KOTOMONO.CO – Melatinkan aksara Arab sesuai ejaan bahasa Indonesia itu bukan perkara mudah. Serba repot. Bahasa Arab, secara grafologi maupun fonologi memiliki keunikan tersendiri.
Secara grafologi, aksara Arab memerlukan perubahan pola penulisan saat dituliskan di depan, tengah, atau di belakang. Sedang huruf Latin, perubahan hanya terjadi pada beberapa huruf ketika dituliskan dalam aksara tegak bersambung.
Huruf Arab hanya mengenal aksara konsonan, sedang aksara vokal diwakili dengan penambahan diakritik berupa harakat yang dituliskan pada bagian atas atau bawah huruf konsonan. Itupun hanya mengenal tiga jenis vokal, yaitu a, i, dan u. Sementara vokal e dan o, tidak. Dalam huruf Arab, tidak dikenal aksara c, p, dan x. Juga tidak ada kombinasi aksara konsonan seperti ny dan ng.
Secara fonologi, sistem aksara Arab memiliki beberapa huruf yang jarang dimiliki sistem fonologi bahasa lain. Dalam sistem fonologi bahasa Indonesia, misalnya. Kita tidak memiliki beberapa bunyi huruf ث, ذ, ح, خ, ع, غ, ط, ظ, ص, ض, ش, dan ء. Untuk membedakan pengucapan antara ث dan س, antara ظ dan ض saja dalam lidah bahasa Indonesia agaknya sulit. Karena memang, dalam sistem bahasa Indonesia tidak mengenal bunyi-bunyi itu.
BACA JUGA: Sastra Poshumanistik, Sastra Futuristik
Makanya, untuk memudahkan pengucapan dan penulisan huruf Arab itu sejumlah negara membuat semacam pedoman pengalihaksaraan aksara Arab ke dalam aksara latin sesuai dengan ejaan bahasa masing-masing. Usaha ini dilakukan, khususnya di negara-negara yang tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resminya.
Bahasa Inggris misalnya, mengalihaksarakan huruf ظ menjadi ẓ yang kemudian ditranskripsikan menjadi z, atau huruf ش menjadi sh, atau huruf ذ menjadi dh, sementara huruf ض ditransliterasikan menjadi ḍ atau ḏ tetapi dalam penulisan formalnya menjadi d. Tentu, usaha ini untuk memberi kemudahan bagi orang-orang lidahnya terbiasa dengan bahasa Inggris agar dapat membaca aksara Arab dengan lebih baik. Selain itu, untuk memudahkan pula penulisan dalam aksara latin berbasis bahasa Inggris. Seperti ketika menuliskan kata إِنْ شَاءَ اللَّهُ yang kemudian ditulis dalam ejaan bahasa Inggris menjadi insha Allah.
Begitu pula dengan pelatinan nama bulan yang penuh berkah ini, رَمَضَان. Dalam bahasa Inggris ditransliterasikan menjadi Ramaḍān. Namun, rupanya ada juga variasi transliterasi lainnya Ramazan, Ramzan, Ramadhan atau Ramathan. Pasti Anda bertanya mana penulisan yang benar?
BACA JUGA: Menulis itu Lebih Banyak Dipengaruhi Faktor Non-Teknis
Beberapa kamus resmi bahasa Inggris, seperti Cambridge, Merriam-Webster, Collins Dictionary, dan juga Oxford, lema kata ini ditulis menjadi Ramadan. Menurut kamus mereka, Ramadan diterjemahkan sebagai the ninth month in the Islamic year, during which Muslims take no food or drink during the day from the time the sun appears in the morning until it can no longer be seen in the evening. Meski demikian, catatan mengenai kata yang satu ini begitu banyak. Bahkan sumber literasinya juga bejibun. Mulai dari sejarah nama bulan ini sendiri sampai pada bentuk ibadah yang dijalankan umat Muslim di seluruh dunia pada bulan ini.
Sekarang, bagaimana dengan bahasa Indonesia? Sebenarnya sudah ada pedoman penulisan kata serapan bahasa asing dalam bahasa Indonesia. Yaitu, SKB antara Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 Tahun 1987. Sebelumnya, pembahasan mengenai alih aksara itu sudah dilakukan pada tahun 1985-1986. Waktu itu, sejumlah ahli seperti H. Sawabi Ihsan, M.A., Ali Audah, Prof. Gazali Dunai, Prof. Dr. H.B. Jassin, dan Drs. Sudarno, M.Ed. menjadi tim inti dari Seminar Nasional Pembakuan Transliterasi Arab-Latin.
Mereka bertugas meneliti transliterasi yang berlaku di masyarakat. Ternyata, banyak ragam transliterasi yang digunakan masyarakat. Memang, upaya penyeragaman transliterasi itu sudah dilakukan berkali-kali oleh lembaga-lembaga yang ada. Namun, pada masa itu belum ditemukan formulasi yang bersifat menyeluruh digunakan oleh masyarakat secara umum.
BACA JUGA: Pertanyaan yang Sulit Saya Jawab adalah Apa Manfaat Menulis?
Lantas, riset mereka pun dilanjutkan dengan mendekati bahasa Arab dan merumuskan prinsip pembakuan transliterasi. Ada tiga prinsip dalam upaya pembakuan tersebut, di antaranya: sejalan dengan Ejaan Yang Di Sempurnakan, huruf Arab yang belum ada padanannya dalam huruf Latin dicarikan padanan dengan cara memberi tambahan tanda diakritik, dengan dasar “satu fonem satu lambang”, dan pedoman Transliterasi ini diperuntukkan bagi masyarakat umum.
Singkat cerita, perumusan itu pun membuahkan hasil. Selanjutnya, dikukuhkanlah pedoman transliterasi itu melalui SKB dua kementerian, yaitu Menteri Agama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Dari pedoman itu, muncul transliterasi huruf ض menjadi ḍ. Namun, karena sistem aksara bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk-bentuk huruf yang sejenis, misal ḍ, ḏ, ḋ, å, ë, è, é, ê, ç, ŋ, dan sebagainya, maka dibakukanlah lambang d untuk huruf ض. Tentu, alasannya sederhana, agar perlambangan itu dapat diterima oleh masyarakat umum.
Maka, dalam mentransliterasikan kata رَمَضَان digunakanlah ramaḍān. Namun, dalam pembakuan penulisannya—sebagaimana dalam ejaan bahasa Indonesia—menjadi ramadan. Kendati begitu, fakta yang kerap muncul di masyarakat, penulisan ramadan tampaknya jarang digunakan. Bahkan, mungkin kurang populer.
Acap kali yang kita lihat dan kita baca, penulisan kata رَمَضَان justru ditulis dengan ramadhan, ramadlan, bahkan ada juga yang menuliskannya menjadi romadhon. Karena memang, dalam transliterasi aksara ض juga memiliki variasi penulisan. Yaitu ḍ atau d (berdasarkan SKB Nomor 158 Tahun 1987), dl, dan dh. Kedua bentuk penulisan terakhir biasanya dikaribkan dengan varian kelompok Islam (tradisionalis dan modernis).
Lantas, mana yang tepat? Saya tidak dalam rangka menjawab pertanyaan itu. Hemat saya, ada baiknya setiap upaya itu dihargai dan dihormati. Sebab, dengan keragaman itu, saya mendapatkan pemahaman yang menarik tentang dunia. Bahwa, keragaman itu menunjukkan betapa kayanya dunia dengan segala cara pengucapan. Orang Jawa dulu mengucapkan kata ramadan pun dengan kata ramelan. Begitu pula orang Bangladesh, mengucapkannya dengan kata romzan. Tetapi, saya yakin, maknanya masih utuh. Masih sama.
Namun, sebagai orang Indonesia, yang memiliki sistem bahasa dan telah dibakukan, saya kira tidak ada salahnya untuk berusaha menyetiai apa yang sudah dirumuskan. Ya, sampai detik ini, saya masih berusaha menyetiai penulisan ramadan sesuai yang dikamuskan. Lain perkara, jika dikemudian hari terjadi lagi upaya untuk membuat kesepakatan baru dari para ahli. Mungkin perlu dibahas dalam Kongres Bahasa Indonesia atau Kongres Kebudayaan atau helat-helat lain yang sejenis. Sehingga, terumuskan pula pembakuan gaya baru. Tentu, kalau sudah ada pembakuan yang baru, saya akan berusaha mengikutinya. Meski begitu, saya tetap menghormati keragaman cara penulisan itu.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya