KOTOMONO.CO – Keluhan warga terkait pelayanan publik di instansi pemerintah yang dilayangkan lewat media sosial sepertinya tak mengenal jeda. Hampir-hampir tiap hari selalu saja ada warga yang mengeluh. Soal lampu PJU yang padamlah, ngurus izin ini-itulah, dan sebagainya, dan sebagainya.
Di daerah saya, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), fenomena itu sudah seperti jadi santapan sehari-hari. Banyak warga yang mengeluhkan layanan publik. Salah satu instansi yang paling disorot warga ialah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
Sebagai sarjana yang baru pulang kampung, tentu saya belum dapat merasakan langsung bagaimana ribetnya pelayanan publik di instansi Dukcapil dan instansi lain di Matim. Bahkan, membayangkannya pun belum sampai.
Tetapi, sejak hari Kamis (25/11/2021), saya baru merasakannya. Saat itu, saya bersama seorang kawan yang juga sarjana datang ke kantor Dukcapil. Kami bermaksud mengurus Akta Kelahiran (AK) keponakan saya. Tentu, urusan ini sepaket dengan Kartu Keluarga (KK) juga.
Ini kali kesekian kami mengurus hal yang sama, di kantor yang sama pula. Terhitung sejak keponakan saya terdaftar di SMP. Namun, rupanya kami selalu mendapatkan jawaban yang sama. Bahwa AK dan KK keponakan saya belum bisa diambil karena ada beberapa data yang bermasalah.
BACA JUGA: Merayakan Kemesraan Pemkot Pekalongan dengan Wartawan Lokal
Makanya, supaya mendapatkan jawaban yang sedikit berbeda dan agar tidak bolak-balik lagi ke kantor yang itu juga, saya bawa saja berkas-berkas persyaratan itu. Soal mana yang berguna dan tidak, tentu petugas Dindukcapil lebih tahu soal itu. Yang penting, apa yang mereka minta, kami serahkan, titik!
Pas di hari itu pula, rupanya banyak orang mengantre di ruang tunggu kantor Dindukcapil. Ada yang sedang mengurus pembuatan E-KTP. Ada juga yang mengurus data pindah penduduk. Juga ada yang sedang ngurus KK.
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, kami berusaha mencari tahu tanggapan warga yang mengantre itu. Beberapa dari mereka saya tanyai satu persatu tentang tanggapan mereka terhadap pelayanan di kantor yang ngurusi data kependudukan itu. Dan, apa jawab mereka?
Seperti sebuah paduan suara, mereka kompak memberikan jawaban yang seirama. Bahwa pelayanan publik di Dukcapil Matim tidak transparan, tidak akuntabel dan berbelit-belit. Malah, ada seorang bapak memberikan jawaban dengan nada bicara yang bikin telinga nggak nyaman. Ekspresinya pun tak sedap dipandang. Kata bapak yang sama-sama ikut mengantre, “Nak, sudah dari tadi pagi saya di sini, tetapi sampai saat ini saya belum dilayani untuk merekam data KTP.”
BACA JUGA: Kok Bisa Informasi Kebijakan Pemkot Pekalongan Nggak Sampai ke Warga?
Merasa tak enak hati dengan ekspresi bapak yang bawaannya marah-marah itu, kami lantas menanyakan permasalahan bapak itu kepada salah seorang petugas berseragam rapi yang duduk di belakang meja. Sayang, tak ada jawaban memuaskan yang kami dapat. Mungkin karena petugas itu sedang sangat sibuk atau karena tak punya jawaban. Saya tidak tahu.
Yang jelas, kami kemudian terus memberondong petugas itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Kami tak ingin jika pertanyaan-pertanyaan itu tak terjawab tuntas. Tetapi, pertanyaan kami itu justru membuat petugas yang kami hormati itu bersikap lain.
Ia menyilakan kami untuk menemui langsung Sekretaris Dinas Dukcapil. Tak hanya itu, kami bahkan diantar menuju ruang kerja Sekdin Dukcapil. Saya tak tahu, apakah ini sebuah penghormatan atau apa. Yang saya rasakan, saya seperti seorang murid bandel yang kemudian diserahkan ke Kepala Sekolah atau guru BP untuk menerima hukuman.
Dag-dig-dug rasanya. Tetapi, saya berupaya tetap bersikap tenang. Begitu pula kawan saya. Wajahnya sempat tegang, tetapi lama-lama tenang juga.
BACA JUGA: Orang Miskin Nggak Usah Sensi Kalau Orang Kaya Dapat Bansos
Sampai di ruang kerja Sekdin, rupanya kami tak sendirian. Ada tujuh orang yang sama-sama dipertemukan dengan yang mulia Sekdin Dukcapil Matim. Legalah hati saya dan kawan saya.
Setelah sedikit obrolan basa-basi yang singkat, Sekdin Dukcapil yang mulia itu memberi kami kesempatan untuk menyampaikan masalah yang kami temukan. Dan saya sampaikan saja keluhan-keluhan dan fakta di lapangan yang berkaitan dengan pelayanan publik di Dukcapil. Saya katakan, pelayanan yang diberikan jauh dari harapan masyarakat Matim.
Sebagai warga awam, sudah pasti menghendaki pelayanan yang tidak ribet dan membuang banyak waktu. Apalagi urusan warga tidak hanya untuk ngurusi masalah pendataan kependudukan. Mereka harus bekerja, memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Untuk mendapatkan izin dari tempat kerja pun tidak mudah. Bisa-bisa gaji/upah mereka terancam dipangkas.
Begitu pula warga yang bekerja sebagai pedagang atau wiraswasta. Sehari mereka tutup, maka ada pendapatan yang tersendat. Bahkan, mungkin saja pelanggannya lari ke tempat lain.
Kasus bapak tadi, bagi saya, bisa dibilang sangat miris. Masa, sudah tiga kali merekam data E-KTP, tapi sampai pada saat itu belum ada kepastian kapan E-KTP itu bisa diterima dan disimpan dalam dompet. Padahal, ia harus melakukan perjalanan ke luar kota. Mungkin untuk urusan bisnis atau pekerjaan.
Atas kasus itu, saya kemudian memberi masukan agar pelayanan di Dindukcapil Matim bisa dilakukan dengan lebih baik. Tidak membuat ribet warga, juga tidak mengganggu pekerjaan warga. Kasihan warga, mereka sudah meluangkan waktu dan membunuh harapannya untuk sehari atau beberapa hari. Tetapi, masih saja menemui kerumitan yang mestinya bukan tanggung jawab mereka.
BACA JUGA: Pemkab Pekalongan Wajibkan PNS Pakai Jins: Ide Brilian yang Mengundang Bahaya
Lalu, bagaimana respons Sekdin Dukcapil? Bisa dikatakan responsnya baik. Minimal, kami bertujuh mendapatkan jawaban. Penyampaian jawabannya pun mengesankan. Santun dan membuat kami agak lega. Tetapi, soal apakah jawaban itu memuaskan atau tidak, mungkin itu sangat relatif.
Yang jelas dan pasti, setelah diskusi itu selesai, kami berdua lekas-lekas mengambil AK dan KK yang sudah dari tadi selesai dicetak. Dalam perjalanan pulang, terbesit dalam benak saya, tata kelola dan manajemen pelayanan publik di Matim terutama di kantor Dukcapil sepertinya masih perlu banyak pembenahan. Mestinya, lebih bisa memberikan keringanan bagi masyarakat serta dapat meningkatkan trust dari masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Perlu reformasi birokrasi
Semua orang pasti tidak ingin mendapatkan pelayanan yang buruk, menyebalkan, dan menjengkelkan. Sekali saja mendapatkan pelayanan semacam itu, otomatis kepercayaan publik pun turun. Dengan begitu, cita-cita reformasi birokrasi pun terasa seperti jauh panggang dari api.
Seperti kita tahu, reformasi birokrasi pada dasarnya cita-cita luhur yang menghendaki agar pelayanan publik di instansi pemerintah dapat benar-benar dirasakan manfaatnya dan memudahkan masyarakat. Tetapi, jika itu belum tuntas, patut diduga hal itu akan melanggengkan sikap koruptif orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu di dalam menjalankan fungsi dan peran birokrasi. Ya, semoga saja tidak sampai sikap koruptif itu menjelma menjadi sifat koruptif.
BACA JUGA: Bu Risma yang Kecewa Bantuan di Pekalongan Tak Sesuai Adalah Sosok yang Kita Nanti-nantikan
Keluhan warga terhadap pelayanan publik di instansi pemerintah yang rupanya banyak saya temukan saat searching di Google cukup mengejutkan saya. Malah, ada pula yang menyebutkan, agar mendapatkan tiket VIP dalam pelayanan publik, seseorang mesti menyiapkan isi dompet mereka lebih tebal. Setidaknya, untuk persiapan pemulusan jalur administrasi yang mereka lalui.
Padahal, praktik pemulusan jalur administrasi dengan lembar-lembar bergambar pahlawan-pahlawan nasional itu tak hanya melanggar Undang-Undang, melainkan pula menciderai Undang-Undang, melukai rasa keadilan, serta menista nama baik pahlawan-pahlawan nasional itu. Bahkan, boleh jadi menista simbol negara, karena pada lembar-lembar rupiah itu juga terdapat gambar lambang negara, burung Garuda.
Jika demikian, reformasi birokrasi yang tidak tuntas bukan saja menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, atau merusak citra birokrasi negara. Akan tetapi, membuat rawan terjadi bencana kemanusiaan serta erosi etika yang diakibatkan oleh moralitas yang karatan.
Di dalam moralitas birokrat yang berkarat itu pula tidak menutup kemungkinan bagi terjadinya penggusuran kepentingan warga dalam manajemen kebijakan publik. Karpet merah dibentangkan bagi kepentingan segelintir orang, sementara warga terbiarkan dalam ketakberdayaan.
BACA JUGA: Wawancara dengan Sosok Kartu e-KTP: Ngobrolin Soal Fotokopi, Korupsi, dan Isu Big Data
Saya kira, sudah saatnya pelayanan publik lebih benar-benar memprioritaskan kepentingan masyarakat. Dan saya sangat berharap, agar pengalaman saya ini jangan terus berlanjut. Karena jika itu dibiarkan berlanjut, semakin akan membuat cita-cita reformasi birokrasi sulit diwujudkan. Bahkan, mungkin saja nasibnya seperti uap air yang menyembul dari air yang mendidih. Lenyap tak berbekas.
Negara ini dibangun dengan cita-cita luhur. Berketuhanan, berkemanusiaan, berkeadaban, bersatu, berkerakyatan, dipimpin oleh khikmah, berkebijaksanaan, dan berkeadilan. Apakah akan kita runtuhkan pula cita-cita itu? Mari kita refleksikan pertanyaan ini sembari mulai menebarkan gagasan bagi perbaikan pada birokrasi negara kita tercinta, Indonesia.
Berikan komentarmu