KOTOMONO.CO – Krapyak adalah salah satu wilayah paling utara dari Kota Pekalongan. Wilayahnya sangat luas hampir seluas wilayah Panjang. Krapyak merupakan kawasan yang unik dan menarik apabila dipelajari.
Struktur masyarakatnya lengkap mulai dari nelayan, petani, pengusaha, buruh dan pegawai, dan ulama ada di sini. Kebudayaan masyarakatnya pun unik karena khas hingga membedakannya dengan wilayah lain walaupun berdekatan.
Tidak seperti daerah sekitar pantai dan pelabuhan yang biasanya diselimuti dengan budaya minum-minuman keras atau mabuk-mabukan. Akan tetapi di wilayah Krapyak justru sebaliknya. Wilayah ini dikenal sangat kuat menjalankan ajaran Islam.
Asal usul pemberian nama Krapyak
Ada beberapa versi yang menyebutkan tentang sejarah asal-usul kelurahan Krapyak ini. Secara etimologi krapyak memiliki arti kandang menjangan atau apabila pengertiannya lebih luas dapat diartikan sebagai tempat yang banyak menjangan atau kijang.
Hal ini sangat memungkinkan karena ada banyak cerita yang menyebutkan bahwa di masa lalu daerah ini merupakan hutan yang lebat. Krapyak tidak hanya ada di Pekalongan. Di Semarang desa Krapyak dulu adalah daerah sabana yang banyak dengan menjangan.
Wilayah ini pun dimasa lalu langsung berbatasan dengan laut. Di Yogyakarta juga ada kampung yang bernama sama. Diceritakan bahwa dulu di Krapyak inilah Sultan Hanyokrowati, ayah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo tewas pada waktu berburu karena tertusuk oleh tanduk menjangan yang terkena panahnya.

Di era Kasultanan setelah Mataram dipecah menjadi dua melalui perjanjian Giyanti, Krapyak dikaitkan dengan wilayah garis lurus atau sumbu spiritual yaitu gunung merapi, tugu putih, keraton, panggung krapyak dan laut selatan. Di wilayah Krapyak di Yogyakarta lingkungan masyarakatnya sangat agamis di masa lalu karena ada pondok pesantren yang besar.
Oleh Keraton dibangun panggung Krapyak yang merupakan tempat sarana bertemunya antara penguasa keraton dengan laut penguasa laut selatan, Sangat tidak menutup kemungkinan bahwa pemberian istilah Krapyak di Pekalongan adalah upaya menyamai unsur spiritual tersebut dengan garis lurus laut utara, Krapyak, kabupaten dan ke selatan di Petung Kriyono atau gunung Prau sebagai daerah mata air sungai Kupang.
Salah satu yang menguatkan adalah adanya kampung Setembok yang menjadi perujuk adanya bangunan tembok dimasa yang lalu.
BACA JUGA: Sejarah Jembatan Batu Desa Lolong
Versi lain menyebutkan bahwa “Krapyak” berasal dari suara deru ombak air laut di pesisir laut utara. Bunyi “Krupyakkrupyak” air laut sehingga daerah di dekat laut tersebut dinamakan Desa Krapyak.
Menurut cerita seorang sesepuh Desa Krapyak yang berusia 60 tahun, Ibu Alifah (Tammimsyafii, 2014) mengisahkan bahwa nama “Krapyak” asal muasalnya dari air hujan yang turun begitu deras dan membanjiri daerah tersebut. Saat itu belum ada lantai atau keramik seperti sekarang, yang ada hanyalah alas rumah dari tanah. Ketika warga berjalan di genangan air banjir, timbullah bunyi “Krupyuk-Krupyuk”. Sebab itulah kemudian daerah itu dinamakan “Krapyak”.
Sumber lain menyebutkan bahwa desa “Krapyak” berasal dari kata “Krap” atau dalam bahasa Jawa “Kerep” artinya sering dan “Pyak” yang diartikan sebagian warga “bersatu”. Apabila digabungkan secara harfiah berarti “sering bersatu”. Penamaan ini bersumber dari cerita setempat yang mengkisahkan tentang awal daerah desa Krapyak ini dibuka.
Kearifan Lokal Krapyak Pekalongan
Konon dahulu kala Raja Mataram memerintahkan seorang ulama sakti untuk membuka daerah di pesisir pantai utara. Ulama sakti tersebut bernama Mbah Abdul Filis. Terdapat kerajaan jin di daerah pesisir tersebut sehingga sulit bagi Mbah Abdul Filis untuk membuka daerah tersebut sendirian.
Mbah Abdul Filis lalu meminta mengumpulkan bantuan dari beberapa ulama sakti lainnya yaitu Mbah Losari, Mbah Jatruno, Mbah Rachmadi, dan Mbah Banyu Tawa guna membuka daerah tersebut.
Kelima orang tersebut bersama-sama berdoa dan meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mereka dapat membuka daerah pesisir utara itu. Atas usaha doa mereka, raja jin dan jin-jin lainnya menyerah sehingga daerah tersebut berhasil dibuka.

Keberhasilan bersama kelima ulama inilah yang menjadi dasar penamaan Krapyak yaitu “Krap” dan “Pyak” yaitu “sering bersatu” karena berkat persatuan dan kebersamaan merekalah daerah pesisir utara tersebut berhasil dibuka dan dihuni manusia.
Raja Mataram memberikan hadiah berupa sebidang tanah perdikan (bebas pajak) atas keberhasilan Mbah Abdul Filis membuka daerah tersebut. Tanah tersebut kini dikenal dengan daerah “Sembawan”.
Mbah Abdul Filis juga dipercaya Raja untuk memimpin desa Krapyak. Kepemimpinan Mbah Abdul Filis yang cerdas, adil, dan bijaksana membuahkan hasil. Wilayah desa Krapyak bertambah luas sehingga beliau memutuskan bahwa sebaiknya desa Krapyak dibagi menjadi dua Krapyak Lor (utara) dan Krapyak Kidul (selatan). Desa Krapyak Lor merupakan daerah yang cenderung lebih dekat ke lautan.
Krapyak memiliki tradisi unik yaitu syawalan. Yakni perayaan setelah Hari Raya Idul Fitri dengan digelar acara Pemotongan Lopis Rakyasa dan warga melaksanakan Open House. Selengkapnya bisa sedulur baca di Sejarah Tradisi Lopis Raksasa Kota Pekalongan
Terkandung makna filosofi dari makanan lopis ini. Lopis ini dibuat dari bahan dasar ketan yang mana setelah matang makanan ini meskipun awalnya berupa butiranbutiran ketan setelah dimasak sampai matang akan saling rekat satu sama lain.
Hal ini menggambarkan harapan akan persatuan dan kesatuan dari warga desa Krapyak. Lopis dibungkus dengan menggunakan daun pisang. Pohon pisang tidak akan mati sebelum meninggalkan buah dan tunas. Dapat diartikan bahwa para sesepuh tidak akan pergi sebelum meninggalkan jasa atau memiliki generasi yang mampu menjadi penerus para sesepuh.

Garis benang nilai filosofi dari lopis adalah harapan akan kesatuan, persatuan, kebersamaan, dan keberlangsungan warga desa Krapyak yang tidak dapat dinilai dengan materi. Krapyak memiliki suatu legenda unik yang mengajarkan akan nilai luhur sebuah kejujuran yakni lebenda Mbah Wayah.
Legenda ini sebenarnya merupakan suatu tradisi yang terjadi di sebuah makam yang diyakini merupakan makam dari seorang ulama yang perilakunya sangat baik sehingga sangat dihromati di masa hidupnya.
Berbagai cerita mengatakan bahwa beliau adalah orang yang sering menolong sak wayah-wayah (sewaktu-waktu) pada saat ada orang yang meminta pertolongan. Kebaikan dan kerendahan hatinya sesuai dengan perilaku dan ucapannya. Beliau dikenal sangat jujur.
Setelah meninggal makamnya sering dipergunakan untuk mengucapkan sumpah. Apabila orang yang bersumpah adalah orang yang benar, maka tidak akan terjadi apa-apa, akan tetapi apabila yang bersumpah adalah penipu atau orang mengada-ada maka akan terjadi malapetaka baginya. Malapetaka yang dialami tersebut adalah sesuai yang diucapkan dalam sumpahnya.
BACA JUGA: Asal-usul Nama Petungkriyono dan Peninggalan yang ada
Krapyak juga dikenal sebagai sentra produksi Batik. Salah satu motif yang sangat terkenal adalah Batik Jlamprang. Motif Batik Jlamprang diyakini sebagai motif batik asli Pekalongan. Motif ini lahir dari pengrajin batik keturunan Arab yang beragama Islam.
Adanya larangan dalam Islam menggambar binatang maupun manusia, mendorong pengrajin Batik Pekalongan menciptakan motif hias geometris. Motif Jlamprang menurut peneliti ini termasuk motif nitik dan tergolong sebagai ragam hias geometris. Oleh karena itulah jalan utama di wilayah Krapyak diberi nama Batik Jlamprang.
Kini secara administrasi tidak ada lagi kelurahan Krapyak Lor dan Krapyak Kidul karena telah dilebur menjadi kelurahan Krapyak namun tidak ada salahnya bila kita mengulik kisah keberadaannya sebagai pengetahuan. dan Pada postingan selanjutnya akan kita bahas lebih dalam lagi mengenai Sejarah-sejarah dan asal-usul di Kelurahan Krapyak ini.
Sumber : Amiroh, SE, Bagus Rachman, Karto Susilo, Agung Tjahjana – Mengungkap Asal-Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan – KPAD Kota Pekalongan
Komentarnya gan