Pekalongan – Pada pertengahan abad 19 di perbatasan distrik Tirto dan Buaran terdapat suatu kawasan yang berbentuk genangan air (rawa) dan ditumbuhi tumbuhan liar yang bernama bulung (nipah), kawasan ini disebut Rowoyoso. Kawasan ini tidak bisa diolah sebab tergenang air setinggi pusar orang dewasa dimusim hujan dan menyusut setinggi lutut dimusim kemarau.
Tersebutlah seorang bernama Klidin yang berasal dari desa Wonoyoso memilih tanah yang agak tinggi, membersihkan dan mendirikan tempat tinggal dalam beberapa tahun hal ini diikuti oleh banyak orang sehingga membentuk suatu perkampungan. Dikarenakan dalam membuat tempat tinggal ini tidak ada yang mengatur maka tata letak rumah-rumah ini sembarangan saja seperti biji yang jatuh dari pohonnya. Keadaan ini menjadikan perkampungan ini disebut Mijen (berasal dari kata me-wiji-an).
Klidin selaku orang pertama yang datang pertama kali diangkat sebagai pimpinan disitu dan disebut Ki Klidin. Kawasan ini masih menjadi wilayah Buaran dan Banyurip Alit. Disebutkan bahwa pemerintah Hindia Belanda mengadakan sayembara bagi siapa saja yang bisa mengeringkan Rowoyoso hingga bisa diolah akan dijadikan asisten-wedono (ndoro Asten).
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Sugihwaras Kota Pekalongan
Sayembara ini diterima oleh Warijah putera Ki Klidin. Dalam melaksanakan sayembara ini Ki Warijah membuat saluran air dari Desa Coprayan, Desa Paweden, Desa Banyuurip-ageng, Desa Banyuurip-alit, Desa Buaran, Rowoyoso dan Desa Samborejo sepanjang kurang lebih 5 km dan kemudian bergabung dengan kali Sambo (Kali meduri).
Setelah pembuatan saluran selesai Ki Warijah menghadap ke guverment (Karasidenan) untuk menagih janji. Karena Ki Warijah pendidikannya tidak mencukupi permintaannya ditolak. Dirinya hanya akan diberi kedudukan sebagai demang yang membawahi desa-desa yang terkait dengan saluran yang sudah dibuatnya dan Rowoyoso akan dibentuk desa baru Ki Warijah sebagai kepala desanya.
Tawaran ini diterima oleh Ki Warijah dan diadakan pemberkasan untuk diajukan ke tingkat lebih tinggi. Namun setelah Ki Warijah pulang istrinya bernama Nini Kayi tidak mau menerima kesepakatan itu Ki Warijah diumpat (dipaido (jawa) dengan kata-katanya antara lain “wong lanang kecing karo londo bekok wedi podo-podo anak menungso kok ora wani” (Laki-laki lawan belanda kok takut, sama-sama manusia kok tidak berani).
Mendengar ucapan itu Ki Warijah panas hatinya dan kembali menghadap guverment membatalkan kesepakatan dan menuntut janji semula. Dengan kelicikannya pemerintah hindia Belanda menguji kesaktian Ki Warijah apabila kuat menjalani ujian bisa menjadi ndoro Asten.
Baca juga : Sejarah Asal-Usul Nama Desa Kwijan Pekalongan
Ki Warijah siap menjalani ujian apa saja yang diberikan pemerintah hindia belanda. Pelaksanaannya Ki Warijah dimasukan kedalam tong bundar seperti drum yang diberi banyak paku dari luar menembus kedalam. Tong ditutup lalu digulingkan dari halaman kantor guverment sampai pantai diharapkan supaya terbunuh. Sesampainya dipantai ternyata Ki Warijah masih hidup.
Lalu tong tersebut dibawa ke tengah laut Jawa dan dibuang disana. Menurut kata orang, Ki Warijah ditemukan oleh nelayan di pantai sebuah pulau di kepulauan Karimun Jawa selanjutnya hidup disana dan mendirikan perkampungan yang disebut kampung Pekalongan.
Sementara itu di Rowoyoso pembentukan desa baru tetap dilaksanakan. Ketika diminta untuk memberi nama untuk desa yang akan dibentuk Ki Klidin memberi nama KENYARAN yang berarti sengsara, berasal dari kesengsaraan yang dialami Ki Warijah (putranya). Pengajuan nama ini ditolak dan ubah menjadi KANYARAN yang bisa diartikan sesuatu yang baru. Selanjutnya nama Kanyaran yang dipakai.
Desa kanyaran diberi wilayah seluas 52,048 Ha yang berasal dari perkampungan Mijen dan rawa yang sudah dikeringkan dan masuk wilayah distrik Tirto. Ki CARMAT (putra Ki Warijah) diangkat menjadi lurahnya. Warga yang bertempat tinggal diakui sebagai warga Kanyaran. Tanah darat yang ditempati disahkan sebagai tanah yasan masing-masing dan setiap keluarga diberi tanah garapan berupa sawah seluas 2 iring (1 iring seluas kira-kira 1.600 m2) sebagai tanah yasan (dalam buku catatan leter C diberi tanda Ys) seluas kurang lebih 6,75 Ha digunakan untuk bengkok 0,55 ha untuk cadangan (grantungan).
Sisa sawah lainnya dicetak dengan satuan begenan (dalam catatan leter C diberi tanda PI). Semua tanah sawah disewakan oleh semacam BUMN milik pemerintah Belanda untuk ditanami tebu. Ki Klidin meninggal dunia dimakamkan di dekat bekas perbatasan distrik Tirto dan Buaran lalu makam ini dijadikan pemakaman umum Kanyaran seluas lebih kurang 2.770 m2.
Makam Ki Klidin dibangun pada tahun 1962 dan diberi nama makam Kyai Klidin. Tanah playangan akan diberikan kepada warga dengan syarat harus ditebus dengan kerja bakti pada pemerintah Hindia Belanda selama dua tahun. Kerjaan itu diantaranya menggali batu di Wonopringgo untuk dibawa ke kota guna membangun kantorkantor dan fasilitas pemerintah.
Baca juga : Sejarah Terbentuknya Kota Pekalongan
Dalam pelaksanaan kerja bakti ini semua warga kanyaran tidak punya dana untuk biaya hidup hingga terpaksa harus berhutang. Mereka banyak berhutang pada orang-orang Banyuurip ageng, Banyuurip alit, Paweden, dan sekitarnya. Saat kerja bakti selesai mereka tidak bisa mengembalikan hutangnya lalu sawah yang baru didapat digunakan untuk membayar hutang tersebut.
Maka dalam buku leter C tahun 1939 terdapat nama-nama orang Banyuurip Alit, Banyuurip Ageng, Paweden dan sekitarnya sebagai pemilik sawah playangan. Lurah Ki Carmat meninggal dunia lalu diganti oleh RATIBAN sebagai lurah sementara. Kemudian diadakan pemilihan kepala desa yang dimenangkan oleh calon Dorahman (Putra Ki Carmat) setelah mengalahkan Suryadi.
Setelah dorahman meninggal diganti oleh Suryadi sebagai lurah sementara. Pada tahun 1941 diadakan pilihan kepala desa dengan calon Tasripin (putra Dorahman), Rahmadi, Datram.
Dalam pemilihan ini dimenangkan oleh Tasripin. Pada waktu Jepang berkuasa (tahun 1941) penanaman tebu dihentikan. Sawah dikembalikan pada pemilik. Semua peralatan penanaman tebu diambil oleh Jepang. Warga diwajibkan tanam padi dan hasilnya sebagian besar harus disetor ke pemerintah Jepang, sehingga masyarakat kurang pangan dan kelaparan terjadi di semua desa.
Pada tahun 1945 Jepang kalah perang dan digantikan pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1946 belanda datang kembali. Rakyat Kanyaran menolak pemerintah Belanda Lurah Tasripin mau ditangkap lalu melarikan diri ke daerah Dieng.
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Landungsari Kota Pekalongan
Disana bergabung dengan TRI (tentara rakyat Indonesia) dan dikemudian hari karena kejadian ini bapak Tasripin termasuk dalam daftar veteran. Karena ada kekosongan kepemimpinan pemerintah Belanda menunjuk seorang bernama Carmun untuk menjadi lurah. Setelah3 tahun berada di pengungsian Bapak Tasripin kembali ke Kanyaran dan menjabat kembali menjadi lurah pada tahun 1949.
Beliau mulai membenahi Desa Kanyaran bersama dengan warga diantaranya adalah mendirikan mushola dihalaman rumah Bapak Carban dan menunjuk Bapak Carban selaku imam mushola tersebut dan dipanggil Kyai Carban (dikemudian hari tanah itu diwakafkan dan Mushola tersebut direnovasi, kemudian diberi nama Mushola Al Hikmah yang berlokasi di Rt 05 Rw 19).
Melihat kehidupan masyarakat Kanyaran yang serba kekurangan, maka lurah Tasripin bermaksud meminta kembali tanah Playangan yang dimiliki oleh orang-orang Banyuurip dan sekitarnya. Kemudian bersama dengan warga Kanyaran mengajukan gugatan perdata ke pengadilan Negeri Pekalongan dengan alasan pembeliannya dahulu tidak sah karena hanya diambil sebagai pembayaran hutang.
Untuk mendukung gugatan, maka nama Kanyaran diganti menjadi BUMIREJO (bumi artinya betah/cumbu, rejo artinya sejahtera). Penggantian nama ini terjadi pada tahun 1955. Namun pihak banyuurip mengadakan perlawanan yang diwakili oleh Lurah Ratif (Lurah Banyurip Alit).
Setelah melalui berkali-kali sidang, masalah sengketa ini dimenangkan oleh pihak Bumirejo pada tahun 1956 namun dengan syarat harus membeli (mengganti kepada pihak Banyuurip) dan bisa dicicil selama 2 tahun dengan 4 kali cicilan.Tanah tersebut oleh bapak Tasripin dicetak ulang dengan satuan iringan dan didaftarkan ke Agraria tegal kemudian terbitlah buku catatan leter C tahun 1960.
Setelah menyelesaikan dua kali cicilan pihak Banyuurip berubah pikiran, Lurah Ratif diberhentikan dari ketua kelompok tersebut dan diganti oleh bapak H. Machali yang kemudian menolak cicilan berikutnya. Bapak H. Machali mengajukan gugatan kembali ke Pengadilan Negeri Pekalongan tapi ditolak dengan jawaban perkara perdata itu sudah diselesaikan pada tahun 1956.
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Noyontaan Kota Pekalongan
Pengajuan ini dilakukan oleh Hj. Machali secara berkala setiap 4 tahun dan mendapat jawaban yang sama. Pada tahun 1962 Bapak Rachmadi dan warga sekitarnya mendirikan mushola di halaman rumahnya. Kemudian beliau menjadi imamnya dengan panggilan Bapak Kyai Rachmadi. Selanjutnya tanah itu diwakafkan, mushola tersebut direnovasi dan diberi nama Mushola Nurul Yaqin. Sehingga di Desa Bumirejo sudah memiliki 2 bangunan Mushola.
Mengingat di Desa Bumirejo belum ada sarana pendidikan, maka bapak Tasripin bersama warga bermaksud mendirikan sekolah dimulai dari mengumpulkan anak didik dan meminta bantuan tenaga pengajar (guru) dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) hingga kemudian diberi guru Bapak Muhammad Nuh.
Dikarenakan belum ada gedung sekolah, maka kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di pranggok (semacam rumah yang biasa dipergunakan seperti bengkel atau tempat kerja) milik Bapak Nitiharjo.
Pembangunan sekolah dilaksanakan pada tahun 1965 diatas tanah milik Tasripin, Wastri, Raidah dan 2 bidang lainnya yang dibeli dengan menggunakan uang iuran warga. Pada tahun 1967 sekolah tersebut mulai bisa digunakan, namun hanya miliki 2 ruang kelas. Tahun 1969 tanah dan bangunan tersebut dihibahkan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) supaya menjadi sekolah dasar negeri kemudian diberi nama SDN Bumirejo.
Selanjutnya pengelolaan dan pengembangan dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun 1985 Lurah Tasripin meminta tanah grantungan untuk didirikan masjid. Permintaan tersebut dipenuhi dan setelah dilakukan tukar menukar dengan warga maka tanah itu dibangun masjid dengan nama Nurul Huda sebagai pengurusnya diangkat Bapak H. N. Eddy Yusuf sebagai ketua yayasan Al Warijah.
Dengan adanya perda tentang peremajaan aparatur desa, maka lurah Tasripin mundur dari jabatannya dan diadakan pilkades pada tahun 1989. Ada 3 calon yaitu: Bpk. Suripto, Ibu Urifah, dan Ibu Muktiati dan dimenangkan oleh Bapak Suripto.
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Podosugih Kota Pekalongan
Dengan adanya perluasan wilayah kota madya Pekalongan,maka pada tahun 1990 Desa Bumirejo masuk wilayah kota madya (Kodya) Pekalongan. Pada tahun 1994 Bapak Suripto mengundurkan diri dan digantikan Bapak Sri Kuncoro S.p,B.A selaku pejabat sementara. Diadakan pemilihan lurah lagi pada tahun 1995 dengan calon Mohammad Danu dan Roghibah yang dimenangkan Bapak Mohammad Danu.
Bersamaan dengan itu pihak banyuurip yang diwakili oleh H. Ikhsan menggugat tanah playanan ke pengadilan tinggi di Semarang. Pada tahun 1996 dikeluarkan putusan tanah tersebut harus dikembalikan kepada pemilik yang terdaftar pada buku leter C tahun 1939 dan bapak Tasripin harus mengembalikan hasil panen dari sawah tersebut selama 40 tahun.
Bapak Tasripin tidak terima dengan keputusan tersebut, kemudian beliau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung di Jakarta. Permasalahan tersebut selesai pada tahun 1999 dengan keputusan tanah tersebut dikembalikan kepada pemilik sesuai dengan buku leter C namun tidak ada pengembalian hasil panen.
Dengan adanya penghapusan desa menjadi kelurahan maka bapak Muhammad Danu diberhentikan dari jabatannya sebagai kepada desa dan diangkat menjadi PLT Lurah Bumirejo pada tahun 2003 sampai masa kerjanya habis pada tahun 2005.Kemudian diganti oleh bapak Amaryadi,S.H.
Keputusan Mahkamah Agung eksekusinya dilaksanakan tahun 2006 terjadilah ketegangan antara para pemilik terdaftar di buku leter C tahun 1960 dan pemilik terdaftar buku leter C tahun 1939. Setelah terjadi berulang kali peretemuan musyawarah, maka disepakati tanah tersebut menjadi milik bersama, dijual bersamasama hasil penjualannya dibagi masing-masing 50% setelah dikurangi biaya operasional.
Tanah tersebut ditawarkan ke banyak pengembang, hingga akhirnya dibeli oleh PT.Aji Saka untuk dibuat perumahan dan akan diberi nama Perumahan Bumirejo Damai. Setelah diurug dan dibangun diresmikan dengan nama BRD Residence.
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Pringlangu Kota Pekalongan
Salah satu petuah dari orang bijak menyebutkan bahwa keberhasilan tidak datang dengan sendirinya. Keberhasilan harus diupayakan dengan segala cara meskipun harus dengan pengorbanan yang besar. Para pendiri desa Bumirejo telah mengajarkan betapa kerja keras, kebijaksanaan dan kesabaran telah membawanya kepada keberhasilan tersebut.
Sumber : Mengungkap Asal-Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan – KPAD Kota Pekalongan.