Batang – Desa Silurah di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang ini menarik untuk diulik tentang cerita asal-usul dan sejarahnya. Desa ini sangat kaya akan peninggalan-peninggalan sejarah seperti Arca Ganesha dan semacamnya.
Desa yang memiliki jumlah penduduk 1718 jiwa ini, memiliki cerita mengenai asal-usul Desa Silurah ini ada dalam beberapa versi yang menarik untuk diketahui.
Versi pertama menyebutkan diujung selatan Kecamatan Wonotunggal diketahui dahulu merupakan hutan belantara tahun 600 M.
Daerah Silancur ratusan tahun yang lalu diduga berada di kawasan pesisir Sungai Loji, Pekalongan. Wilayah ini ada sebuah kerajaan bernama Mahasin. Masyarakatnya saat itu sebagian besar beragama Hindu Siwa.
Ketika itu ada misi penyebaran ilmu dan pengetahuan yang dilakukan oleh pegawai kerajaan Mahasin hingga sampai wilayah hutan Silurah. Hutan Silurah tepatnya berada di Sungai Sumilir dan sungai Rogno perbatasan Kabupaten Batang, Pekalongan.
Dari tempat inilah kemudian mereka membangun padepokan sebagai tempat pengembangan ilmu dan pengetahuan. Kawasan padepokan ini pula didirikan sebuah patung Ganesha yang dilengkapi sumber air .
Konon sumber mata airnya tak pernah mati dan tepat disebelah kirinya dibangun patung berbentuk ronggeng yang kepalanya hilang. Sekitar patung Ganesha terdapat batu Yoni atau Canggal yaitu tempat kebaktian kepada dewa siwa berbentuk kubus dengan diatasnya berlubang seperti lumpang.
Baca juga : 6 Spot Wisata Hits di Kembang Langit Batang
Tempat tersebut diyakini menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan pada zaman kerajaan Mahasin. Menariknya, di lokasi padepokan terletak dibawah bukit yang dikelilingi tebing dan pegunungan. Tempat seperti itu biasanya oleh masyarakat Jawa kuno disebut Lurah atau lembah.
Lembah yang terletak dibawah bukit tersebut diduga dan dipercayai menjadi cikal bakal Desa Silurah ini. Silurah berasal dari kata Si dan lurah atau lembah.
Versi kedua sejarah desa Silurah berdasar kata toponim lurah yang secara umum dalam bahasa Jawa yang memiliki arti kepala desa.
Toponim Silurah diceritakan bermula dari seseorang yang bernama Ki Lurah dan disebutkan sebagai pendiri desa Silurah. Dari sinilah kemudian nama Lurah tersebut di gunakan menjadi nama desa yaitu Desa Silurah.
Hal ini dikatakan oleh kepala Desa Silurah bernama Tajwid Musanep yang juga tokoh masyarakat. Nama Silurah menurut Tajwid telah ada sejak dulu yang disebut lembah. Berdasarkan sejarah Desa Silurah, kepala desa pertama kali dipimpin oleh Cardan berlanjut hingga sekarang yaitu Khondirin.
Versi ketiga mengenai cerita sejarah asal-usul desa Silurah berdasar pada jejak Wangsa Syailendra di Wonotunggal. Hal ini terbukti setelah ditemukan sejumlah benda-benda bersejarah disana mulai masa proto historik atau era sebelum Hindu-Budha atau setelah era Hindu-Budha.
Baca juga : Tradisi Pasar Malam dan Kliwonan Masyarakat Batang
Benda bersejarah tersebut berupa situs Pundek Berundak yang disinyalir jejak Syailendra di Batang. Punden Berundak diyakini sebagai tempat bagi Syailendra melakukan ritual keagamaan sebagai Raja Gunung (saelendra).
Dari beberapa benda bersejarah yang di temukan di desa tersebut diyakini Desa Silurah tempat jejak peninggalan Syailendra yang melegenda sampai sekarang. Peninggalan jejak sejarah Wangsa Syailendra di Silurah bisa kita saksikan lewat benda bersejarah mulai punden berundak hingga patung ganesha.
Kearifan budaya lokal berupa tradisi ritual yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Silurah masih terjaga kelestariannya. Sejumlah tradisi telah ada turun temurun mulai tradisi nyadran gunung hingga tradisi Ider-ider yang digelar setiap tahunnya.
Tradisi nyadran gunung salah satu jejak sejarah Syailendra yang masih dijumpai disini. Prosesi nyadran gunung telah ada ratusan lalu dan tradisi nyadran Gunung berawal dari peristiwa warga desa Silurah waktu itu diserang penyakit (pageblug). Penyakit ini dengan gejala sakit dipagi hari dan meninggal disore hari.
Sesepuh desa Silurah saat itu bersemayam di Gunung Rokokusuma yaitu Eyang Binaro dan Syekh Abdul. Dari sesepuh inilah pesan minta kudangan atau persembahan wedud kendit dan ditanggapkan ronggeng.
Baca juga : 30 Daftar Tempat Wisata Batang Favorit dan Populer
Sejak itu ritual nyadran gunung digelar setiap tahun jelang puasa. Salah satu rangkaian acara yang menarik dari Tradisi nyadran gunung ini adalah penyembelihan Kebo Bule sebagai persembahan. Sebelum kebo bule disembelih terlebih dahulu diarak keliling desa oleh warga berpakaian adat Jawa.

Selanjutnya kebo bule diserahkan pada kepala desa disaksikan semua warga sambil menggendong nasi golong dengan selendang batik. Nasi golong dikumpulkan dan didoakan sesepuh sebelum nantinya dibagikan kembali.
Setelah semua warga berkumpul, kebo Bule mulai disembelih. Kepala kerbau nantinya ditanam atau dikubur dikaki Gunung Rokokusuma. Sementara dagingnya sebagian diolah dan dibagikan ke warga sekitar. Usai menyembelih kebo Bule, warga menyiapkan sesaji yang selanjutnya para sesepuh menuju puncak gunung Rokokusuma meletakan sesaji tersebut dan berdoa.
Baca juga : 7 Makanan Khas Batang Yang Terkenal Enak dan Menggoda Selera
Acara berikutnya pertunjukan Kesenian Ronggeng. Ronggeng memulai pertunjukan dengan menari diiringi gamelan dan nyanyian tembang Jawa oleh Sinden bersaut-sautan. Ada pemandangan yang menarik, ketika banyak bocah meminta ronggeng bersalaman atau mengusap kepala mereka. Aksi lain yang nyentrik adalah ada saja ibu-ibu yang menggendong anaknya utnuk meminta Ronggeng mengusap kepala anaknya. Usapan kepala yang dilakukan ronggeng pada anak mengandung tuah dan berkah bagi awal pertumbuhan anak.
Dari sekian penginggalan dan tradisi yang sampai saat ini masih terjaga kelestariannya, jelas menunjukan bahwa jejak peradapan Syailendra memang benar adanya Kesemuanya itu menjadi bagian penting sejarah Desa Silurah yang tidak bisa dipisahkan.
komentarnya gan