KOTOMONO.CO – Perjalanan sejarah sekolah yang kita kenal sekarang ini sebagai SMP Negeri 6 Kota Pekalongan adalah bahwa cikal lokasi dan gedung sekolah menengah pertama ini berasal dari Sekolah Kartini.
Sekolah Kartini dilahirkan atas kegigihan dari sosok R.A. Kartini dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan di masa kolonialisme Hindia-Belanda. Di mana pada masa R.A. Kartini ini, orang pribumi tidak bisa sembarangan untuk merasakan bangku sekolah. Selain anak Bangsawan, kaum perempuan juga tidak diperbolehkan untuk memperoleh pendidikan formal.
Pada awalnya, Kartini mendirikan sekolah di komplek kantor Bupati Rembang. Kartini merekrut kedua adiknya, yaitu Kardinah dan Rukmini, untuk turut mengajar di sekolah yang kewalahan menampung antusiasme anak-anak perempuan uang ingin belajar. Agar dapat menerima murid sebanyak-banyaknya, akhirnya sekolah dibuka untuk beberapa kelas dalam sehari.
Sekolah ini juga menjadi simbol rintisan pendidikan bagi rakyat jelata, karena dengan adanya sekolah ini pendidikan dapat diperoleh dan berkembang tidak hanya untuk kalangan bangsawan saja namun untuk semua kalangan rakyat. Alhasil, banyak bermunculan kaum cendekiawan dari rakyat biasa yang juga terus melanjutkan perjuangan R.A. Kartini ini.
Awal Mula Yayasan Kartini
Kemajuan sekolah yang didirikan Kartini justru diteruskan oleh pasangan suami istri Van Deventer yang dalam sejarah dikenal sebagai penganjur “politik etis” yang memberikan kesempatan pendidikan yang cukup luas bagi anak-anak di daerah jajahan.
Sebagai pengagum pemikiran Kartini, yang termuat dalam kumpulan surat yang diterbitkan oleh J.H. dan Rosa Abendanon pada tahun 1911. Pasangan Van Deventer ini terus berupaya untuk mendesak pemerintah Hindia-Belanda agar memperbanyak alokasi dana untuk pendidikan.
Selanjutnya, karena merasa tidak sabar dengan perkembangan yang ada, maka pasangan ini mengeluarkan uang sendiri dan berusaha menggalang dana dari berbagai kalangan guna mendidiran sebuah yayasan pendidikan di Semarang pada tahun 1912. Yayasan itu dinamai Yayasan Kartini.
Yayasan inilah yang membuka sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak perempuan pribumi di Semarang, Surabaya, Yogya, Malang, Cirebon, Madiun, dan Pekalongan.
BACA JUGA: Jejak Perjuangan Otto Iskandardinata di Pekalongan (1924 – 1928)
Pelajaran Sekolah Kartini sama dengan yang diajarkan di sekolah dasar (HIS), dengan tambahan pelajaran keterampilan rumah tangga seperti menjahit, menyulam, memasak, menyetrika, pengetahuan kesehatan, dan berkebun.
Dalam perkembangannya, Sekolah Kartini yang merupakan sekolah bagi kaum perempuan di era revolusi ini kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kepandaian Putri atau SKP pada tahun 1950. Seiring berjalan waktu dalam perkembangan dunia pendidikan nusantara, Sekolah Kepandaian Putri kemudian mulai ditingkatkan menjadi selevel Sekolah Menengah Kejuruan Atas atau yanf kemudian disebut SKKA.
Berdirinya Sekolah Kartini dan SMPN 06 di Pekalongan

Selanjutnya, berdirilah yayasan Kartini di Pekalongan, yang di prakarsai oleh istri Bupati Pekalongan, yakni Raden Ayu Hadining Ario Soerjo. Yayasan ini diduga memiliki banyak aset berupa tanah di kawasan Keputran, tetapi tidak diketahui ahli warisnya sekarang ini.
Sekolah Kartini menempati lokasi di Eks Kelurahan Keputran, Pekalongan Timur atau tepatnya di Jalan R.A Kartini. Kemudian dari sekolahan kartini yang didirikan di Pekalongan ini berubah menjadi SMP Negeri 6 Kota Pekalongan.
Meski sekarang ini sudah banyak perubahan, tetapi masih ada sejumlah ruangan kelas dan ruangan guru yang terlihat dengan gaya arsitektur tempo dulu. Ruangan kelas dengan kayu-kayu jati pilihan masih terlihat kokoh.
Menurut sejumlah siswa yang belajar disana, ruang kelas lama terasa lebih nyaman dan sejuk dibandingkan ruang kelas yang baru. Dan di salah satu sudut kelas bagian kelas masih terdapat prasasti yang menyebutkan bahwa peletakan batu pertama dilakukan Raden Ajeng Hadining Soerjo pada tanggal 22 Mei 1931.
BACA JUGA: Sejarah SMP N 13 Pekalongan (HOLLAND AMBACHTSHOOL)
Dalam prasasti tersebut juga menunjukan bahwa sekolah mengalami renovasi pertama kali dari sekolah Kartini sebelumnya dengan membangun sejumlah ruangan kelas lagi. Dengan ini jelas, bahwa gedung bekas yayasan Kartini ini sangat layak untuk masuk dalam bangunan cagar budaya yang tidak bisa sembarangan dirubah bahkan dihilangkan.
(Dirhamsyah, M. (2015). Pekalongan Yang (Tak) Terlupakan. Pekalongan: KPAD Kota Pekalongan)