KOTOMONO.CO – Riwayat Sungai Kupang (Kali Loji) Pekalongan yakni pada masa Hindu Jawa (sekitar abad 8 M), sungai merupakan urat nadi bagi perekonomian penduduk Pekalongan. Hal ini berlangsung hingga masa Kerajaan Mataram Hindu (Mataram kuno) dan era Penjajahan Belanda. Pada akhir masa kolonial Hindia-Belanda, Sungai Kupang ini masih digunakan sebagai sarana lalu lintas yang menghubungkan daerah pedalaman dan daerah pesisir.
Sungai Kupang atau Kali Loji ini mengalir menuju ke muara Pekalongan,juga merupakan pertemuan dari anak Sungai Retno Sumilir dengan Hulu Sungai Kupang yang berada di kaki Gunung Rogojembangan – Petungkriyono. Sungai Kupang ini juga disebut dengan nama Sungai Masin, karena Sungai ini melewati Desa yang bernama Masin ( Terletak di Warungasem – Batang).
Desa Masin ini disebut dalam sejarah Hindu Klasik Jawa (oleh Prof. Purbatjaraka) sebagai Kerajaan Mo-Ho-Sin atau Kerajaan Mahasin. Kerajaan ini merupakan Kerajaan Hindu di Jawa yang berkembang di abad 10 Masehi.
Pada masa itu,Masin adalah Pelabuhan bertaraf internasional. Pertumbuhan penduduk dan pemukiman yang terjadi di Masin tak lepas dari peranan Sungai Kupang ini sebagai sarana lalu lintas.
Dalam catatan Ma-Huan (Sekertaris Laksamana Cheng Ho),munculnya pemukiman di wilayah Kampung Sampangan ini merupakan awal perkembangan Pekalongan menjadi Pelabuhan antar pulau dan Sungai Kupang sebagai pangkalannya. ( Baca : Awal Mula Kampung Pecinan di Pekalongan )
Tidak diketahui siapa penguasa di daerah Pelabuhan Pekalongan ini. saat itu Pekalongan masih termasuk tanah gunduhan dari Kesultanan Cirebon. Dalam naskah Cirebon Kertabumi karya Pujangga wangsakerta tahun 1485,daerah Pekalongan pernah dipimpin oleh keluarga Wu Hang. Dan Wu Hang merupakan bandar besar yang menguasai lalu lintas perdagangan di Pelabuhan Pekalongan.
Sewaktu berada dalam kekuasaan Kejaraan Mataram Islam (sekitar abad ke-17),Pekalongan menjadi daerah yang kaya. Uang dalam jumlah besar dan produksi beras yang melimpah yang dikirim ke pusat kerajaan membuat Pekalongan menjad bagian penting dari wilayah Kesultanan Mataram.
Sedangkan pada masa Kolonial Belanda awal abad ke-18 hingga abad ke-20,banyak kapal dagang dari berbagai negara seperti Cina,Arab,India,dan Eropa berlabuh di Sungai Kupang hingga melewati Benteng V.O.C (Fort Peccalongan). Hal ini dibuktikan dengan banyaknya makam dari para pelaut dari berbagai daerah Nusantara seperti Bugus,Madura,Melayu,dan Kalimantan.
Baca : Sejarah Fort Peccalongan, Benteng Tua Milik Kota Pekalongan
Makam para pelaut ini terletak di hutan dekat Sungai Kupang,tepatnya di Kampung Arab Suguhwaras. Hal ini dibuktikan ketika Sayid Husein bin Salim (Ulama sekaligus Pedagang dari Hadramaut) membangun Masjid Waqaf pada tahun 1854 Masehi.Disini banyak ditemukan makam-makam dengan nisan yang terbuat dari kerang laut.

Memasuki era 1830 usai Perang Diponegoro, ketika itu Pekalongan menjadi daerah penghasil gula bagi Kerajaan Belanda, ekspor gula ke Eropa juga melalui Pelabuhan Pekalongan ini dimana Sungai Kupang berfungsi sebagai tempat transit bagi Kapal-kapal dagang Belanda sebelum berlayar kembali ke Eropa.
Baca : Asal – Usul Nama Desa Noyontaan Kota Pekalongan
Pada era perdagangan batik abad ke-18 hingga abad ke-20,banyak kapal dagang yang masuk ke sekitar Loji. Kapal tersebut membongkar muatannya di sekitar Sugihwaras,karena daerah ini sebagai Pasar Batik yang berada di dekat Sungai Kupang.
Sungai Kupang ini juga pernah digunakan sebagai tempat bersandar bagi kapal ikan hingga awal tahun 1980-an,sebelum di Pekalongan dibangun Pelabuhan Perikanan Nusantara.
(Dirhamsyah, M. (2015). Pekalongan Yang (Tak) Terlupakan. Pekalongan: KPAD Kota Pekalongan.)