KOTOMONO.CO – Masih ada anggapan, baik dari kalangan masyarakat maupun elit yang melihat keluh kesah warga negara atau perbedaan pendapat dalam pembentukan opini publik sebagai “kegaduhan”atau ”sumber perpecahan.” Emangnya pandangan itu betul? Bukannya Indonesia bisa diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 juga awalnya berkat keluh kesah para pemuda Menteng 31 yang mendesak Soekarno untuk segera memproklamirkan kemerdakaan, ya?
Tahu enggak sih, selama ini pembentukan opini publik itu punya banyak manfaat. Pertama, keluh kesah warga negara itu berperan penting untuk membantu rakyat kecil untuk memperbaiki penghidupannya. Keluh kesah itu lah yang bisa membawa rakyat kecil dapat terlibat langsung dalam membuat terobosan kebijakan.
Ooo kalau begitu, itu membawa manfaat kedua, yakni memudahkan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk membuat kebijakan sesuai kebutuhan warga negaranya. Salah satu contoh yang baik adalah upaya dari warga kampung DKI Jakarta yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota yang berhasil membangun kampung susun secara partisipatif.
Ketiga, ya keluh kesah warga negara itu juga berperan penting lho dalam mendorong perbaikan pelayanan publik. Pengawalan dari warga negara dapat memacu pemerintah untuk semakin tanggap dalam merespons kebutuhan masyarakat. Contoh baik terbaru misalnya adalah PT KAI yang merencanakan peremajaan Kereta Api Kelas Ekonomi, setelah mendapat masukan dari rakyat.
BACA JUGA: Nestapa Ekonomi Tengkawang, Rakyat Ingin Sejahtera Kok Dihambat?
Berikutnya, pengawalan warga negara itu berperan penting untuk memastikan bahwa anggaran pemerintah benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat maupun mencegah berbagai perburuan rente… Ya ini salah satu cara jitu untuk memberantas penyakit Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).
Terakhir, dan yang tak kalah penting ya pengawalan dari warga negara penting untuk menangkal berita bohong baik yang muncul dari kalangan elit maupun masyarakat. Misalnya, saat awal pandemi, rakyat banyak mengkritik pernyataan para pejabat yang justru menyepelekan masuknya virus Covid-19 ke Indonesia. Jadi jelas kan manfaatnya? Yuk jadi warga negara yang baik
Akan tetapi, memang sih suara rakyat itu tak selalu berjalan mulus. Misalnya apa yang dialami Bu Nurhayati yang melaporkan dugaan korupsi di desanya, yang justru ikut terseret ditetapkan sebagai tersangka.
Padahal nih ya, warga desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat mendukung penuh perjuangan Bu Nurhayati sampai beramai-ramai menandatangani petisi untuk meminta penghentian status tersangka. Warga juga membentangkan spanduk bertuliskan “Petisi Dukungan untuk Nurhayati.
Ketua Badan Permusywaratan Desa (BPD) Citemu yang melaporkan kasus korupsi anggaran desa 2018-2020 ke kepolisian setelah mendapatkan laporan dari Bu Nurhayati sendiri ikut menyayangkan penetapan status tersangka itu. Apalagi hal itu memunculkan dampak psikologis bagi kedua anak Bu Nurhayati. Kalangan mahasiswa sendiri turut menyampaikan dukungan dengan melakukan demonstrasi.
Baru setelah Bu Nurhayati datang ke Kemenkopolhukam dan masalah penetapan tersangka menjadi sorotan media dan berbagai pihak, pihak kepolisian dan Kejari (Kejaksaan Negeri) Cirebon menggelar gelar perkara serta menyatakan penghentian status tersangka karena tak ditemukan bukti keterlibatan Bu Nurhayati.
Eitttts tunggu dulu, meskipun status tersangka sudah dicabut, yang masih bikin nyesek baik pihak kepolisian maupun Kejari Cirebon tak mau disalahkan terkait masalah tersebut. Pihak kepolisian justru menyebut Bu Nurhayati melakukan pelanggaran administratif terkait tata kelola penggunaan anggaran desa, tetapi tak dianggap memiliki “niat jahat.”
BACA JUGA: Perihal Larangan Jual Rokok Ketengan, ini Cara Mengakalinya
Meskipun nih ya, baik kepolisian dan kejagung sepakat ada ketidakcermatan penegak hukum seperti dilansir Kompas.com (2/03/2022), tetapi kok ya terkesan saling lempar tanggungjawab ya? Pihak kepolisian mengklaim bahwa penetapan tersangka muncul karena ketidaksengajaan penyidik dalam melakukan pendalaman peran Bu Nurhayati setelah mendapatkan petunjuk dari jaksa peneliti.
Sementara itu, Kepala Kejari Kabupaten Cirebon dilansir Kompas.com (22/02/2022) mengklaim bahwa penetapan tersangka Bu Nurhayati tak hanya dilakukan berdasarkan petunjuk jaksa peneliti, melainkan juga berdasar temuan dua alat bukti setelah ada pendalaman peran.
Menariknya Febrie Adriansyah, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung RI dilansir Kompas.tv (1/03/2022) menyatakan bahwa jaksa peneliti Kejari Cirebon tak mengetahui kalau Bu Nurhayati itu pelapor kasus korupsi anggaran desa. Bikin geleng-geleng enggak sih?
Apalagi pihak kepolisian tak akan menindak anggotanya yang kurang cermat ke Propam, meskipun menyatakan bahwa kasus ini akan dijadikan pembelajaran bagi Bareskrim dalam melakukan asistensi penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh Polda maupun Polres.
BACA JUGA: Strategi Politik Dibalik Gelar Tituler Untuk Deddy Corbuzier
Saya sih lebih setuju dengan cara pandang ICW yang melihat bahwa penyidik berpotensi melanggar kode etik Polri khususnya pasal 10 ayat (1) huruf a dan d Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 terkait Etika dalam Hubungan dengan Masyarakat, karena tak profesional.
Usut punya usut keresahan publik terhadap proses penegakan hukum di Indonesia khususnya yang dilakukan oleh Polri tak hanya muncul dalam kasus Bu Nurhayati. Sebelumnya di Twitter viral tagar #PercumaLaporPolisi dan #NoViralNoJustice sebagai bentuk respon publik terhadap ruwetnya penegakan hukum oleh kepolisian. Tagar tersebut muncul setelah Project Multatuli melansir artikel mengenai dugaan penegakan hukum kasus pencabulan yang dihentikan oleh kepolisian.
Publik menyatakan empati dan bahkan menyampaikan pengalamannya yang rumit dalam mengakses pelayanan hukum dari Polri. Tagar tersebut kemudian terus muncul sebagai bentuk kritik publik sampai kini.
Kapolri, Listyo Sigit Prabowo sebenarnya patut diapresiasi, karena mengeluarkan surat telegram ST/2162/X/HUK2.9/2021 yang menghimbau anggota kepolisian tidak antikritik, tak menggunakan kekerasan, dan seharusnya menjadikan masukan publik sebagai bahan untuk memperbaiki pelayanan.
Sayangnya eksekusi di lapangan tak sesuai himbauan, karena anggota khususnya melalui akun kepolisian di tingkat daerah justru merespons tagar dari publik dengan mengeluarkan tagar tandingan yakni #PolisiSesuaiProsedur dan #PolriTegasHumanis untuk memoles “citra baik polisi.”
BACA JUGA: Tipe Orang Yang Cocok Nonton Channel Youtube Ria Ricis
Investigasi yang dilakukan oleh Project Multatuli membuktikan bahwa terdapat 57 tender yang tersebar di berbagai divisi Polri dengan nilai total Rp3,8 triliun sepanjang 2017-2021 untuk membangun citra kepolisian dan melakukan sosialisasi publik di media sosial. Hal tersebut bertolak belakang dengan anggaran penanganan kasus khususnya di Polda dan Polres yang hanya berkisar empat juta rupiah.
Ini menunjukan kalau hukum responsif belum terlaksana dengan baik di Indonesia. Hukum responsif secara sederhana dapat diliat sebagai hukum yang terbuka dalam menanggapi kebutuhan-kebutuhan sosial mendesak mengenai masalah keadilan sosial, kalau menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick.
Hukum yang seperti itu ya terbuka dan terbiasa dengan ruang dialog publik dan perkembangan berbagai perbincangan masyarakat mengenai persoalan publik. Sayangnya, nih ya malah banyak kalangan yang menganggap kalau desakan publik terhadap penegakan hukum yang adil itu sebagai intervensi.
Padahal itu sebuah keniscayaan kalau politik dan hukum itu saling berkaitan. Lagi pula hukum juga dibentuk lewat proses politik berupa kebijakan publik. Hukum itu juga kan juga bentuk kontrak sosial masyarakat untuk mengatur penghidupannya, jadi ya udah wajar sih kalau seharusnya pelaksanaan dan penegakan hukum memperhatikan kebutuhan publik.
Jangan sampai yang terjadi adalah hukum untuk kepentingan hukum atau yang lebih parah hukum untuk kepentingan kekuasaan. PR nih bagi semua kalangan.