KOTOMONO.CO – Orang Jawa itu lekat dengan dunia simbol dan filosofi. Katanya sih gitu. Tapi bener nggak sih?
Mungkin, dulu begitu. Entah sekarang. Barangkali tak banyak yang kenal lagi dengan dunia simbol dan falsafah orang Jawa.
Nah, film Losmen Bu Broto besutan Eddy Cahyono dan Ifa Isfansyah sepertinya mau mengajak penontonnya kembali mengenal dunia simbol dan filosofi Jawa. Sudah telanjur kangen kali ya? Atau memang ingin mengembalikan spirit orang Jawa?
Entahlah. Yang jelas, bagi saya, film ini sangat relate dengan kehidupan saya. Film yang diadaptasi dari serial drama Losmen produksi TVRI tahun 80-an ini terbilang sukses membawakan narasi khas kehidupan keluarga Jawa. Selain itu, setting yang digunakan pun mendukung, alias njawani banget. Sudah tentu dong. Wong lokasi sutingnya aja di Jogja. Pasti nuansa kejawaannya kental banget. Ya nggak sih?
Seperti umumnya keluarga Jawa, orang tua acapkali memiliki otoritas penuh atas keputusan dan pilihan masa depan putra-putrinya. Biasanya, otoritas tersebut akan mereka tegaskan dengan klaim “orang tua lebih banyak tahu dan berpengalaman daripada anak”. Padahal, zaman sudah berubah. Anak kini tumbuh dan banyak belajar dari luar. Tidak melulu bisa senada dan seirama seperti jalan hidup orang tuanya.
Film ini menceritakan tentang sebuah keluarga Jawa yang membuka bisnis penginapan bernama Losmen Bu Broto. Usaha yang dipimpin oleh Bu Broto (Deborah) dan dikelola secara kolektif bersama suami (Pak Broto) beserta ketiga anaknya (Pur, Sri, dan Tarjo). Tujuan dilibatkan ketiga anak Bu dan Pak Broto ini tentu tak lain agar mereka belajar cara mereka mengelola bisnis keluarga. Harapannya, supaya kelak bisa menjadi penerus bisnis penginapan mereka.
BACA JUGA: Kisah Tragis di Balik Kebengisan Tokoh Joker
Sayangnya, tidak semua anak Bu Broto punya minat dan keahlian di bidang bisnis. Sri, anak kedua, sangat suka bermain musik. Keterampilan bermusik Sri lantas ditentang oleh Bu Broto, sebab dianggap berlawanan dengan ciri khas kejawaan losmen. Akhirnya, Sri nekat bermain musik di luar, bermusik di kafe bersama temannya. Beruntungnya ada Tarjo, si anak bungsu yang mau membantu kedua kakaknya—Pur dan Sri—untuk mengelola bisnis losmen sembari menyelesaikan kuliah.
Dari perbedaan karakter yang dimiliki oleh keluarga tersebut, ada pelajaran penting yang bisa diambil dari film Losmen Bu Broto. Ini dia, tiga hal yang perlu dihindari agar keluarga tetap harmonis dalam menjalankan bisnis keluarga:
Pertama, hindari kebiasaan “membandingkan” antara anak yang satu dengan yang lain. Saya yakin, tidak ada orang yang suka dibanding-bandingkan (yah, meskipun tanpa sadar kita sering keceplosan melakukannya). Namun terkhusus dalam konteks berbisnis keluarga, membandingkan anak di dalam keluarga sangatlah berbahaya.
Seperti dikisahkan dalam film ini. Bu Broto, sebagai pimpinan losmen, kerap membandingkan kemampuan kedua putrinya (Pur dan Sri). Menurutnya, Pur dipandang kurang mumpuni mengelola losmen dibanding Sri. Akibatnya, Pur merasa rendah diri. Perang dingin antara Pur dan Sri pun tak terelakkan. Kalau sudah begitu, repot juga kan berkomunikasinya?
Kedua, terlalu saklek dengan tradisi. Dalam film itu diceritakan bahwa losmen beberapa kali kehadiran tamu spesial. Kebetulan, mereka telah mengundang grup musik untuk mengisi acara hiburan. Sayang disayang, grup tersebut berhalangan hadir.
Bu Broto pun kehabisan akal dalam menyelesaikan masalah ini. Namun, Pak Broto cukup bijak. Ia mengusulkan agar pengisi hiburan diambil dari internal losmen (baik dari anggota keluarga atau karyawan losmen). Walhasil, Pak Broto mempersilakan Sri untuk tampil di losmen.
BACA JUGA: Lagu “Jagad Anyar Kang Dumadi”-nya Soimah itu Lagu Religi Apa Bukan Sih?
Sri yang tak pernah manggung di dalam losmen milik keluarga tentu senang dengan tawaran itu. Namun, lagi-lagi senyum mengembang itu harus ditahan lagi gara-gara sikap Bu Broto yang—maaf—kolot. Menurut Bu Broto, membiarkan salah seorang anggota keluarganya bernyanyi di atas panggung itu sama saja merendahkan martabat keluarga. Sebab, dalam pandangan Bu Broto, keluarganya adalah kaum ningrat yang punya kehormatan dan harus menjaga kehormatan di hadapan tetamu.
Ketiga, menjalankan bisnis keluarga tanpa disertai ilmu dan skill manajemen yang baik. Bu Broto berharap bisnis losmennya dapat dilanjutkan secara turun-temurun pada anaknya. Namun, akan menjadi nihil jika bisnis tersebut tidak dibarengi oleh transfer pengetahuan bisnis yang baik.
Bisnis keluarga yang berjalan masih mengandalkan skill yang seadanya, yang dimiliki oleh masing-masing individu. Sehingga, ketika salah satu dari mereka hilang, sistem bisnisnya juga menjadi kacau. Dari sini, kita jadi tahu perlunya mengelola bisnis keluarga secara sistematik.
BACA JUGA: Nonton Film Flipped Berasa Baca Novelnya
Nah, itulah tiga hal yang perlu dihindari agar keluarga tetap harmonis dalam menjalankan bisnis keluarga. Saya jadi terbayang-bayang betapa membangun bisnis keluarga begitu berisiko. Konsekuensi berbisnis keluarga yang paling kentara adanya bias profesionalitas.
Di satu sisi tidak boleh baper saat mendapat kritik karena sifatnya profesional. Di sisi lain, hubungan profesional itu sangat mungkin berimbas pada hubungan interpersonal dalam keluarga. Kalau begini, bisa-bisa malah perang saudara. Kecuali, kalau anggota keluarganya memiliki hobi dan interest yang sama, maka lain ceritanya.
Komentarnya gan