KOTOMONO.CO – Anindita S. Thayf, penulis novel Tanah Tabu, menceritakan ketangguhan perempuan dengan sangat apik dalam buku ini. Gabungan antara gaya bahasa, sudut pandang, dialog, dan alur cerita yang disajikan mampu membuat pembaca terseret ke dalam kisahnya.
Tidak hanya membuktikan kepiawaiannya dalam meracik kata, penulis juga mengangkat masalah sosial yang menarik pada ceritanya. Terbukti novel ini menjadi pemenang I Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008.
Menggunakan sudut pandang orang pertama yang unik, yaitu Pum (seekor anjing), Kwee (seekor babi), dan gadis kecil bernama Leksi, novel ini menjadi bacaan yang ringan. Terlebih ada beberapa percakapan yang menggunakan bahasa daerah membuat pembaca semakin bisa merasakan aura bumi Papua.
Leksi adalah gadis kecil yang baru memasuki sekolah dasar. Ia tinggal bersama dengan Mabel atau Mama Anabel (nenek Leksi), Mace atau Lisbeth (ibu Leksi, menantu Mabel), Pum, dan Kwee. Pum, anjing setia yang menemani Mabel sejak kecil. Sementara Kwee, dia adalah anak dari seekor babi yang dipelihara Mace sebelum Leksi lahir.
Mabel dan Mace sangat menyayangi Leksi. Sekalipun hidup pas-pasan, Leksi tetap harus sekolah. Mereka ingin Leksi menjadi seorang terpelajar dan bernasib baik. Leksi pun tumbuh menjadi gadis kecil yang kritis dan cerdas. Sejak kecil Leksi tidak mengenal ayahnya. Yang ia tahu, ayahnya meninggal akan tetapi baik Mace atau Mabel akan selalu menghindar jika Leksi bertanya tentang ayahnya.
BACA JUGA: Janji Bukan Sekedar Janji dari Novel Terbaru Tere Liye
Perempuan tangguh pertama dalam cerita ini ialah Mabel. Mabel kecil pernah tinggal bersama keluarga Belanda. Selama bersama mereka, Mabel belajar bahasa Belanda, membaca, dan menulis. Dia juga mengikuti keluarga itu berpindah-pindah. Sejak itu, kepekaan Mabel mulai terasah. Mabel sudah bisa melihat perbedaan antara kulit hitam dan kulit putih.
Saat pasangan Belanda memutuskan pulang ke negaranya, Mabel dipaksa menikah oleh ibunya. Ia diperkenalkan dengan seorang lelaki yang mau mengeluarkan mahar dengan jumlah besar. Awalnya Mabel risih karena ia merasa diperlakukan laiknya barang. Namun setelah menikah, Mabel menemukan kebahagiaan.
Hanya sampai lima bulan saja, hal besar terjadi. Mabel diculik oleh suku lain. Perang antar suku tak terelakkan. Pertumpahan darah pecah demi harga diri. Ayah dan kakak lelakinya turut meregang nyawa.
Suami Mabel yang garang di medan perang seolah membelanya mati-matian, setelah perang selesai justru menyerahkan Mabel ke ibunya. Dalihnya, saat penculikan pasti terjadi sesuatu dengan Mabel. Mabel sudah tak pantas untuk seorang pahlawan seperti dirinya. Ia juga meminta kembali mahar yang sudah diberikan saat pernikahan.
BACA JUGA: Tentang Sosok Kinan, Si Wanita Tangguh dari Novel Laut Bercerita
Mabel kemudian menikah lagi dengan Pace Mauwe. Pemuda gagah dari suku lain. Ia bertanggung jawab, penyayang, bisa mambaca dan berhitung. Sesuatu yang masih langka saat itu. Mereka hidup dengan damai dan mempunyai seorang anak lelaki, Johanis.
Suatu saat perusahaan emas menggusur kampung Pace Mauwe. Ia tak punya lahan yang bisa digarap. Hutan sudah tidak menghasilkan sagu. Limbah perusahaan juga mencemari sungai hingga menyebabkan ikan mati. Tidak seperti orang lain yang kegirangan melihat ikan mati, Mabel justru menolak memakannya karena ia tahu ikan itu sakit. Mabel membenci pendatang yang merusak lingkungannya.
Pace Mauwe kemudian bekerja di perusahaan emas sebagai tukang sapu. Gaji kali pertamanya bisa untuk makan enak. Namun kemudian, Pace Mauwe berubah. Gaji yang besar itu digunakan untuk mabuk dan bermain perempuan. Pace Mauwe mudah marah dan memukul. Akhirnya Mabel memilih pergi membawa Johanis kecil.
BACA JUGA: Menambah Wawasan Tentang Islam Dengan Buku Journey To The Light
Kisah kepedihan Mabel tidak berhenti di sana. Sewaktu tinggal berdua dengan Johanis kecil, Mabel pernah dituduh sebagai bagian dari kelompok pemberontak hingga ia disiksa berminggu-minggu. Kejadian itu tidak lantas merubah Mabel. Ia tetap menjadi perempuan yang tegas menyuarakan keresahannya sebagai masyarakat.
Mabel selalu mendukung orang lain untuk keluar dari kesengsaraan. Termasuk ketika Mace, anak menantunya yang datang membawa Leksi kecil saat memutuskan pergi dari Johanis, anak Mabel sendiri.
Kejadian yang menyengsarakan itu terjadi pada Mace. Saat hendak pulang dari hutan membawa hasil panennya, Mace diperkosa bergiliran oleh tiga laki-laki bersepatu dan bersenjata.
Johanis yang bekerja di kota kemudian pulang dan memarahi Mace, bukan pemerkosanya. Mace dilabeli dengan segala kata buruk. Johanis mengucap cerai tapi masih pulang ke rumah dan berbuat sesukanya. Dia menjad pemabuk, bermain perempuan, bersikap kasar, dan tidak mengakui Leksi sebagai anaknya.
BACA JUGA: Buku-Buku Keren yang Viral Berkat Idol Kpop
Tidak hanya Mabel dan Mace, Mama Helda juga menjadi korban kepongahan laki-laki. Tetangga Mabel itu memilih bertahan saat Mabel menyarankan dirinya untuk menjauh dari suaminya, Pace Poro Boku.
Mama Helda punya empat anak yang semuanya masih kecil, sementara ia masih mengandung. Yosi, anak pertama yang juga teman Leksi, tidak sekolah. Ia harus membantu ibunya mengurus pekerjaan rumah dan menjaga adik-adiknya. Pace Poro Boku sangat temperamen. Dia kerap memukul Mama Helda. Pace Yosi juga menghabiskan uang untuk minum dan main perempuan.
Suatu malam Pace Poro Boku mabuk, dia pulang hendak minta uang tambahan ke Mama Helda. Hal ini biasa terjadi. Tapi saat itu Mama Helda uangnya benar-benar habis akhirnya dipukuli hingga perutnya yang hamil besar ditendang. Mama Helda tidak tahan lagi. Ia langsung membawa anak-anaknya keluar rumah mencari perlindungan. Pendarahan di tengah jalan dan keguguran.
“Begitulah laki-laki, Helda. Kekuatan dan Kegagahan selalu membuat mereka merasa sebagai penguasa. Lupa sebagai manusia. Tak ingat bahwa sebagian darah yang ditumpahkan demi kelahirannya, dan keringat yang mengucur saat mengurusnya, adalah milik perempuan“. (hal. 194)
Selain laki-laki buruk, Mabel juga membenci orang-orang manipulatif. Termasuk orang partai yang selalu berjanji manis dan mengingkarinya. Mabel vokal agar orang-orang tidak termakan janji palsu. Namun karena keberaniannya itu, Mabel dijebak dan dituduh sebagai pemberontak untuk kedua kali.
BACA JUGA: Rekomendasi Novel yang Bisa Bikin Kamu Sesenggukan Banjir Air Mata
Sebagai pembaca, alur maju mundur yang berulang dan sudut pandang yang berubah-ubah (Pum, Leksi, Kwee) sempat membikin bingung. Kisah masa lalu yang diungkapkan sepotong-potong juga membuat pembaca tidak sabar dibuatnya.
Cerita Mabel dalam novel ini lebih menonjol dibanding tokoh lain, berbanding terbalik dengan covernya yang menampilkan gadis kecil Papua (yang menurut saya representasi tokoh Leksi).
Secara keseluruhan, novel ini sangat pantas memenangkan penghargaan. Urgensi konflik yang dikemas dengan sederhana menjadikannya semakin menarik. Tanah Tabu layak dikonsumsi publik, mengasah kepekaan kita dan menjadikannya sebagai bahan renungan.
Berikan komentarmu