia menerapkan sistem kredit semester. Sistem ini, mula-mula ia kenal dari pengalamannya ndosen di Selandia Baru dan Amerika.
Rupanya, sistem baru itu mampu mengatrol kualitas akademik mahasiswa Atma Jaya. Walhasil, sistem ini kemudian banyak diadopsi oleh universitas-universitas di Indonesia. Dan dia diminta membantu para pengelola universitas di Indonesia untuk menjadi mentornya.
Nah, keseriusannya mengembangkan keilmuan bahasa juga ditunjukkan lewat keikutsertaannya dalam organisasi MLI (Masyarakat Linguistik Indonesia). Malah, sempat menjabat jadi Presiden MLI tiga periode. Yaitu, 1982-1985, 1999-2003, dan 2007-2009. Lewat forum inilah, dia terus berpesan kepada para pakar linguistik Indonesia. Kata dia, “Berhentilah bicara, mulailah menulis!”
Ia juga memberi contoh sederhana. Bahwa melakukan penelitian itu nggak harus rumit. Bisa dimulai dari lingkungan sekitar. Ia sempat meneliti pemerolehan bahasa pada cucunya, Echa. Dari penelitian itu, ia menemukan gagasan besar bagi pengembangan teori kebahasaan di kalangan anak-anak.
Baca juga : Penemu Teknik Lukis WPAP Putra Daerah Aseli Pekalongan
Bagai cambuk, pesan dan keteladanan itu terus saja berdegung di benak para pakar bahasa Indonesia. Gara-gara pesan itu mereka, para ahli bahasa mulai bergeliat. Mereka sibuk menulis dan menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Dia juga yang akhirnya menjembatani ilmu kebahasaan Indonesia dengan linguistik dunia. Mengenalkan studi bahasa Indonesia ke universitas-universitas luar negeri.
Kini, namanya diabadikan oleh Universitas Katolik Atma Jaya, sebagai seorang profesor yang banyak menyumbangkan gagasan dan pikiran untuk mengembangkan kampus itu. Pria kelahiran Kajen, 24 Juli 1938 itu dikenal sebagai sosok yang menginspirasi di kampus, juga bagi para pakar linguistik dunia.
Pada tanggal, 22 September 2009, tokoh yang mestinya menjadi kebanggaan masyarakat Pekalongan ini tutup usia. Tetapi namanya tetap mengabadi dalam karya-karyanya. Cobalah lihat sampul buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, di sana ada namanya tepat berada di bawah nama Alwi Hasan (mantan Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa atau Pusat Bahasa). Dialah, Soenjono Dardjowidjojo.
(disarikan dari berbagai sumber)
Komentarnya gan