KOTOMONO.CO – Sebuah desa di Jawa Barat ini disebut dengan nama Kampung Naga. Yakni sebuah perkampungan unik yang menolak modernisasi, hidup apa adanya tanpa listrik dan barang-barang elektronik. Kampung Naga ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
Desa ini berada di lembah yang membuatnya tenang, jauh dari keramaian kota, Indah dan sangat menyatu dengan alam. Sangat rekomended sekali bagi yang ingin menyepi dari hiruk pikuk keramaian kota. Dengan tanpa listrik, wisatawan bisa menikmati malam yang tentram dengan cahaya remang-remang dari lampu vayer.
Untuk masuk ke perkampungan ini, para wisatawan mau tidak mau harus menuruni anak tangga yang dibuat satu jalur. Sebab jalan ini merupakan akses keluar masuknya warga desa. Kampung naga sendiri mempunyai luas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan bagi penduduk, pekarangan atau kebun, kolam tambak, dan selebihnya dipergunakan untuk pertanian yang dipanen 2 kali setiap tahunnya .
Hampir semua arsitektur rumah dan bangunan di kampung naga ini memiliki kesamaan baik desain maupun material bangunan, warna dari bangunan rumah itu pun berwarna putih dan coklat. Atap rumah terbuat dari ijuk, dinding rumah terbuat anyaman rotan. Tak hanya bentuk rumahnya saja yang unik namun bagian dalamnya pula sederhana, tak ada furniture atau prabotan yang menghiasi hanya perlengkapan bagi kebutuhan primer mereka saja. Tatanan yang seperti itu dikarena masyarakat mengikuti tatanan adat istiadat yang ada.
BACA JUGA: Hindari Acara Kondangan Jika Hal ini Masih Terjadi di Lingkunganmu
Susunan rumah yang dibangun saling berhadapan menghadap utara dan selatan, dan saling membelakangi terhadap barisan rumah berikutnya. Setiap rumah tidak memiliki pintu belakang, karena kepercayaan mereka untuk tidak membangun pintu yang berada pada dua arah berlawanan atau dalam satu garis lurus.
Mereka percaya bahwa kalau membuat rumah dengan pintu belakang, maka rezeki yang masuk melalui pintu depan akan keluar lagi melalui pintu belakang. Posisi ruang tamu dan dapur masing-masing bersebelahan di bagian depan, sehingga pintu keduanya tampak bersisian.
Seluruh rumah tidak memiliki perabotan mewah seperti kursi, meja, tempat tidur, maupun perabotan rumah tangga pada umumnya. Bahkan untuk memasak pun tidak menggunakan kompor konvensional. Disana memasak masih menggunakan tungku tradisional dengan kayu bakar. Yang uniknya lagi, rumah penduduk tidak memiliki kamar mandi dan toilet, untuk keperluan mandi dan yang lainnya masyarakat kampung naga akan menggunakan kamar mandi umum diluar tanah adat.
Masyarakat kampung naga punya alasan tersendiri untuk tidak menggunakan listrik, meskipun pemda dan PLN setempat sudah siap memberi fasilitas. Alasannya tak lain karena rumah mereka terbuat dari kayu yang mudah terbakar. Selain itu pula selama bertahun-tahun penduduk desa disana tidak pernah menambah atau mengurangi jumlah rumah yang ada, tetap bertahan di angka 111.
Masyarakat kampung ini rutin melakukan kegiatan pertanian seperti bercocok tanam, menanam padi di sawah atau menanam sayur mayur di kebun, bahkan mereka memelihara ikan di kolam belakang rumah.
Keadaan tanah di kampung ini tergolong sangat subur, kebanyakan yang mereka tanam adalah padi, jagung, dan tanaman herbal lainnya. Kolam-kolam di belakang rumah mereka kebanyakan diisi dengan ikan lele, gurame, dan ikan mas. Beberapa masyarakat juga berjualan barang-barang kerajinan buatan tangan kepada para wisatawan yang datang.
Meski agama islam telah menjadi agama yang dianut masyarakat kampung naga, tetapi ada perbedaan yang begitu mencolok dibanding dengan masyarakat islam pada umumnya. Salah satunya dalam menjalankan rukun islam yang kelima, yakni menunaikan ibadah haji ke baitullah Mekah. Salam kepercayaan masyarakat kampung naga, rukun islam yang ke lima ini dapat diwakil dan tak perlu jauh jauh ke mekah. Jika musim haji tiba, masyarakat kampung naga akan melakukan upacara adat yang bernama Hajat Sashi dimana upacara ini akan dilakukan pada hari raya idul adha umat islam.

Kampung ini memiliki sebuah masjid yang terletak di tengah-tengah perkampungan yang bersebelahan dengan balai pertemuan warga. Balai inilah yang menjadi pusat semua kegiatan warga. Arsitekttur masjid ini juga tidak jauh beda dengan rumah-rumah penduduk yang ada di kampung naga pada umumnya. Yang membedakan hanyalah luas dari masjid itu dan ada bedug-nya. Selain untuk mengumandangkan adzan, bedug yang ada di masjid ini memiliki fungsi lain yakni untuk mengumpulkan warga.
BACA JUGA: Memetik Pelajaran dari Suksesnya Sang Raja Gadget Samsung
Asal usul nama kampung naga sendiri berasal dari kata ‘Nagawir’ dalam bahasa sunda yang artinya berada dibawah atau tepi tebing atau jurang. Konon pada masa Kerajaan Galunggung sekitar abad XV – XVI, lembah kampung naga diyakini menjadi tempat persembunyian Singaparman yang merupakan leluhur masyarakat kampung naga itu sendiri. Jadi, masyarakat kampung naga merupakan salah satu dari bagian suku sunda.
Oh ya ada rahasia mengapa kampung ini tetap makmur, tentram dan damai ialah adanya pantangan (pamali) bagi masyarakat kampung naga sampai kini masih dipercayai dengan taat, terutama dalam hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Walaupun pantangan tersebut bukan merupakan ketentuan yang tertulis tetapi tetap mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh segenap orang di kampung naga.
Salah satu contohnya adalah tata cara dalam membangun dan membentuk rumah, letak, arah dari rumah tersebut, pakaian yang digunakan dalam upacara, kesenian yang ada, dan masih banyak hal lainnya yang masih dijalankan oleh masyarakat kampung naga.
Berikut adalah sistem kepercayaan penduduk kampung naga terhadap ruang, diwujudkan pada kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh suatu kekuatan tertentu pula.
BACA JUGA: Self Healing Nggak Perlu Liburan, Modal Internet Dan Rebahan Juga Bisa!
Di sungai, pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, pesawahan dengan selokan, tempat air masuk yang sering disebut dengan huluwotan, tempat lereng bukit, adalah tempat-tempat yang dipercayai masyarakat kampung naga didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu, yaitu didiami makhluk halus dan daerah tersebut dianggap angker. Oleh sebab itu penduduk kampung naga suka menyimpan “sasajen” disitu.
Faktor yang menyebabkan masyarakat kampung naga masih mempertahankan ritual adat mereka adalah falsafah hidup mereka dikenal sebagai ungkapan yang berbunyi amanat, wasiat, dan akibat. Dengan maksud jika dilanggar maka akan membawa akibat buruk baik pada diri sendiri, maupun keluarga.
Karenanya masyarakat kampung naga memiliki tingkat solidaritas yang tinggi, seperti dalam upacara mereka saling membantu satu sama lain sehingga tradisi ini tidak luntur seiring perkembangan zaman. Pola pikir masyarakat juga masih murni sehingga tradisi masih terjaga hingga saat ini.
Tertarik untuk berkunjung kesana secara langsung? Ingat ya, kalau ingin menginap di Kampung Naga, kalian harus membuat janji dahulu dengan pemandu dan pastinya meminta izin kepada penduduk lokal. Perhatikan juga peraturan dan nilai-nilai yang ada di sana. Sebab, desa ini masih memegang erat tradisi leluhur.