Kotomono.co – Kisah hidup Susi diangkat ke layar lebar pada 2019 lalu dengan judul film Susi Susanti: Love All (2019)
Siapa tak kenal Susi Susanti? Mantan atlet bulu tangkis Indonesia ini dikenal luas sebagai peraih medali emas pada gelaran Olimpiade Barcelona 1992. Pasca gantung raket pada 1998, Susi merintis bisnis perlengkapan olahraga bermerek Astec bersama suaminya yang juga peraih medali emas Olimpiade Barcelona, Alan Budikusuma, dan pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Pembinaan Prestasi (Kabidbinpres) PP PBSI pada tahun 2016-2020.
Aktris Laura Basuki didapuk memerankan Susi, sementara Alan diperankan oleh Dion Wiyoko. Berdurasi 96 menit, film itu disutradarai oleh Sim F dan diproduseri oleh Daniel Mananta. Plot cerita dalam film ini secara umum berkisah tentang masa kecil hingga masa kejayaan beliau sebagai atlet.
Sinopsis Film Susi Susanti: Love All
Kisah dimulai dari masa kecil Susi di kampung halaman beliau, Tasikmalaya. Bakat bermain bulu tangkisnya mulai tampak ketika lomba 17 Agustus di lapangan kampung, di mana dia lebih memilih bertanding bulu tangkis daripada ikut lomba menari. Setelah itu, datang tawaran untuk berlatih di PB Jaya Raya.
Tak mudah menjalani hari sebagai atlet klub. Harus tinggal di asrama, bangun subuh hari, latihan terjadwal, di samping juga tetap bersekolah. Pernah merajuk sebab bosan dengan keseharian di sana, semangat Susi perlahan kembali setelah ayahnya, Risad Haditono (Iszur Muchtar), memotivasinya untuk selalu berusaha menjadi yang nomor wahid.
BACA JUGA: Review Film Horor “Sewu Dino” Karya Kimo Stamboel
Selain berjanji pada sang ayah untuk suatu saat nanti meraih medali emas, Susi juga diberi wejangan oleh kepala pelatihnya yang juga legenda bulu tangkis Indonesia, Rudy Hartono, agar bakatnya itu diimbangi dengan disiplin dan mental yang kuat. Pertemuan langka yang diidam-idamkan semua atlet Jaya Raya saat itu membuat Susi makin bersemangat latihan setiap harinya.
Susi yang beranjak dewasa berhasil masuk Pelatnas Cipayung pada 1986, setelah setahun sebelumnya meraih juara di kompetisi beregu Asian Championship bersama rekan seklubnya, Ardy B. Wiranata (Nathaniel Sulistyo). Susi cepat akrab dengan atlet-atlet lainnya, terutama Sarwendah Kusumawardhani (Kelly Tandiono) dan Hermawan Susanto (Rafael Tan). Mereka berlatih setiap harinya di bawah asuhan Liang Chiu Sia (Jenny Zhang) dan Tong Sin Fu (Chew Kin Wah).
Alan saat itu tak begitu tertarik dengan sosok Susi, sebab sikap dan penampilannya memang terbilang cuek pada lawan jenis. Bahkan ketika Susi diledek Sarwendah dan kawan-kawan yang lain gegara diam-diam memperhatikan Alan, tetap saja Alan bersikap dingin.
Susi yang menaruh perasaan pada Alan sempat kecewa karenanya. Chiu Shia, yang mengetahui betul perasaan Susi, mengatakan bila dirinya sebaiknya fokus latihan dulu. Apalagi, Sudirman Cup 1989 sudah dekat dan dia diplot bermain di partai tunggal putri.
BACA JUGA: Review Film Noktah Merah Perkawinan: Happiness is Number 1
Bagaikan iklan kecap, rasa memang tak pernah bohong. Lamban laun, Alan mulai memperhatikan Susi. Susi yang diterpa homesick pasca Sudirman Cup 1989 karena kangen sup cia po buatan ibunya diajaknya makan sup cia po berdua di warung langganan Alan dan jalan-jalan ke Blok M. Sejak itulah, mereka merajut kasih.
Hubungan mereka bukan tak ada aral melintang. Selain beberapa kalangan mulai menyoal asmara mereka karena peringkat mereka di pentas dunia terus menurun, orangtua Susi juga menginginkannya fokus di Olimpiade Barcelona dan pada saatnya nanti mendapatkan suami yang juga peraih emas Olimpiade.
Susi memutuskan untuk menjaga jarak sementara waktu dengan Alan hingga tiba saatnya bertanding di Olimpiade Barcelona 1992. Sempat disergap waswas, mengingat Olimpiade adalah pertandingan tingkat tinggi sedunia. Apalagi, beberapa hari sebelum berangkat ke Barcelona, Susi mendapat pesan dari Presiden Soeharto via telepon agar membawa pulang medali emas saat di Barcelona.
Susi akhirnya berhasil meraih medali emas di partai final tunggal putri melawan pemain Korea Selatan, Bang Soo Hyun. Disusul kemudian Alan yang berhasil mengalahkan Ardy di partai final tunggal putra.
BACA JUGA: Tentang Film Pathaan, Sebuah Ulasan Mengenai Film Aksi Terbaru dari India
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Medali emas sudah di tangan, restu kedua orangtua masing-masing pun menghampiri, plus mendapat julukan ‘Pengantin Olimpiade’ dari publik. Mereka akhirnya melangkah ke jenjang pernikahan pada tahun 1997.
Tak mudah mempersiapkan pernikahan mereka saat itu, karena Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) Susi dan Alan tak kunjung keluar, padahal menjadi syarat mendaftarkan pernikahan. Hal itu sangat mengganggu pikiran Susi, sehingga berdampak pada menurunnya performanya di Olimpiade Atlanta tahun 1996, di mana dia hanya berhasil meraih medali perunggu.
Film ditutup dengan adegan Susi meletakkan foto USG janinnya yang disertai narasi dirinya telah gantung raket pada tahun 1998. Kehamilannya itu diketahui setelah pulang dari pertandingan Piala Thomas dan Uber di Hongkong, sehingga tak sempat mengejar target medali emas Asian Games.
Perlu diketahui, kontingen Indonesia yang bertanding di Piala Thomas dan Uber 1998 diliputi rasa cemas dengan keselamatan keluarga masing-masing, mengingat kerusuhan Mei 1998 terjadi dua hari sebelum hari-H pertandingan. Belum lagi intimidasi dari massa Hongkong ketika rombongan Indonesia baru saja tiba di penginapan, membuat mental Susi sempat down.
BACA JUGA: Review Film Unlocked (2023): Bikin Parno!
Agak aneh juga, sekaligus memprihatinkan, bila Susi dan kawan-kawannya saat itu di-bully publik Hongkong, padahal sama-sama beretnis Tionghoa. Sementara, keluarga masing-masing di dalam negeri diincar oknum-oknum mengaku pribumi yang membakar semua rumah dan toko milik etnis Tionghoa.
Tak mudah memang membangun mental juara dan menjalani pertandingan di saat situasi negara sedang kacau luar biasa. Hasilnya, tim Indonesia saat itu hanya berhasil membawa pulang Piala Thomas. Susi dan kawan-kawan gagal meraih Piala Uber setelah kalah di partai final melawan Tiongkok.
Lika-liku seorang Susi Susanti selama menjadi atlet telah membuktikan, perjuangan yang dilandasi cinta takkan pernah berakhir sia-sia. Meski cinta pada bangsanya kerap bertepuk sebelah tangan karena sikap rasis bangsanya sendiri terhadap etnis Tionghoa, Susi selalu punya alasan untuk terus mempersembahkan prestasi terbaiknya pada ibu pertiwi, bahkan ketika telah pensiun.
Kesimpulan
Film ini hadir di tengah-tengah sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa yang kembali menguat karena polarisasi politik belakangan ini. Si pembuat film ini tampak sekali ingin menyampaikan pesan pada khalayak, bahwa ketidaksukaan pada sebuah golongan karena satu atau beberapa hal tidak sepatutnya menjadi pemicu kebencian terhadap golongan tersebut. Boleh jadi golongan yang dibencinya itu jauh lebih mencintai Indonesia ketimbang mereka yang membenci.
BACA JUGA: Review Film Narvik (2022), Ketika Nazi Menjajah Norwegia
Fakta riil menunjukkan kebencian terhadap etnis tertentu seringkali berkelindan dengan faktor sosial-ekonomi, sebelum terkoneksi dengan faktor politik. Itulah yang tampak dari adegan Susi diolok “sipit pelit” oleh pedagang asongan di awal film dan kerusuhan Mei 1998 sebagai background akhir film, di mana banyak penjarahan terhadap harta dan aset milik etnis Tionghoa, tak terkecuali keluarga Susi.
Kesenjangan sosial-ekonomi bukannya sengaja dibiarkan, namun jelas sulit diakhiri dengan cara yang malah memicu konflik yang menyakitkan hati. Sebab, pada akhirnya, dalam berjuang, yang menjadi pemenang bukanlah kebencian tak berbatas, apalagi sikap posesif dan obsesif tanpa kendali. Namun, hanyalah cinta tak bersyarat yang mampu mencapai garis finis, karena ketulusan bakal selalu menghadirkan banyak kebaikan. Film Susi Susanti: Love All ini mengajarkan banyak hal.
Komentarnya gan