KOTOMONO.CO – Dari Resensi Buku Loneliness is My Best Friend, kita jadi tahu arti dari kesepian.
Semakin bertambah usia, manusia semakin merasa kesepian. Dulu, saat sibuk belajar di bangku sekolah, kita tidak terlalu menyadari apalagi mempermasalahkan hal tersebut karena memiliki banyak teman sepanjang hari. Bermain dari pagi hingga malam membuat masa kanak-kanak kian berwarna tanpa goresan abu kesepian.
Namun ketika selesai pendidikan, lulus kuliah, mulai bekerja, frasa kesepian acapkali mengendap dalam hati. Frekuensi berkumpul dengan kawan mulai berkurang. Lebih banyak waktu yang kita lewatkan tanpa kehadiran teman. Masing-masing dari kita sibuk dengan komunitas, bekerja, atau mengurus keluarga kecil yang masih berumur jagung.
Pun, ketika memasuki usia senja, orang tua kian merasa sendirian ditinggalkan anaknya untuk mengejar mimpi. Mengurus anak sedari orok, tidak berarti orang tua siap berpisah dengan anak.
Melalui buku Loneliness is My Best Friend, kita menyadari bahwa kesepian ialah hal yang lumrah. Bukan cuma kamu saja, tapi aku, dia, mereka, juga merasakannya. Setiap orang merasa kesepian, kamu bukan korban, dan itu adalah perasaan yang normal.
Hal yang sering men-trigger kita merasa kesepian yaitu merasa tidak memiliki teman. Kamu merasa sendirian, tidak ada seseorang yang peduli denganmu, tidak mengajakmu hang out, merasa dikucilkan karena kamu kurang asik, dan kamu merasa membutuhkan mereka untuk sekedar menjadi teman cerita.
BACA JUGA: 3 Rekomendasi Film Horor Terbaik untuk Menemani Halloween Kamu
Ini terjadi karena kita memasang stempel untuk setiap orang. Ada stempel “sahabat”, stempel “teman dekat”, stempel “teman biasa”, dan stempel “cuma kenal”. Stempel tersebut juga diikuti dengan perilaku ideal yang kita rasa memang harus begitu adanya.
“Kita terlalu melabeli teman-teman kita, mendefinisikan label-label itu sesuka kita, berkespketasi dengan definisi yang kita buat sendiri.” (Hal. 39)
Keyakinan yang demikian tentunya tidak bisa dipertahankan. Kita perlu melepas stempel untuk menetralisasi ekspektasi-ekspektasi yang sebenarnya menyakiti diri sendiri. Anggap saja semua teman sama rata.
Memang, tidak bisa dipungkiri lagi jika hati kita memiliki kecenderungan. Kecondongan untuk lebih dekat dengan A atau B, tapi kembali lagi pada poin semula. Kedekatan tersebut tidak lantas membuat stempel tadi aktif kembali. Perlakukan semua teman dengan sama rata. Berbuat baik kepada mereka karena memang kita perlu bersikap baik. Bukan untuk mendapatkan timbal balik.
BACA JUGA: Rekomendasi Novel yang Bisa Bikin Kamu Sesenggukan Banjir Air Mata
Kadang kita berpikir kesepian ini terjadi karena kehilangan teman. Dia yang semula selalu duduk semeja denganmu, sering bertukar kabar, lambat laun berjarak. Kita mengira dia sibuk dengan teman barunya.
Ya. Hidup selalu bergerak. Kita belajar dari A sampai Z. Berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain. Hal ini memungkinkan perubahan tersebut. Berada di lingkungan baru, bersama teman baru, dan punya episode baru.
Bisa jadi episode kedekatanmu dengannya sudah berakhir. Ada chapter baru yang perlu dilakoni. Kini saatnya dia berganti lawan main, dan kamu juga. Setiap orang punya perannya masing-masing.
Tapi bagaimana jika kita sedih dan membutuhkan sosok untuk berbagi?
Kita tetap bisa melakukannya dengan orang dekat. Tapi sekali lagi, tidak perlu berlebihan. Ada batasan-batasan yang perlu dijaga sehingga pertemanan itu sehat. Dia bukan lagi teman yang menampung segala sedihmu. Kamu yang bertanggung jawab atas dirimu. Alih-alih teman bersedih, menjadi teman bahagia justru saling menguatkan.
BACA JUGA: Blonde, Biopik Marilyn Monroe yang Dinilai Mengeksploitasi Trauma sang Aktris
Pun dengan pasangan dan keluarga. Kesepian juga kesedihan yang kita alami tidak bisa dijatuhkan sepenuhnya kepada mereka. Kita perlu melihat semua orang sebagai manusia, karena mereka pun sama-sama merasakan kesepian.
“Penyebab kamu kesepian bukan karena kamu nggak punya teman cerita, tapi karena kamu nggak tahu bagaimana caranya berdamai dengan kesendirian saat nggak ada teman cerita.” (Hal. 76)
Selain menjabarkan alasan-alasan kita merasa kesepian, buku ini juga membeberkan tips untuk berdamai dengannya, yaitu berteman dengan diri sendiri. Episode kesendirian yang muncul perlu kita artikan ulang sebagai momen untuk mengejar mimpi.
Langkah pertama yaitu menyadari episode ini. Bahwa kita kesepian, that is normal. Selanjutnya, perlu aksi nyata untuk menyempurnakan episode mengejar mimpi ini. Mempelajari skill yang menunjang mimpi kita. Juga mencoba sesuatu yang baru yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Terakhir, mensyukuri setiap momen.
Menurut saya, buku self improvement ini sangat direkomendasikan untuk kalangan remaja pertengahan-akhir. Gaya bahasa yang santai membuat pembaca merasa nyaman dan lebih bisa memahaminya.
komentarnya gan