KOTOMONO.CO – Sungai adalah sumber kehidupan. Salah satu unsur penopang kehidupan makhluk hidup disediakan oleh sungai yaitu ketersediaan air bersih yang melimpah. Tak heran jika semenjak kehidupan purba, wilayah yang dekat dengan sungai dipilih sebagai lokasi hunian yang ideal.
Dari tepi sungai ini pula banyak peradaban terbina dan kebudayaan yang berkembang. Mulai dari peradaban sungai Nil, sungai Eufrat, sungai Kuning, Sungai Gangga, tak terkecuali Sungai Sengkarang yang membelah kabupaten Pekalongan.
Ada banyak sekali tinggalan peradaban lintas zaman di daerah aliran sungai Sengkarang ini, sebut saja situs Candi Gamelan di Wonopringgo, situs Lingga Yoni di Lebakbarang, dan situs Lingga Yoni Nogopertolo di Petungkriyoni.
Selain itu ada banyak situs yang diduga objek cagar budaya yang masih tersembunyi di daerah aliran sungai Sengkarang tersebut, salah satunya adalah Punden Makam Sampel di dukuh Sampel desa Lolong.
Punden makam Sampel Desa Lolong ini terbilang cukup unik karena ada semacam struktur bangunan yang terbuat dari batu boulder / batu gundul yang ditata rapi. Struktur batu seluas 5 x 5 meter tersebut ada di tengah pemakaman umum, dan struktur batu tersambung dengan tatanan batu lain di sisi timur.
BACA JUGA: Mbah Warijah, Arsitek Desa Rowoyoso yang Ditipu Kompeni
Memang masyarakat secara tradisional memanfaatkan batu sungai dijadikan semacam retaining wall atau bangunan yang difungsikan menahan tanah dan memberikan stabilitas pada lereng, mengingat dukuh Sampel berada di atas tebing sungai Sengkarang.
Kemungkinan yang kedua adalah bisa jadi Punden tersebut telah ada sejak lama, bahkan pada saat masa pra-Islam. Seorang Belanda yang banyak mencatat peninggalan arkeologi di Jawa bernama Hoepermans di tahun 1866 pernah melaporkan penemuan lontar di desa Lolong.
Keberadaan lontar tersebut kembali dipertegas dalam laporan Oudheidkundige Dienst (Jawatan Arkeologi Hindia-Belanda) tahun 1913. Lontar atau rontal sendiri merupakan daun siwalan / tal yang dikeringkan dan dipakai sebagai media menulis dan menggambar yang umum digunakan pada zaman Hindu-Buddha.
BACA JUGA: Pangeran Lancur dan Kisah Munculnya Desa Tengeng Wetan
Lalu ada catatan seorang pangeran Sunda di abad ke 15 yang memilih untuk menjadi Brahmana pengembara, yaitu Bujangga Manik, dalam perjalanannya dari Pakuan ke Bali, ia banyak menuliskan daerah-daerah yang dilewatinya selama pengembaraan ke arah timur.
Pada larik-larik naskah Bujangga Manik dibaris ke 749 ia menyebutkan wilayah bernama Arega Sela dan Balingbing. Arega Sela oleh J. Noorduyn dan peneliti lainnya diidentifikasi sebagai Ragasela saat ini, sedangkan Balingbing masih menjadi tanda tanya besar, dimana letak Balingbing sesunguhnya?
Punden Sampel terletak tepat di selatan wilayah bernama Blimbing, sedangkan wilayah Blimbing sendiri juga tidak terlampau jauh dari desa Ragasela. Walaupun di wilayah Blimbing ini belum ditemukan indikasi tinggalan peradaban masa Hindu-Buddha, tapi wilayah Blimbing dikelilingi oleh desa-desa yang memiliki tinggalan di masa Hindu-Buddha.
BACA JUGA: Situs Gumuk Sigit Desa Rejosari Bojong Kabupaten Pekalongan
Apakah Blimbing yang sekarang adalah bekas wilayah Balingbing yang disebut oleh Sang Bujangga Manik di abad ke 15? Memang belum ada bukti yang menguatkan hipotesa tersebut.
Tradisi tutur lisan masyarakat sendiri tidak terlalu banyak mengetahui sosok Mbah Sampel tersebut selain sebagai tokoh mula-mula dari dukuh Sampel. Atau kurangnya saya sebagai penulis melakukan wawancara terhadap warga masyarakat Sampel. Namun yang pasti adanya tambahan data tentang Punden Makam Sampel ini, semakin menguatkan jika di masa lampau sungai Sengkarang memiliki nilai dan arti penting semenjak masa Pekalongan kuno.
Tulis Komentar Anda