Ratuné ratu utama
patihé patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekaré becik-becik
parandéné tan dadi
paliyasing kalabendu
Malah sangkin andadra
rubéda kang ngreribedi.
Béda-béda hardané wong sanagara.
KOTOMONO.CO – Tembang macapat Sinom tersebut dinukil dari Serat Kalatidha karya pujangga Jawa terakhir, R.Ng. Ranggawarsita, yang ditulis sebagai ungkapan rasa prihatin atas fenomena sosial-politik yang menyelimuti kekuasaan Jawa. Perilaku rame ing pamrih di kalangan para pembesar Jawa kala itu menjadi-jadi.
Demi gengsi, mereka rela berbuat “gila” untuk mendapatkan kedudukan. Saling sikut, saling sikat, dan saling menjegal adalah pemandangan yang dianggap lumrah. Sampai-sampai, apa yang menjadi tanggung jawab mereka sebagai pengayom rakyat terabaikan.
Namun, saya tidak sedang ingin mengkaji Serat Kalatidha. Kajian tentang serat ini sudah lebih dari ratusan atau bahkan ribuan. Kajian-kajian itu tersedia di berbagai media, baik berupa jurnal penelitian maupun media-media online. Buku-buku yang menyajikan kajian Serat Kalatidha juga banyak.
Yang ingin saya ulas hanya salah satu bagian kecil dari Serat Kalatidha. Yaitu, penggunaan kata “ratu” dalam Serat Kalatidha. Kira-kira apa yang Anda tangkap dari penggunaan kata “ratu”?
Mungkin, bagi sebagian besar orang—termasuk orang Jawa (masa kini), akan mengidentikkan kata “ratu” dalam kutipan tersebut sebagai seorang permaisuri, raja perempuan, atau istri raja. Ya kan?
BACA JUGA: Ratu Sima dan Nama Panggilan “Ibu” Orang Pekalongan
Memang, anggapan itu tidak bisa disalahkan, sebab kata “ratu” dalam terminologi bahasa Indonesia memiliki arti sebagai (1) raja perempuan; permaisuri, (2) perempuan pemenang perlombaan yang menyangkut kegiatan khas kewanitaan, (3) perempuan yang paling menonjol dalam bidangnya, dan (4) sebutan untuk anak perempuan sultan Cirebon. Untuk memastikannya, silakan cek di Kamus Besar Bahasa Indonesia, baik dalam bentuk cetakan maupun versi daring.
Terjemahan bahasa Indonesia tersebut menunjukkan, bahwa kata “ratu” memiliki makna khusus. Yaitu, hanya berlaku bagi perempuan. Namun, penerjemahan tersebut tidak serta merta memosisikan kata “ratu” sebagai kata yang berkategori feminin. Mengapa? Karena di dalam bahasa Indonesia tidak mengenal pengkategorian kata berdasarkan jenis kelamin. Tidak seperti bahasa Jerman, Arab, Sanskerta, dan lain-lain.
Sementara, dalam terminologi bahasa Jawa, kata “ratu” tidak sespesifik bahasa Indonesia. Bahasa Jawa, yang berakar dari bahasa Jawa Kawi/Kuno, mendudukan kata “ratu” searti dengan raja atau pemimpin suatu kelompok/bangsa. Kata “ratu” tidak identik dengan jenis kelamin tertentu.
Dalam beberapa teks kuno menyebutkan raja dengan istilah “ratu”. Misal, pada prasasti Canggal, tertulis “Rake Mataram Sang Ratu Sanjaya” untuk menyebut raja pertama Mataram Hindu. Begitu pula gelar Ratu Angabhaya yang disematkan bagi Mahisa Campaka, raja dari Kerajaan Singhasari. Kedua tokoh tersebut berjenis kelamin laki-laki, sekalipun digelari “ratu”.
BACA JUGA: Kerja Baik Satpol PP Kota Pekalongan Perlu Kita Apresiasi Setinggi-tingginya
Begitu pula dalam beberapa ungkapan Jawa, seperti “adoh ratu cedhak watu”, “sabda pandhita ratu”, “lèngsèr keprabon madhep pandhita ratu”, dan sebagainya. Kata “ratu”, dalam ungkapan-ungkapan Jawa itu masih memperlihatkan kecenderungan makna yang sifatnya sangat umum. Menempatkan kata “ratu” sebagai kata yang tidak dispesifikkan ke dalam jenis feminin.
Konon, istilah “ratu” merupakan kosakata khas nusantara. Khususnya, bahasa Jawa. Tak heran jika di dalam terminologi kekuasaan Jawa dikenal istilah Keraton. Istilah ini terbentuk oleh afiksasi “ka-an”; ka-ratu-an. Dalam pengucapannya kemudian, bunyi diftong [ua] dilebur menjadi [o]. Peleburan bunyi ini dirasa memudahkan pengucapannya. Kata “keraton” atau “kraton” sendiri memiliki makna tempat tinggal bagi ratu. Namun, dalam perkembangannya juga diterjemahkan sebagai sebuah sistem kekuasaan.
Kata “ratu” juga berkerabat dekat dengan kata datu, adhipati, aji, bhūpāIa, bhupati, narādhipa, naradhipati, naranatha, narapati, narendra, nātha, nṛpa, nṛpati, pati, dan sebagainya. Khusus kata “datu”, pada mulanya digunakan sebagai gelar penguasa. Sebagaimana dalam sejarah nusantara, terdapat beberapa kedatuan. Misal, Kedatuan Sriwijaya, Giri Kedaton (Kedatuan Giri), Kedatuan Luwu, dan sebagainya.
Jika demikian, penerjemahan istilah “ratu” dalam bahasa Indonesia sangat mungkin merupakan bentuk pergeseran atau penyempitan makna. Akan tetapi, sejak kapan penyempitan makna itu terjadi? Konon pula, penyempitan makna kata “ratu” bermula dari penggunaan istilah “raja” yang marak terjadi bersamaan dengan membesarnya pengaruh Hindu dalam kebudayaan nusantara.
BACA JUGA: Merayakan Kemesraan Pemkot Pekalongan dengan Wartawan Lokal
Istillah “raja” dalam bahasa Sanskerta diartikan sebagai pemimpin laki-laki sebuah bangsa. Sementara, istri seorang raja tidak bergelar ratu, melainkan rani. Dan, sejak digunakannya istilah “raja” sebagai gelar, maka istilah “ratu” pun tergeser dan akhirnya, disematkan kepada istri raja.
Kini, sekalipun sistem kenegaraan di negeri ini sudah tidak lagi menganut sistem Keraton, Kedatuan, atau Kesultanan, nampaknya istilah itu masih dipertahankan. Hanya, mengalami penyempitan yang semakin sempit lagi.
Istilah “ratu” kemudian diartikan seperti dalam KBBI pada pemaknaan kedua dan ketiga. Yaitu, perempuan pemenang perlombaan yang menyangkut kegiatan khas kewanitaan atau perempuan yang paling menonjol dalam bidang tertentu. Misalnya, Ratu Dangdut, Ratu Kebaya, Ratu Joget, Ratu Kecantikan, dan tentu jika diurutkan lagi masih akan ada banyak lagi ratu-ratu yang lain.
Bahkan, baru-baru ini, muncul istilah baru di sebuah laman berita, “Ratu Literasi”. Sepertinya, istilah ini akan memberikan sumbangan besar bagi istilah keratuan di negeri ini. Semoga saja demikian.
BACA JUGA: Menumbuhkan Gerakan Literasi Tak Cukup dengan Gerakan Membaca
Dengan peristilahan itu, para pegiat literasi di seluruh negeri ini pastinya akan menyambut gembira karena memiliki ratu. Yang artinya, akan memiliki seorang pemimpin di bidang literasi. Dan, karena istilah “ratu” yang Jawasentris, maka kepemimpinan ratu pun mesti berpijak pada konsep kepemimpinan rasa. Kepempimpinan yang mengedepankan kepekaan rasa di dalam memayu hayuning bawana atau memperindah keindahan dari tata semesta raya yang sudah sedemikian indah ini.
Berikan komentarmu