KOTOMONO.CO – Catatan ringan tentang perjuangan seorang mahasiswa agar bisa tetap kuliah.
Pertengahan Januari, dua tahun silam, saya sekeluarga menyempatkan diri dolan ke Desa Kalilembu, Karangdadap. Kebetulan saudara istri saya ada yang melahirkan. Jadi, sekalian tilik bayi. Tilik putu. Wah, rupanya saya sudah tua. Sudah jadi simbah.
Singkat cerita, setelah dari agenda tilik putu itu, saya langsung pulang. Dan memang, kami tidak punya rencana untuk mampir ke tempat lain. Kami cuma pingin menikmati perjalanan. Terlalu sayang kalau pemandangan di sisi kanan-kiri jalan tak kami nikmati.
Laju sepeda motor sengaja saya perlambat, supaya bisa benar-benar menikmati pemandangan. Juga supaya bisa nyambi ngobrol di atas laju kendaraan tanpa terganggu suara angin yang mendepus memenuhi telinga. Tentu, cerita yang kami bagi seputar keseharian yang kami alami. Tentang pekerjaan, urusan rumah, masalah-masalah yang dihadapi Yayasan Omah Sinau SOGAN, dan seabrek lainnya. Sesekali juga ghibah.
Namanya juga manusia, pasti nggak bisa lepas dari ghibah. Ha ha ha! Malah yang namanya ghibah bisa juga jadi semacam pelipur lara. Ya, ketimbang ngomongin soal penderitaan diri sendiri.
Perjalanan pulang kami baru saja menempuh jarak beberapa ratus meter dari rumah saudara istri. Tiba-tiba terdengar suara memanggil nama saya. Tidak hanya saya yang mendengar suara itu, istri saya juga.
Seketika itu pula saya hentikan laju sepeda motor. Memastikan kebenaran suara itu. Saya menoleh ke arah belakang, diikuti istri saya. Dari tempat kami berhenti, kami melihat seseorang dengan gerobak es tung-tungnya melambaikan tangan pada saya. Dugaan kami, pasti suara itu datang dari tukang es tung-tung itu.
Tukang es tung-tung itu mengenakan kaus warna hijau, celana kain hitam. Bertopi bucket warna krem dan berkalung selembar handuk kecil. Agak samar saya melihat wajahnya. Saya bahkan nyaris tak mengenali wajah itu.
Karena penasaran, saya memutuskan untuk berbelok arah. Mendekati tukang es tung-tung misterius itu.
Setelah benar-benar dekat, tukang es tung-tung itu langsung menyambut kedatangan saya. Ia berdiri membelakangi gerobaknya, lalu menjabat dan mencium tangan saya. Aksi itu membuat saya agak terkejut. Sebab, saya belum benar-benar mengenali wajahnya.
Sesi salaman selesai. Ia selangkah mundur. Lalu mengangkat bagian depan ujung topinya. Dan, masya Allah, ternyata wajahnya sudah sangat saya kenali. Penjual es tung-tung itu kerap saya temui di kampus. Biasanya, kami ketemu saat saya ngisi kelas sore. Dan dia, duduk di salah satu deret kursi yang tertata rapi di hadapan saya bersama teman-teman mahasiswa lainnya. Ya! Tidak salah lagi! Dia adalah mahasiswa kelas sore yang saya ajar.
“Oalah! Awakmu to?” seru saya dengan nada terkejut.
Si empunya wajah lugu khas orang desa itu hanya mesam-mesem sambil manggut-manggut. “Iya, Pak,” jawabnya singkat.
“Hus jangan panggil Pak. Kalau di luar panggil saja Kang,” kata saya.
“Wah, apa boleh, Pak?” tanyanya agak malu-malu.
“Lho boleh-boleh aja. Saya ini kan usianya nggak jauh-jauh amat selisihnya dari usia sampean. Jadi, panggil Kang saja. Biar lebih akrab. Lebih asyik!” kata saya sambil melirik istri saya. Lalu, saya bilang pula ke istri saya, kalau dia ini mahasiswa saya, kelas sore.
Begitu tahu, roman wajah istri saya seketika berbinar. Ia merasa bangga, kalau suaminya punya mahasiswa yang nggak gengsian. Mau kerja keras hanya untuk membiayai kebutuhannya dan kuliahnya. Ya, istri saya sangat respek dengan hal-hal begitu. Karena dulu, waktu kuliah, saya juga nyambi kerja serabutan. Itung-itung meringankan beban orang tua.
Ramah istri saya menyapa si penjual es tung-tung itu. Bahkan, sempat menyilakan ia agar sesekali mampir ke rumah.
Sayang, perbincangan itu mesti terpenggal. Istri saya mendadak ingat, kalau sebentar lagi jam pulang anak saya yang waktu itu masih duduk di TK. Walhasil, kami pamitan dan terpaksa harus melanjutkan perjalanan.
Motor kembali melaju. Di sepanjang perjalanan menuju rumah, saya dan istri mempercakapkan perihal kejadian barusan. Saya katakan pada istri, “Andai waktumu masih cukup, saya sebenarnya ingin berlama-lama dengan mahasiswa itu. Menemaninya. Setidaknya, ingin saya sampaikan padanya bahwa apa yang ia lakukan itu membuatku bangga.” Ya, saya bangga karena ia punya usaha sekalipun mungkin tak cukup besar. Tapi, bagiku, itu adalah prestasi yang nyata. Bukan sekadar prestasi yang cukup dengan tepukan tangan dan ucapan selamat. Dia telah benar-benar melakukan hal besar dalam hidupnya, berusaha meringankan beban yang mesti dipikul orang tuanya dengan menjalani peran sebagai penjual es krim keliling. Melayani anak-anak, melayani siapa saja yang menginginkan es krimnya.
Lalu, tercetus dalam benak istri saya, suatu hari nanti ia akan kami undang di acara pasar jajan di kampung. Siapa tahu, usaha es krimnya akan berkembang karena dikenal lebih banyak orang. Saya pun hanya mengiyakan dan mengamini. Ya, saya harap usaha es krimnya itu bisa menjadi besar dan tumbuh berkembang.
Tapi sekali lagi, saya sungguh salut kepada mahasiswa yang satu ini. Sekarang, ia sudah mulai menyusun skripsi. Dan entah kebetulan atau nasib beruntung, saya menjadi pembimbingnya. Jadi, harapan istri saya agar ia sering-sering mampir ke rumah pun terpenuhi.
Setiap kali ia main ke rumah, sudah pasti saya banyak mengobrol dengannya. Tentang banyak hal. Tidak selalu soal skripsi.
Baca Tulisan-tulisan Menarik Ribut Achwandi Lainnya
Komentarnya gan