KOTOMONO.CO – Soal mengkritik atau bahasa halusnya memberi masukan ke Pemerintah, sebenarnya tak akan mungkin kehabisan bahan. Tapi jujur saja, untuk kali ini saya betul-betul kehabisan bahan untuk mengomentari kebijakan Pemkot Pekalongan. Tidak, bukan karena saya sudah merapat jadi orang-orangnya Humas.
Itu sama sekali tidak saya lakukan. Nggak juga karena kebijakan Pemkot Pekalongan sudah sangat paripurna. Karena di dunia ini, selain Tuhan soal keparipurnaan hanyalah ilusi dan utopis. Buat apa pula saya terlalu banyak memberikan komentar, karena komentar saya selalu berhembus seperti kentut.
Komentar saya hanya dikomentari netizen-netizen yang kelewat pintar. Sekalipun itu tidak masalah, sih. Minimal saya jadi tahu hasrat berkomentar netizen itu masih ada. Dan itu sudah seharusnya kita lestarikan. Jarang-jarang tho ada kebudayaan yang begitu mendarah daging, tapi untuk melestarikannya kita tak perlu minta bantuan Pak Luhut atau Kemendikbud?
Saya pikir, mungkin inilah saatnya saya berhenti mengkritisi kebijakan Pemkot Pekalongan. Toh, Pekalongan adalah tempat kelahiran saya. Dari sini saya mendapat uang, makan, dan hidup bahagia. Setidaknya, itu yang ingin saya bayangkan. Soal bayangan tersebut tak sesuai ekspektasi itu perkara lain.
BACA JUGA: Banjir Pekalongan Tak Pernah Tuntas Kalau yang Diajak Ngobrol Cuma Elite
Maka, bolehlah saya sekali-kali mengumpamakan diri sebagai Walikota. Tapi sebelumnya kira-kira saya perlu izin tidak? Ah! Kayaknya tidak perlu kan ya, Pak? Maksudnya, saya cuma berpura-pura saja. Lagi pula, kan, katanya tahta untuk rakyat. Jadi hemat saya, tidak masalah kalau saya meminjam tahta sebentar, meski itu sekadar pura-pura.
Begini, saya ingin untuk nyas-nyis kali ini memposisikan diri sebagai Walikota Pekalongan. Saya ingin memposisikan sebagai diri walikota yang menulis. Walikota yang menjawab kritik dengan menulis balasannya. Tentu melalui situs web agar mudah diakses publik.
Karena pengecut juga kalau hanya bisik-bisik di belakang. Presiden Donald Trump sampai Joe Biden saja berani “menghantam” pengkritik di depan media. Baiklah mari mulai saja. Oh ya, sebelum membaca tulisan ini, kamu bayangkan dulu kalau ini adalah tulisan walikota. Soal bagus tidak bagus, maklumi saja. Mengurus kota saja repot, masak harus mikir tulisan yang bagus?
*****
Dear Mas Arsyad,
Sebelumnya, saya utarakan terima kasih kesediaannya untuk memberikan masukan ke Kota Pekalongan. Masukan dari anak muda seperti saudara sangat berarti. Karena jarang sekali ada anak muda yang mau peduli dengan kotanya.
Soal kritik mana yang bakal saya jawab, mohon maaf saya ingat-ingat dulu. Banyak catatan yang Mas buat di beberapa media online. Tapi yang saya ingat, Mas lebih sering menulis kritik ke saya di media kotomono. Bukan begitu?
Ya, saya tahu. Jangan kira sebagai walikota, saya tidak pernah membaca tulisan sampeyan? Ah, omong kosong itu. Setiap ada waktu sela, saya sempatkan membaca tulisan sampeyan. Tapi kenapa belakangan ini sampeyan tak menulis lagi?
Padahal kotomono.co itu situs yang bagus, lho. Saya dengar beberapa waktu lalu, siapa itu namanya? Anu, terdengar suaranya di RKB. Kotomono memang situs yang bagus. Saya sendiri mengapresiasi. Sedikit yang mau bikin situs semacam itu. Beberapa media cuma mengikuti omongan saya.
Padahal kan, sebagai walikota saya lebih senang diberi masukan. Nggak cuma ngintil ke mana pun saya pergi. Ya, saya harap sampeyan tidak putus menulis. Teruslah menulis! Oh iya, sampai lupa apa kepentingan saya menulis ini. Maklum saja, terbiasa protokoler, pembukaannya jadi kepanjangan. Hehehe.
Rob
Pertama, saya ingin menjawab ihwal rob. Beberapa kali saya membaca tulisan Mas Arsyad tentang rob. Dan semuanya itu menunjukkan seolah-olah walikota, pemerintah Kota Pekalongan tidak bisa mengatasi rob. Padahal kami di jajaran Pemkot ini sudah berusaha semaksimal mungkin.
Beberapa langkah sudah saya tempuh kok, Mas. Jangan dipikir kalau Pemkot itu kerjanya cuma ongkang-ongkang kaki. Kerjanya cuma rapat sana rapat sini. Ya, itu memang benar. Tapi rapatnya kami itu ya untuk Kota Pekalongan tercinta. Untuk keberlangsungan warga Pekalongan. Catat Mas: ke-ber-lang-sung-an.
Ealah, tuh kan, melebar lagi. Maaf-maaf, Mas. Terbiasa protokoler ya begini-ini. Harap maklum ya, mas. Begini Mas Arsyad, Pemkot Pekalongan itu sudah melakukan banyak upaya agar Kota Pekalongan nggak rob lagi.
Ini sekadar informasi saja ya. Dulu warga itu banyak banget yang bilang Pekalongan harus meniru Belanda. Kata mereka, Belanda pernah ada rob terus berhasil menanganinya. Nah, kemarin saya datangkan tuh orang Belandanya kemari.
Kami sedang coba jajaki kerja sama dengan Dewan Air Belanda. Buat apa? Ya buat menangani rob lah, Mas. Oh ya, Mas Arsyad jangan komentar soal ini ya. Hehehe. Nggak usah gitu komentar atau bikin tulisan “Buat apa mendatangkan Belanda untuk mengatasi Rob, nggak sanggup ya?”.
Atau jangan dibikin tulisan juga kalau kondisi Belanda dan Pekalongan itu berbeda, jadi penanganannya ya berbeda. Pokoknya jangan ya, Mas! Ini Pemkot sedang ikhtiar untuk mengatasi rob biar benar-benar tuntas.
Apabila memang kenyataannya Pekalongan dan Belanda berbeda, dan penanganannya harus berbeda, itu biar jadi urusan kami, Mas. Tidak njug mendatangkan orang dari Belanda adalah keputusan yang tidak tepat. Karena kan ini usaha, dan usaha itu Mas, ada yang berhasil ada yang gagal.
Kalau sekarang kita gagal, kan besok belum tentu gagal, ya tho? Bisa jadi memang tidak berhasil. Eh, maksud saya berhasil, Mas. Yaelah kok saya jadi ikutan berkomedi di tulisan yak. Hehe.
Wisata Air
Kedua, saya tergelitik ingin menjawab kritik Mas Arsyad tentang wisata air terbesar. Mas Arsyad kan sering tuh mengomentari soal wisata air ini. Kayaknya nggak cuma di Kotomono, di media online seperti Mojok juga pernah. Dan yang terbaru di Kumparan kan ya, mas? Tapi yang saya ingat dan paling membekas itu di Kotomono.co.
Waktu itu kalau nggak salah, Mas mengomentari tentang harga wisata yang menurut Mas Arsyad mahal. Terus Mas mendaulat diri mewakili warga Kota Pekalongan. Jujur, senyum saya sedikit tersungging membaca tulisan itu, Mas.
Soal mahal tidak mahal, itu ya sebetulnya relatif, Mas. Karena kondisi ekonomi orang kan beda-beda. Kesenjangan sosial itu kan nyata, Mas. Itu masalah struktural. Jadi hemat saya, buat yang nggak mau dan nggak mampu, ya nggak usah. Tapi Mas, yang lebih nyengit lagi sebetulnya yang pura-pura mampu. Bisa masuk wisata, tapi kalau bantuan mintanya nomor satu. Hehe.
Ya itu sih yang ingin saya jawab, Mas. Mengenai kenapa lebih memilih membangun wisata daripada menangani banjir, ya sebenarnya nggak gitu juga, Mas. Banjir tetap ditangani, pembangunan wisata jalan, dan ekonomi lekas bangkit. Kan, lebih enak begitu?
Terima kasih Mas Arsyad telah mengkritik. Dan terima kasih juga telah memberi saya kesempatan menjawabnya. Salam hangat buat kita semua.
Ttd,
Walikota (Imajiner) Pekalongan
Berikan komentarmu