KOTOMONO.CO – Cerita Sejarah Asal-usul Kelurahan Poncol Pekalongan ini berawal dari hutan belantara yang terkenal angker, kemudian Desa Poncol menjelma menjadi suatu kawasan strategis di Kota Pekalongan dengan luas daerah mencapai 62,2 hektar dan total penduduk sebanyak 12.900 jiwa pada tahun 2014.
Desa Poncol sudah dikenal sejak abad ke-16 pada masa Kerajaan Mataram. Ketika itu, para pasukan di bawah pimpinan Senopati Bahureksa tengah gencar mengejar para perompak hingga memasuki hutan belantara. Ketika para perompak berhasil terkejar, terjadilah pertempuran sengit antar kedua belah pihak.
Dalam peristiwa itu, beberapa prajurit gugur di atas tanah moncol.
Tanah moncol yaitu semacam tanah yang menjulang lebih tinggi dari dataran lain. Peristiwa gugurnya para prajurit kontan membuat Senopati Bahureksa semakin murka, beliau lantas memerintahkan pasukan yang tersisa untuk menangkap para perompak yang berhasil melarikan diri.

Senopati Bahureksa lantas berseru, “Kelak, jika keadaan sudah aman tentram, tanah moncol ini akan menjadi Desa Poncol.”
Saat sinar sang fajar mulai redup dan menghilang di ufuk barat, Senopati Bahureksa dan pasukannya memutuskan untuk beristirahat sejenak, menghentikan pengejaran. Saat tengah melepas lelah, Senopati Bahureksa bertemu dengan seorang kakek yang masih genen atau menghangatkan tubuh dengan api unggun sambil makan jagung bakar.
Senopati Bahureksa lalu bertanya pada kakek, “Apa nama dukuh ini?” Kakek itu menjawab bahwa ia tidak tahu, karena di sekitar tanah itu masih tertutupi hutan lebat. Akhirnya Senopati Bahureksa kembali berujar, “Kelak, apabila tanah ini menjadi dukuh, berilah nama dukuh Sorogenen.”
Baca juga : Sejarah Asal-usul Kelurahan Keputran Kota Pekalongan
Konon, pada waktu itu Poncol dibagi menjadi beberapa dukuh, antara lain : Dukuh Sorogenen, Poncol, Kuroijo, Pesantren, Kolekturan dan Bonjongan. Namun, seiring berjalannya waktu, dukuh-dukuh itu lalu digabungkan menjadi satu dengan nama Desa Poncol.
Lurah Desa Poncol yang pertama adalah Tirtoatmojo.
Di sekeliling area tanah moncol akhirnya dikenal sebagai daerah angker dan membuat warga sekitar enggan untuk datang ke area itu. Namun, setelah puluhan tahun berlalu, area tanah moncol tersebut berubah menjadi pemukiman padat penduduk yang dikenal dengan nama Gang Gumuk.
Ditempat itu juga terdapat pohon jati tua yang tidak pernah mati, sementara di bawah pohonnya banyak batu nisan berserakan. Untuk Sorogenen sendiri, dulunya pernah dijadikan sebagai makam orang-orang China sehingga warga sekitar sering menyebutnya dengan Bong.

Berbagai peristiwa tak terlupakan pernah menorehkan sejarah tersendiri bagi Desa Poncol, diantaranya seperti kejadian kebakaran besar yang nyaris menghanguskan separuh desa pada siang hari tanggal 27 September 1961.
Baca juga : Sejarah Terbentuknya Kota Pekalongan
Dalam waktu beberapa jam, sekitar 500 rumah warga ludes dilahap si jago merah. Para korban kebakaran akhirnya diungsikan ke dekat kompleks perkantoran Kecamatan Pekalongan Timur. Mereka mendapat bantuan berupa rumah sederhana dari pemerintah setempat. Tempat pengungsian tersebut diberi nama Poncol Baru.
Sementara itu, kehidupan masyarakat Poncol di tengah hingar bingar modernisasi seperti sekarang ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat Pekalongan pada umumnya. Kesederhanaan, keramahan dan semangat gotong royong masih terasa kental mewarnai setiap sendi kehidupan masyarakat Poncol.
Beragam tradisi adat Jawa juga masih terjaga kelestariannya hingga sekarang. Tradisi tersebut dimulai dari tradisi mempersiapkan kelahiran sang bayi yang disebut dengan tradisi tingkeban atau mitoni, di mana tradisi ini dilakukan saat seorang wanita mencapai usia kehamilan tujuh bulan, dalam ritual ini biasanya juga dibagikan bubur lolos dan rujak.
Bubur lolos bermakna agar proses kelahiran diberi kelancaran, sedangkan untuk rujak, masyarakat percaya bahwa apabila rujaknya terasa pedas maka yang akan terlahir adalah bayi laki-laki, sebaliknya kalau rujak tidak terasa pedas, yang akan terlahir adalah bayi perempuan.
Setelah itu, ada pula tradisi puputan yang dilakukan ketika tali pusar sang bayi telah lepas atau puput. Orang tua sang bayi juga sekalian memberi nama untuk bayi tercinta dalam tradisi ini. Kemudian, setelah bayi berusia sekitar 7 bulan atau bayi pertama kali menginjak tanah diadakan tradisi lagi bernama tedhak siten.
Dalam tradisi tersebut juga dibagikan makanan srintil, agar sang bayi jalannya bisa semrintil atau lincah. Kemudian, tradisi yang paling digemari oleh anak-anak Poncol adalah tradisi udik-udikan.
Baca juga : Mengenal Tradisi Udik-udikan Masyarakat Pekalongan
Tradisi ini merupakan tradisi membagi-bagikan uang receh dengan cara dilempar, yang kemudian akan diperebutkan oleh para warga dari anak-anak dari orang tua. Semua bergembira ria menyambut acara semacam ini. Masyarakat Poncol senang sekali mengadakan udik-udikan sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta.
Tradisi ini biasa dilakukan pada acara sunatan, rabu pungkasan, menyambut kedatangan sang bayi dari klinik bersalin atau rumah sakit serta pada acara puputan. Tradisi lain yang masih bisa dijumpai di kelurahan Poncol adalah tradisi dalam proses pembangunan rumah atau biasa disebut dengan munggah molo.
Munggah molo berarti menaikkan molo atau memasang bagian rumah yang paling tinggi.
Tradisi ini dilakukan dengan memasang bendera merah putih ukuran sedang di bagian tengah blandar. Lalu, ditambahkan juga dengan berbagai sesajen seperti sesisir pisang ambon, seonggok padi yang telah menguning dan seikat tebu, semua itu diikat dan digantungkan pada blandar.
Sebelum proses munggah molo dilaksanakan, digelar acara selamatan terlebih dahulu dengan mengundang tetangga sekitar rumah. Tradisi semacam ini bertujuan agar rumah serta para penghuninya senantiasa diberi perlindungan dari sang kuasa.
Sumber : Husna Karimah, Moh. Riza Rahmat Syah – Mengungkap Asal-Usul Nama Kelurahan di Kota Pekalongan – KPAD Kota Pekalongan.
Salam Cinta Pekalongan
komentarnya gan